Ilusi hakikatnya adalah fiksi. Dalam fiksi bisa dibumbui fakta untuk 'merefleksikan realita'. Cerita yang telah dibumbui fakta yang teruntai baik akan memiliki nilai. Kadang disebut realisme, kadang disebut riil, kadang disebut sihir. Pembuat Ilusi yang mahir adalah pihak yang mampu meyakinkan penontonnya bahwa yang terjadi adalah sungguhan.
"Kau harus membuatku mati dengan meyakinkan," saran Raga sambil menikmati es krim di tangannya.
Keduanya saat ini sedang berada di bak mobil pick up dan sedang kembali ke kota. Raga kembali diperban dan direbahkan di lantai. Tapi tangannya dibiarkan bebas.
"Itu mudah," jawab Baron.
"Itu susah," balas Raga.
"Hoo kenapa?"
"Bisa bayangkan kalau ada yang menginvestigasi dan membuktikan kalau semua ini hanya aksi panggung?"
"Ah... eksentrisme bertipe investigasi ya," simpul Baron.
"Jadi aku harus sungguhan memenggal kepalamu?"
"Kenapa tidak? Asalkan aku bisa selamat sepuluh menit setelahnya untuk tetap menonton saja."
Baron terkekeh. "Aku harus latihan kalau begitu."
Raga tersenyum saja. Mereka berdua sama-sama tahu kalau tidak ada rasa percaya dalam diskusi ini. Mereka hanya punya tujuan sama dalam perahu sama tapi tidaklah perlu untuk merasa seperti keluarga.
Raga memandangi awan dan langit. Ia mengangkat tangan, memandangi batang es krim yang sudah kering selama perjalanan. Di kepalanya terbayang ragam ilusi dunia yang terbentuk dari imajinasinya terhadap awan.
"Jadi menurutmu, istri dari Briptu Lukman adalah orang yang paling cocok sebagai algojo. Kenapa?"
"Karena selingkuh," jawab Raga menggigit patah batang es krim.
"Memangnya kau selingkuh dengannya?" tanya Baron.
"Sebagai pembuat ilusi harusnya kau tidak bertanya. Cari tahu sendiri," balas Raga.
"Pikiran manusia adalah s*****a atau bahkan musuh berbahaya bagi dirinya sendiri," kekeh Baron dan Raga bersamaan. Raga tidak terkejut, Baron yang justru kaget.
"Berita kematian palsu, kecurigaan selingkuh, atau gosip selebriti adalah awan yang tidak bisa dipegang. Ia dibentuk dari reka adegan imajinatif. Tapi membentuk awan dan mencipta kejadian adalah cara primal manusia untuk menjustifikasi tindakan mereka."
Manifesto Raga ini diungkapnya dengan datar selayaknya tahu kalau apa yang ia lakukan akan berakhir buruk bagaimana diceritakan juga.
Baron tertarik. Ia tidak menyangka ada b******n yang juga bisa bersiasat.
"Kau, tidak cinta dengan istrimu?"
"Cinta. Pasti. Aku menikahinya," jawab Raga santai.
"Tapi kau senang dengan segala kesulitan yang diberikan pada Sana."
Raga terkekeh. "Kau belum kenal istriku kalau begitu."
Baron mencoba memikirkan arti kalimat tersebut "Dia juga sebenarnya senang dibegitukan?"
"Kau pikir tidak?"
Baron menggaruk pipinya. Ia tidak mengerti dinamika orang yang menikah tapi kurang lebih tahu kalau memang bisa jadi ada fetish diantara keduanya.
"Apa informasi itu membentuk pendapat baru soal Sana?" kekeh Raga. Baron jelas mengangguk.
"Kau percaya?" tanya Raga lagi. Barulah Baron mengernyitkan alis.
"Ini... ilusimu?"
"Kalau kau mempertanyakan kenyataan maka kau akan bertanya di mana kau berpijak."
"Bilang saja kau tidak ingin berbagi teknik," keluh Baron.
Percakapan keduanya terputus sejenak karena Baron mengangkat teleponnya yang berdering kencang. Raga melihat Baron mengangguk berulang kali. Setelahnya, ia mematikan ponsel dan melirik ke arah Raga.
"Hmm ada berita kalau Polsek di Selatan sudah rata dengan tanah. Ulahmu?"
"Bukankah memang itu harapanmu? Ilusi yang kau buat dari keinginan menghancurkan Sana juga ditargetkan pada lumpur-lumpur kotor, kan?"
"Aku tak pernah berpikir untuk menyerang sekutuku," kekeh Baron. "Rencana ini, juga disarankan dari kepolisian. Aku hanya menjalankan peranku."
Raga terkekeh. Dalam otaknya terbetik asumsi kalau Baron juga sedang bermain ilusi kebenaran dengannya. Tidak ingin mengaku kalau mereka lah otak operasi ini. Dan begitulah, mengenali siapa yang jujur dan berbohong dalam permainan ilusi sangatlah menyulitkan.