Episode15 - Kata,Frasa, Kalimat

525 Kata
Lukman sedikit tersadar. Kata nikahi dia dari si Tabib hampir membangunkannya. Bila Sana tidak menggetarkan tangannya dengan geram, barangkali Lukman akan terbangun. Dalam separuh pingsan ia bertanya dalam hati 'mengapa ada kalimat itu?' Begitu ia terbangun, ia merasa dirinya aneh. Bukan karena ia terbiasa saja mencium bau pesing dari berbagai tubuhnya. Tapi sekarang ia melihat dunia dalam hitam putih saja. Buta warna? Harusnya begitu. Tapi ia bisa mengenali warna yang ada di hadapannya. Biru adalah biru walau terlihat abu-abu. Kontradiksi ini membuatnya makin pusing. Makin pusing lagi saat ia melihat kalau di atas warna yang baru saja dilihatnya terdapat tulisan 'warna biru' seakan-akan itu adalah penjelasan yang dicarinya. Ogah menghadapi pusing dan keanehan, Lukman justru bertanya pada dirinya sendiri. "Ini di mana?" Sebuah jawaban muncul dari bawah kakinya naik ke hadapannya. "Ruang Rahasia Rumah Sakit Jiwa Restu Adinda," Lukman membaca kalimat yang perlahan bergoyang seperti asap dari lilin. Ia melihat ke arah pintu. Di pintu tersebut terdapat tulisan "Tidak terkunci. Jalan keluar." Lukman menyeret kakinya menuju pintu. Segala informasi aneh ini seperti palu yang terus menghantam kepalanya berulang kali. Tiap kali ia bertanya, jawaban selalu muncul. Ia hendak meraih gagang pintu. Bersamaan dengan itu pula pintu terbuka. "Oh, kau sudah sadar." Di mata Lukman terbaca "Sana Mafia. Perempuan. Afeksi menengah." Lukman mengucek matanya. Ia tidak mengerti Afeksi menengah. Seperti menjawab kebodohan Lukman, frasa itu berubah menjadi "Suka." Wajah Lukman memerah. Ia sudah dewasa. Harusnya wajahnya tidak memerah seperti remaja tanggung. "Kamu demam?" tanya Sana sambil meletakkan tangannya di kepala Lukman. Lukman menggigil. Antara ia merasa frasa 'suka' itu seolah menelannya atau karena takut tangan itu akan bergetar dan mengubah isi otaknya jadi seperti jus semangka. Tapi jawaban muncul di dekat tangan Sana yang bertuliskan "khawatir." Lukman rileks. "Tidak takut lagi?" tanya Sana tiba-tiba sambil mengernyitkan alis. Lukman melihat kata "Penasaran," bukan "Curiga," sehingga ia menjawab dengan senyum tipis. "...Mungkin." "Atau mungkin aku sedang pusing," tambahnya sambil memegang kepala. Sana meletakkan jari dan telunjuk di dagunya dan makin mengerutkan alisnya. Lukman lagi-lagi hanya melihat kata "Heran," ungkap Lukman. Sana tidak menyangka kata itu yang diutarakan Lukman. Sesuai dengan esensi yang sedang ia pikirkan. Hampir-hampir ia curiga "Aku heran kenapa bisa ada di sini," bila Lukman tidak menambahkan kalimat itu. Sana mengajak Lukman keluar sambil menceritakan kejadian semenjak Lukman pingsan di mobil akibat ulahnya. "Terima kasih," ujar Lukman. "Aku yakin kamu tidak ingin menciderai penghuni dunia atas tanpa sengaja," tambah Lukman karena melihat adanya kata "gelisah" di dekat Sana. Gelisah karena apa ia tidak tahu tapi Lukman tahu kalau ia tidak ingin Sana merasa bersalah. "Lagi-lagi, aku benar ragu kau itu Lumpur. Lebih baik ganti pekerjaan saja sana. Masih banyak tempat yang menerima orang jujur," kekeh Sana. "Nikah saja sana." Adalah yang Lukman dan Sana dengar saat mereka melewati lorong yang sepi. Suara itu datang dari belakang. Lukman yang pertama kali menengok diikuti oleh Sana. Lukman melihat seorang kakek tua yang setinggi dadanya. Lukman tidak bertanya siapa. Dan hanya menatap dengan tatapan kosong. Si Tabib terdiam sejenak lalu menoleh ke arah Sana selayaknya ia bisa melihat. "Sudah kubilang, kan. Nikahi saja dia." Lukman membelalakkan mata mendapati dua kata yang tertera di atas kepala Sana: Tidak menolak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN