Bramasta Wijaya

1234 Kata
      Meggie dan Tietha kembali ke kantor dan dia senang ketika mengetahui Bram tidak ada di kantornya. Meggie tersenyum puas setelah Tietha mengatakan kalau Bram tidak akan kembali ke kantor melalui pesan yang dikirimkan oleh Bram ke ponsel Tietha.       Tietha memberikan beberapa file pada Meggie agar dia bisa melihatnya dan Meggie heran mengapa Tietha memberikannya file selama 3 tahun terakhir.       “Mulailah dengan data 3 tahun terakhir. Aku harus membatalkan beberapa janji dengan klien karena Bram tidak bisa menemuinya,” kata Tietha.       “Tiga tahun terakhir? Mengapa?” tanya Meggie tidak mengerti.       “Karena 3 tahun terakhir adalah saat Bram memutuskan tidak akan melakukan hubungan pribadi dengan para wanita yang menjadi kliennya,” jawab Tietha.       Tietha meninggalkan Meggie untuk memeriksa beberapa data dan tidak berapa lama kemudian dia sudah kembali dan membantu Meggie memilih beberapa nama wanita yang pernah berhubungan dengan Bram untuk di wawancarai.       “Semoga suasana hati Bram menjadi lebih baik pada hari Senin nanti. Terus terang aku khawatir dengan beberapa janji yang dibatalkan,” kata Tietha mengernyitkan keningnya.       “Maksudmu? Apakah Bram sering membatalkan janji? Bagaimana mungkin?” tanya Meggie terkejut.       “Begitulah. Bram kadang tidak hadir dalam pertemuan yang sudah dijadwalkan sebelumnya dan hanya mengirim perwakilan. Tetapi saat dia datang pada pertemuan selanjutnya, maka dia akan datang dengan kekuatan baru yang tidak bisa dilawan,” jawab Tietha.       “Aku hanya tahu Bram sebagai pemilik agensi dimana aku ada di dalam nya. Tetapi sebagai seorang pengusaha perkapalan yang sangat besar, aku yakin Bram mempunyai cara dan strategi sendiri yang membuatnya berhasil,” kata Meggie.       “Benar. Untuk perusahaannya yang satu itu, Bram sangat serius dan kadang membuatku tidak mengerti,” ucap Tietha lebih mirip menggumam.       “Menurutmu kemana kira-kira Bram pergi?” tanya Meggie ingin tahu membuat Tietha geli.       “Akhirnya rasa ingin tahu mu lebih besar daripada ketidak pedulianmu bukan?” katanya.       Meggie tertawa dan dia hanya mengangkat pundaknya. Seperti tidak peduli padahal di dalam hati dia sangat penasaran.       “Aku yakin kau tahu maksud pertanyaanku Tietha.”       “Aku tidak tahu. Bram selalu pergi ke dua tempat saat suasana hatinya buruk. Jadi aku tidak tahu saat ini Bram ada diperkebunannya atau berada di laut dengan speedboat mewahnya,” jawab Tietha membuat Meggie terkejut mendengarnya.       “Wow … Dan akhirnya aku tahu mengapa wanita tertarik.”       “Apakah kau tertarik setelah mendengarnya Meg?”       “Hahaha … Kau sudah tahu siapa aku Tietha. Sama sekali tidak berpengaruh padaku,” jawab Meggie tertawa.       Meggie memilih beberapa file yang berisi data wanita yang pernah bekerja atau berhubungan dengan Bram.       “File ini akan aku bawa ke kantor ku dan aku akan menghubungi mereka setelah membacanya. Bagaimana pun aku harus berkata jujur bahwa aku tidak bisa melakukannya di sini,” kata Meggie saat mengatakan dirinya akan kembali ke kantornya.       “Aku mengerti. Dan Bram sudah mengijinkan mu untuk memeriksa file nya. Asal kau tidak merusaknya apalagi sampai menghilangkannya,” jawab Tietha.       Meggie segera meninggalkan kantor Bram untuk kembali ke kantornya sendiri dan dia segera masuk ke ruang kerjanya begitu tiba.       Meggie segera mencari data tentang perkebunan milik Bram yang dikatakan oleh Tietha saat Martha, sekretarisnya masuk.       “Cari apa?” tanya nya ketika Martha melihat Meggie hanya mengangkat kepalanya dari layar computer.       “Aku sedang mencari data tentang perkebunan yang berada di kawasan Puncak. Apa kau tahu?”       “Untuk apa?” tanya heran.       “Bram mempunyai lahan di sana,” jawab Meggie.       “Aku tidak bisa membayangkan Bram bisa berada di lahan perkebunan,” kata Martha tertawa.       “Aku juga. Tetapi setelah aku pikir lagi mengapa tidak? Dia adalah seorang lelaki yang memiliki segalanya. Aku justru tidak percaya kalau dia tidak memiliki perkebunan,” kata Meggie ikut tertawa.       “Kau benar Meg. Untuk orang biasa mungkin cukup dengan villa, tapi untuk orang yang memiliki kekayaan yang sangat besar. Tentu saja dia menginginkan perkebunan.”       “Jadi?”       “Oke. Aku memang tahu kalau Bram mempunyai lahan di sana. Tetapi bukan perkebunan. Hanya lahan yang sangat luas dengan rumah yang sangat fantastis. Dan suamiku pernah mengatakan kalau Bram hanya menyia-nyiakan tanahnya tanpa melakukan apa pun juga pada lahannya,” jawab Martha setelah mencoba mengingat-ingat.       “Bagaimana kau tahu tentang lahan itu?” tanya Meggie.       “Beberapa tahun yang lalu kami pernah berkunjung ke sana untuk memeriksa lahan tersebut ketika kami mendengar akan di jual. Lahan tersebut sangat indah dengan berbagai pohon buah dan ada semacam danau kecil.”       “Dan kau membelinya?”       “Tidak. Harganya sangat tinggi. Saat itu belum ada rumah. Dan baru 2 tahun ini aku mengetahui kalau lahan tersebut telah terjual dan dibeli oleh seorang pengusaha dengan inisial BW.”       “Apakah kau pernah melihat Bram di sana?” tanya Meggie ingin tahu.       Martha memandang Meggie dengan senyum curiga. “Kenapa aku merasa kau sangat ingin tahu tentang Bram? Apakah kalian mempunyai hubungan ….?       “Tidak!” jawab Meggie cepat, bahkan terlalu cepat hingga Martha menaikkan sebelah alisnya.       “Aku sedang mengerjakan artikel tentang dirinya. Tetapi Bram tidak mengatakan apa pun mengenai lahan perkebunannya tersebut,” kata Meggie menjelaskan.       “O,” kata Martha menganggapi penjelasan Meggie.       Martha tersenyum sendiri dengan sinar mata ingin tahu yang sangat besar. Sepertinya dia sudah mengambil kesimpulan tentang hubungan Meggie dan Bramasta Wijaya.       “Pernahkah kau berpikir bahwa ada kemungkinan Bram mengumpulkan para wanita di sana. Seperti harem misalnya?” goda Martha membuat Meggie mendelik kesal.       “Astaga Martha. Kalau saja kau menggunakan fantasi mu sama besarnya dengan pekerjaan mu dalam mengumpulkan data, bisa saja aku yang akan bekerja dengan mu dan bukan sebaliknya,” kata Meggie tertawa.       “Jadi kau tidak percaya?” goda Martha lagi.       “Aku malah berpikir kalau para wanita yang hatinya sudah hancur oleh Bram adalah cerita yang dilebih-lebihkan.”       “Kenapa?” tanya Martha mengernyitkan keningnya.       “Tidak ada apa-apa. Hanya aku tidak bisa menghubungi beberapa klien Bram yang pernah berhubungan dengannya,” jawab Meggie menggelengkan kepala.       “Nah … Bisa jadi kau tidak bisa menghubunginya karena Bram sudah menahannya di lahan perkebunan miliknya,” jawab Martha tertawa.       Setelah gagal menghubungi klien yang pernah bekerja dengan Bram, Meggie melakukan pekerjaan yang lainnya.       “Jadi kau yakin akan melepaskan pekerjaan ini dan lebih memilih mendirikan biro iklan?” tanya Martha saat menyerahkan laporan keuangan yang di minta Meggie.       “Benar. Aku ingin mempunyai usaha dan agensi sendiri. Aku ingin istirahat dan hanya sesekali menerima tawaran pekerjaan untuk diriku sendiri,” jawab Meggie sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.       “Jadi, artikel ini adalah proyek terakhir kamu?”       “Tidak juga. Apakah pekerjaan mu sudah selesai Martha? Kalau belum aku akan pulang duluan. Tidak masalah bukan?”       “Tentu saja tidak. Tapi kok tumben pulang masih siang seperti ini? Apa kau ingin melamunkan tentang Bramasta Wijaya?” goda Martha hati-hati.       “Bukan melamunkan, tapi mencoba mengetahui bagaimana aku bisa berbicara dengan mereka,” balas Meggie tertawa.       Setelah mandi Meggie kembali mencoba untuk menghubungi para wanita yang pernah berhubungan dengan Bram. Tapi sekali lagi Meggie tidak bisa menghubungi mereka semua dan selalu operator seluler yang menjawab dengan jawaban yang sama ‘nomor yang anda hubungi tidak terdaftar atau di luar jangkauan’.”       “Bagaimana aku bisa mencari tahu tentang Bram kalau mereka tidak bisa aku hubungi?” keluh Meggie.        Dan akhirnya Meggie membaca kembali semua file yang dia bawa dan menemukan sebuah nama yang menurut Meggie mengetahui hubungan Bram dengan para wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya.       Dengan semangat yang kembali muncul, Meggie menghubunginya.       “Halo Selamat Sore. Aku Meggie Dirga dari Cahaya Magazine. Bisakah aku bicara dengan Nona Daniela Krisna?”       “Selamat Sore Nona Dirga. Ada yang bisa aku bantu?” terdengar suara dari telepon.       “Begini Nona. Cahaya Magazine akan membuat artikel tentang Bramasta Wijaya. Apakah kita bisa bertemu?” tanya Meggie.       “Bertemu? Tapi sayang sekali. Saat ini aku tidak berada di Indonesia saat ini,” jawab Daniela.       “Hm. Bisakah aku bertanya pada Anda?” tanya Meggie lagi.       Cukup lama tidak ada suara sehingga Meggie mencoba mengulang pertanyaan nya kembali.       “Oh maaf aku tadi mengerjakan sesuatu. Ya maksud Anda bagaimana?”       Mencoba berpikir positif Meggie mengulang pertanyaan yang sudah 2 kali dia utarakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN