Bram melangkah mendekati Meggie sebelum wanita itu mencapai pintu dan membalikkan tubuh Meggie sehingga berhadapan dengannya.
“Apakah sikap seperti ini yang kau katakan profesional, Meggie?” tanya Bram sarkastis.
Mendengar ucapan Bram membuat Meggie mengangkat tangannya bermaksud untuk menampar wajah Bram. Tetapi belum sampai tangannya menyentuh pipi Bram, tangan pria itu sudah menagkap pergelangannya terlebih dahulu.
Bram mendorong tangan Meggie kasar dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. “Keluar Kau ….”
Bram dengan menggertakkan giginya mengusir Meggie sekaligus berusaha mengendalikan dirinya.
“Aku menyesal kau berpendapat seperti itu tentang diriku Meg. Aku harus mencari cara agar kau bisa merubah pikiranmu tentang diriku. Tetapi sekarang kau lebih baik pergi,” katanya dan dia langsung membuka pintu untuk Meggie dan mengantarnya keluar.
Wajah Meggie terlihat tegang karena Bram sudah menyuruhnya pergi sementara dia sendiri sudah berniat untuk pergi sebelumnya.
Bram segera berbalik untuk masuk ke dalam kembali tanpa menunggu mobil Meg keluar dari halaman rumahnya.
Wajah Bram terlihat merah karena rasa marah yang tidak bisa dia lampiaskan sehingga dia mengambil minuman beralkohol dari mini bar yang berada di ruang makan tersebut. Bram menuang wine ke dalam gelas dan meminumnya.
Baru separuh dia minum, Bram melemparkan gelas tersebut ke dinding dengan penuh kemarahan. “Sialan kau Meg.”
---
Meggie terbangun keesokan harinya dengan kepala yang terasa sakit dan juga rasa bersalahnya terhadap Bram.
Malam itu Meggie tidur dengan gelisah dan dia berpikir bahwa kejadian semalam bukan sepenuhnya kesalahan dari Bram. Dan tidak seharusnya ia menerima dan mengimbangi rayuan yang diberikan Bram padanya.
Bram benar saat mengatakan bahwa dia tidak bersikap profesional tetapi bagaimana bisa dia bisa bersikap professional sementara sikap Bram sendiri sangat bertolak belakang.
Rasa bersalah dan juga sikapnya saat Bram merayunya membuat Meggie tidak tenang saat dia datang ke Cahaya Magazine untuk memberikan laporan wawancara yang dia lakukan kepada Deddy Imran.
“Apakah kau marah padaku Meg?” tanya Deddy saat Meg selesai bicara.
“Tidak.”
“Apakah kau memaafkan aku?” tanya Deddy tidak percaya.
“Tentu. Mengapa tidak?” tanya Meggie tidak mengerti dengan pertanyaan Deddy.
“Aku menyesal telah membohongi dirimu. Tapi itu adalah satu-satunya cara yang disetujui oleh Bramasta Wijaya. Dan aku mengganggap hal tersebut sudah tidak penting lagi,” kata Deddy sambil mengangkat pundaknya.
“Kenapa?” tanya Meggie heran.
“Kau tidak bermaksud berhenti dengan artikelmu?” tanya Deddy tercengang sekaligus tidak percaya.
“Benar. Mengapa kau berpikir seperti itu?”
“Ya karena, Tadi pagi dia menunggu ku dan memberikan ini,” jawab Deddy sambil mengambil sebuah amplop dan memberikannya pada Meggie.
“Apa itu?” tanya Meggie saat menerimanya.
Meggie melihat amplop yang ditujukan padanya. Dengan heran Meggie melihat isinya dan dia mengerutkan keningnya ketika melihat sebuah cek dengan nilai nominal yang sangat besar yang dikeluarkan oleh Bram secara pribadi.
“Apa ini?” tanya Meggie meletakkannya di atas meja di depan Deddy.
“Honormu. Seperti yang sudah disepakati. Sayang sekali artikel tersebut tidak dapat diteruskan. Aku yakin akan banyak diminati. Kau mendapatkan seperti yang kami inginkan. Bahan bacaan yang sangat menarik. Sedikit pedas dengan latar belakang yang sangat mempesona.”
Meggie menatap cek yang dia letakkan di atas meja dengan pandangan curiga.
“Apa maksud mu Deddy?
“Bram memutuskan untuk menghentikan membuat apalagi menerbitkan artikel tentang dirinya,” jawab Deddy sabar.
Meggie mengmbil amplop beserta isinya yang tadi dia letakkan di meja dan memasukkannya ke dalam tas sebelum dia bangun dari duduknya dan melangkah keluar dari ruang kerja Deddy.
“Jangan khawatir dengan artikel tersebut Ded. Kau akan mendapatkannya. Aku melihat artikel tersebut sangat menarik. Dan aku akan mendapatkannya. Kau akan aku hubungi kalau sudah selesai.”
Deddy memandang Meggie tercengang dengan ucapannya dan dia menatap Meggie yang berjalan keluar dari pintu yang berada di ruangannya.
Tidak sampai satu jam Meggie sudah berada di kantor Bram dan dia berjalan masuk seperti wanita yang hendak berperang dan Tietha bahkan tidak bisa mencegahnya.
“Ini uang mu Bram. Dan aku tidak membutuhkannya,” kata Meggie dengan wajah penuh kemarahan.
Bram menatap Meggie yang berdiri menantang mengabaikan amplop yang di letakkan Meggie di atas mejanya.
“Apaku?” tanya Bram tercengang dan dia mengambil amplop tersebut dan melihat isinya.
“Ini honormu sesuai dengan nilai kontrak yang sudah kau tanda tangani. Aku memberikannya untuk artikel yang akan kau tulis,” jawab Bram singkat.
Meggie tertawa dan menolak cek yang diberikan oleh Bram.
“Kau tahu apa yang bisa kau lakukan dengan honor itu Bram?” tanya Meggie.
“Kau tidak bisa membeliku dan menghentikanku untuk membuat artikel tentang dirimu. Kau begitu menarik untuk diabaikan begitu saja. Aku tidak berniat melepaskan mu begitu saja sebelum aku menemukan siapa dirimu yang sebenarnya.”
Bram melipat tangannya dan memperhatikan Meggie yang penuh semangat.
“Aku mengerti. Kau menginginkan artikel tersebut bukan Meg?”
“Ya. Kau tahu siapa aku bukan? Dan kau harus ingat kau yang pertama membawaku untuk melakukan wawancara dan membuat artikel tentang dirimu.”
“Aku pikir kau tidak bisa berpikir obyektif Meg,” kata Bram.
“Kalau kau berpikir dan mengatakan kalau aku tidak bisa bekerja dengan profesional tanpa melibakan perasaan maka kau ….” Wajah Meggie memerah karena ingatan yang terjadi semalam.
“Reputasiku tidak perlu lagi di ungkit hanya untuk merusaknya,” jawab Bram dengan suaranya yang tenang, tetapi mulutnya membentuk garis tipis.
“Apakah reputasimu sudah rusak? Apakah masih perlu dipertanyakan?” tanya Meggie dengan marah.
“Kau perlu mengenalku lebih baik Bram,” kata Meggie saat dia memilih kursi yang berada di depan Meja Bram untuk duduk dan jarinya mengetuk amplop yang masih berada di atas meja.
“Aku tidak pernah melakukan pekerjaan setengah-setengah dan aku akan melihat seberapa besar aku bisa melihat pengaruh dari reputasimu. Kau tidak bisa menghentikan diriku sebelum artikel tersebut selesai.”
“Boleh aku tahu apa yang akan kau lakukan?” tanya Bram dengan pandangannya yang tajam ke arah Meggie.
“Aku akan mencari jalan untuk mengetahui siapa dirimu sebenarnya Bram. Pada satu sisi aku mengenal seorang anak yang berusaha keras untuk bertahan dan membangun kehidupan yang cukup mapan,” jawab Meggie.
Meggie bangun dari duduknya dan berjalan menuju jendela. “Dan pada satu sisi lainnya aku juga melihat seorang pengusaha yang begitu besar dengan aset kekayaan yang luar biasa. Pintar memasak dan memiliki hubungan dengan para wanita yang menjadi kliennya atau hanya mendekatinya untuk mendapatkan kepopuleran.” Katanya menatap Bram dari tempatnya berdiri.
“Kau sangat kreatif, berbakat sekaligus sangat cepat terangsang. Apakah kau menyadarinya Bram? Dan semua itu adalah teka-teki yang tidak akan aku biarkan begitu saja tanpa aku pecahkan.”
“Kau melakukannya sebagai pengarang atau sebagai wanita?” tanya Bram.
“Aku seorang pengarang sekaligus seorang wanita. Dan aku menolak kalau diriku sebagai wanita mempengaruhi hasil karya ku,” jawab Meggie dengan wajah memerah.
“Kalau begitu. Apakah kau akan mengatakan padaku bagaimana aku bisa berpikir dan menyimpulkan bahwa kau akan menolak tawaran untuk membuat artikel tersebut?”
“Apa maksudmu?” tanya Meggie mengerutkan keningnya.
“Apa yang terjadi semalam telah membuatku menarik kesimpulan bahwa kau tidak mau melanjutkan untuk menulis artikel itu.” Beritahu Bram sambil meletakkan tangannya di pipi.
“Tidak lucu Bram. Kenapa kau harus meraba pipi mu sementara telapak tanganku bahkan tidak sempat mengenai kulitmu,” kata Meggie tertawa.
Meggie tidak mengerti mengapa dia harus tertawa saat melihat tangan Bram meraba-raba pipinya seolah-olah dia telah menerima tamparan yang sangat keras.
“Aku beruntung berhasil menangkap pergelangan tanganmu tepat sebelum telapak tanganmu mendarat di wajahku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Tenagamu saat melepaskan diri dari pelukanku saja sudah sangat besar,” katanya menyeringai.
“Mengapa kau membiarkan aku marah Bram?”
“Karena kau sangat cantik dan aku yakin tidak bisa mengatasi godaan untuk menyentuhmu selain membiarkan kau marah,” jawab Bram menggoda.
“Tidak Bram, Kau tidak bisa melakukannya,” jawab Meggie menunduk menatap lantai.
Bram berdiri dan berjalan mendekati Meggie dengan tangan yang berada di samping wajah Meggie seolah-olah Bram melarangnya menjauh.