Entah sudah berapa kali Vivian mengumpat dalam hati akan kesialannya hari ini. Kedatangannya ke pulau dewata memang dalam rangka menghadiri pesta pernikahan seniornya ketika kuliah dulu. Namun di balik semua itu, ia sudah menyiapkan banyak rencana terselubung yang berpotensi menambah pundi-pundi rupiahnya di dalam rekening.
Sayangnya, semua rencana itu gagal total. Bukannya mendapat banyak keberuntungan bak durian runtuh, gadis itu justru terjerumus dalam drama panjang yang menguras emosi dan tenaga. Bayang-bayang mendapat mobil mewah dari Annette pun pupus sudah. Malah yang terpampang nyata adalah kenyataan kalau ia hampir saja dimanfaatkan Annette dan sindikatnya untuk menyembunyikan barang haram yang menjadi bisnis ilegalnya.
"Pokoknya bilang sama majikan lo, gue nggak bisa nerima hadiah mobil ini!" Vivian gagal bertemu langsung dengan Annete. Jadi ia terpaksa berdebat dengan salah seorang penjaga di halaman depan villa tempat tinggal Annette.
"Tunggu dulu sebentar, Mbak Anne sebentar lagi turun. Dia masih mandi."
"Ciih.. mandi apaan malem-malem gini. Pasti mandi plus-plus sama sugar daddy kebanggaannya, yang ada gue bakalan kering nunggu di sini," gumam Vivian tak berani mengeraskan suaranya.
"Apa?" pria dengan setelan serba hitam itu mendekatkan wajahnya.
"Hah, apa?" Vivian membeliak berharap pria berpostur bongsor itu tak mendengar cibirannya. "Nggak apa-apa kok, nggak apa-apa," sambungnya meringis salah tingkah.
"Pokoknya lo balikin aja itu kunci mobil ke majikan lo, setelah dipikir-pikir gue nggak bakal sanggup bayar pajak mobil ini yang mahal banget, jadi gue nggak bisa terima."
"Silakan bicara sendiri dengan majikan say—"
"Diih, bawel banget! tinggal bilang gitu doang ke majikan lo, ribet amat," potong Vivian lantas menyerahkan kunci ke telapak pria itu dan cepat-cepat berbalik sebelum penjaga dengan wajah sangar itu mencurigainya. "Gue udah ditunggu bokap gue di depan, bye. Thank you," pekik Vivian langsung mengambil langkah seribu dengan berlarian kecil menuju gerbang utama di mana Ghidan tadi menunggunya.
Vivian mengusap wajahnya berkali-kali. Entah punya dosa sebanyak apa gadis cantik berwajah mungil itu, sampai-sampai ia harus membayar karma segini banyaknya? Ayah dan kakak kebanggaannya tewas mengenaskan akibat kecelakaan. Lalu ibunya menikah lagi dan sialnya menjadi korban KDRT. Ayah tirinya ternyata pebisnis gadungan yang gila main judi online dan menipu sana-sini. Perusahaan mendiang ayahnya juga bangkrut dan meninggalkan milyaran hutang. Dan terkahir ... Vivian harus pontang panting sendirian demi menebus rumah terakhir peninggalan sang ayah tercinta. Lengkap kan?
Ingin rasanya menangis dan berteriak kencang meratapi nasib sialnya. Tapi Vivian masih cukup waras untuk tak membuat kegaduhan tengah malam yang bisa berujung buruk bagi dirinya sendiri. Bisa-bisa ia dikira orang depresi yang kabur dari rumah sakit jiwa kan?
"Gue udah kirim kordinat lokasinya ... valid. Mereka ada di Canggu selatan, Bang. Barang bukti juga lengkap, bisa jadi akan ditemukan lebih banyak lagi di dalam ... Siap 86, terima kasih kembali."
Vivian menajamkan telinga saat samar-samar mendengar suara pria asing yang tadi memojokkannya pak seorang narapidana kelas kakap.
"Oiya, email dan chat Anne juga udah gue retas, transaksi mereka lengkap ada di sana," sambung suara itu sebelum menghilang dari pendengaran.
Entah siapa nama pria jangkung yang mendadak muncul menjadi mimpi buruk Vivian itu. Namun satu yang gadis itu yakini, pria itu masih ada hubungannya dengan keluarga Irawan Dwisastro. Mantan kekasih yang gagal ditaklukkan lagi oleh Annette. Oleh karena itu Annette begitu terobsesi untuk mengerjainya yang notabene baru saja menikah dengan wanita lain.
"Puas lo, udah ngerjain gue sejauh ini!" omel Vivian saat melihat sosok Ghidan dari balik tiang reklame. Setelah melepas high heels yang menyiksa telapak kaki, gadis itu terduduk lemas di pinggiran jalan.
Ghidan bergeming tak berniat merespon. Ia hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada gawainya. Seolah sibuk sekali tengah menata peradaban dunia.
"Heh, Patung Pancoran! sesuai janji lo, anterin gue pulang."
"Hmmm... " Ghidan hanya berdeham dengan jemari tetap memainkan ponsel.
"Kuping lo mana sih? gue capek, ngantuk juga, jadi anterin pulang sekarang!" rengek Vivian hampir frustasi.
Ghidan mengulurkan kelima jemari besarnya ke udara. "Lima menit," serunya singkat tak peduli dengan keluhan Vivian yang dianggapnya angina lalu.
Vivian membusungkan d**a, bersiap mengeluarkan bantahan lagi. Namun dering ponsel dari dalam clutch yang ia letakkan sembarangan di atas trotoar mengusik konsentrasinya.
Nama Bi Tum, berkedip beberapa kali di layarnya. Vivian memeriksa arloji dengan rantai keemasan yang cantik di pergelangan tangannya. Pukul satu dini hari. Perempuan paruh baya yang mengasuhnya sejak bayi itu pasti khawatir karena seharian ini ia belum sempat memberi kabar sama sekali.
"Iya, Bi," sapa Vivian tak repot memberi salam.
"Non, kok nggak ada kabar sama sekali. Ditelpon juga susah, bibi khawatir." Suara Bi Tum masih terdengar tegas, seolah tubuh rentanya belum dimakan usia senja.
"Maaf, Bi. Tadi HP sempat aku silent," jawab Vivian mengusap wajah sembari menekuri aspal di bawah kakinya. "Bibi tidur aja, nggak usah nunggu aku ya. Besok aku ambil penerbangan pagi kok,"
"Iya, Non. Habis ini Bibi tidur, setidaknya udah lega karena Non Vian baik-baik aja."
"Aku baik-baik aja, Bi. Nggak usah parno."
"Bibi udah tua, Non. Nggak suka sama film porno. Dosa, Non."
Vivian tersenyum kecil mendengar kalimat pengasuhnya itu.
"Eh, Non, orang-orang suruhan Pak Barata nggak ada yang ngikuti Non lagi kan?"
Vivian mengambil napas panjang lantas menghembuskannya pelan. Mengingat komplotan debt collector sialan itu membuatnya mual lagi. "Nggak kok, Bi. Kan kemarin udah aku cicil dari hasil penjualan mobil. Sisanya aku janjiin dalam dua bulan, jadi mereka nggak akan nagih lagi."
Mendengar kata 'mobil', membuat Vivian teringat bagaimana ia harus merelakan mobil satu-satunya harus dijual untuk membayar sebagian hutang keluarganya. Lalu malam ini, juga ia kembali harus merelakan ‘mobil hadiah' yang sayangnya hasil dari bisnis haram yang berpotensi menjeratnya dalam kasus hukum.
"Syukurlah kalau mereka nggak ganggu Non lagi."
"Nggak kok santai aja. Sekarang tinggal fokus nebus rumah aja, Bi, sebelum masuk bursa lelang. Orang-orang dari bank nyamperin kontrakan lagi nggak?"
"Nggak tahu, Non. Seharian ini Bibi di luar, habis bersih-bersih langsung ke makam bapak, terus lanjut lagi ke pasar buat belanjain bahan pesenan, Non Vian."
"Ya sudah kalau gitu, kayaknya hidup kita bakal tenang tanpa gangguan dept collector lagi untuk sementara, Bi." Vivian terkekeh sendiri menertawakan nasibnya yang bak roller coaster.
"Iya, Non. Non buruan istirahat ya, kan besok harus balik pagi."
“Iya, iya.” Vivian mengangguk patuh. Setelah pengasuhnya menutup panggilan, wajahnya kembali kusut sambil menekuri jalanan sepi yang ada di depannya.
"Eh, Kampret, lo ngagetin aja, Supri!" Vivian berjingkat sambil memegang d**a kiri karena kemunculan Ghidan di sampingnya yang sangat tiba-tiba. Pria itu tak bersuara hanya memandangi wajah Vivian dengan tatapan datar seperti biasanya.
"Lo nguping gue ya!" tuduh Vivian mengacungkan ibu jari.
“Nggak minat!” Ghidan hanya berdecak kecil lantas berkata, "Ayo saya antar, kamu tinggal di mana?"
Vivian menimbang sebentar sebelum menyebutkan nama villa milik Yasmin, salah satu teman yang berbaik hati mengijinkannya menumpang selama di Bali. Tentu saja Vivian menumpang, karena ia tak rela menghamburkan tabungannya hanya untuk menyewa villa yang dekat dengan lokasi pesta Marco. Tak mungkin juga ia mengeluarkan jutaan rupiah di tengah krisis ekonomi lokal yang melanda hidupnya.
“Gue nginep di La Belizza, anterin ke sana aja,” jawab Vivian dengan nada ketus.
“Nih, kamu pak—”
“Apa lagi sih?” gertak Vivian saat bangkit dan menghadap Ghidan yang menguluskan jaket kulit padanya.
“Kamu bisa masuk angin kalau naik motor dengan gaun minimalis itu. Saya nggak berencana bikin orang sakit malam ini.”
“Gue…”
“Pakai saja!” tegas Ghidan enggan menerima penolakan.
Ya sudahlah, Vivian menurut saja. Terlebih lagi tubuhnya memang sudah sangat lelah dengan semua kejadian hari ini. Gadis itu hanya ingin cepat sampai di villa dan segera bergelung di atas kasur yang nyaman untuk melepas penat di kepalanya.
Sayangnya, harapan Vivian kembali menjadi candaan semesta. Karena setelah berdiri hampir satu jam di depan gerbang villa milik Yasmin, tak seorang pun yang datang dan membukakan pintu untuknya. Vivian sudah menghubungi temannya itu puluhan kali, namun panggilannya selalu dialihkan ke kotak suara. Tebakannya, Yasmin tengah teller berat setelah ‘bertempur’ dengan pacar bule yang selalu dielu-elukannya itu.
“Gimana?”
“Nggak ada respon,” cicit Vivian hampir terisak saat menjawab pertanyaan Ghidan.
“Terus?” tanya Ghidan lagi seolah tak bisa merangkai kalimat panjang.
“Terus ya udah, gue bakalan jadi gembel malam ini dan tidur di depan gerbang.” Vivian menujuk gerbang besar di depannya.
“Nggak ada opsi lain?”
“Elo balik aja deh, dari pada ikut ribetin hidup gue yang udah kayak sinetron cap ikan terbang ini,” dengkus Vivian seolah mengusir Ghidan.
“Saya tinggal di Bellana yang hanya sepuluh menit dari sini, daripada kamu tidur di pinggir jalan. Saya berniat baik untuk memberi kamu tumpangan sampai besok pagi. Saya nggak ada maksud buruk, saya beneran hanya mau kasih kamu tempat untuk tidur malam in—”
“Oke gue, ikut!” potong Vivian sudah bisa menebak maksud Ghidan. Mengenyampingkan rasa herannya akan Ghidan yang bisa berceloteh panjang, gadis itu langsung menyimpan ponselnya dan berjalan mendekati motor Ghidan.
“Mata gue udah ngantuk banget sumpah,” sambung gadis itu lalu kembali naik ke boncengan motor. Tak peduli dengan wajah Ghidan yang menganga saat mendengar responnya yang secepat kilat. Vivian bisa menangkap maksud tulus Ghidan, karena itulah ia menerima tawaran pria itu. Lagi pula … mana mungkin pria yang kakunya sudah sebelas dua belas dengan patung kepanasan itu akan berniat buruk padanya kan?
***