MC - 3

1130 Kata
                “Al, belum mau pulang, nih? Udah sore, fakultas juga udah sepi.” Fani menghampiri mejaku untuk menyerahkan flashdisk tugas yang besok pagi akan kutaruh di meja Prof Yahya. Dia duduk di kursi yang berada tepat disebelahku, lalu melongokkan kepala untuk melihat apa yang sedang aku ketik. “Tugas Algoritma Pemograman buat minggu depan?” tanya Fani  begitu dia melihat layar laptop. “Hm...” “Jawabnya yang niat kenapa, sih, Al?” “Tugas yang di flashdisk aku kumpulin besok pagi aja, Fan, sendiri nggak papa. Sekarang, kalau kamu mau pulang duluan silahkan.”                 Gerakan tanganku di keyboard seketika terhenti ketika Fani mendorong layar laptopku sampai menutup separonya. “Sampai kapan pun, Vita nggak akan pernah kembali lagi, Al. Tapi kami harap, kamu yang dulu bisa cepat kembali. Capek tahu, ngomong sama patung. Ham hem doang. Ngomong panjang kalau cuma ada perlu.”                 Fani berdiri, lalu pergi meninggalkanku sendirian di kelas. Kulirik arloji di tangan, dan ternyata saat ini jam sudah menunjukkan pukul lima lewat dua puluh dua menit. Itu berarti, aku masih punya cukup waktu sebelum fakultas ditutup. Ini hari senin, biasanya fakultas akan ditutup kisaran jam enam.                 Klutak!                 Napasku seketika tertahan untuk beberapa detik, begitu bulpoinku tiba-tiba jatuh menggelinding sampai depan, tepatnya sampai bawah meja dosen. Aku menatap ke depan sejenak, lalu tersenyum tipis. “Sebentar lagi, tinggal dua baris terus tekan enter, selesai.” Aku sudah seperti orang gila, senyum sendiri, bicara sendiri.                 Sebenarnya, aku tidak begitu yakin kalau yang menemaniku di sini hanya Jo. Aku yakin sekali ada beberapa lainnya. Energi di kelas ini cukup kuat, sampai terkadang aku merasa agak sesak. Saat ini aku sedang berada di ruang kelas lantai empat, tepatnya ruang kelas paling pojok, dekat kamar mandi. Ngomong-ngomong, sudah menjadi rahasia umum kalau fakultasku banyak dihuni makhluk tak kasat mata, apalagi setelah ditemukannya mayat Jo di kamar mandi. Banyak temanku yang sering melihat penampakan aneh ketika sore hari. Sepertinya, kematian Jo banyak dimanfaatkan oleh mereka yang jahil dan tak terlihat.                 Setelah aku menyelesaikan tugas dan mengirim email, aku buru-buru merapikan buku dan memasukkannya ke dalam tas. Namun, aku dibuat kaget ketika tiba-tiba mendengar bunyi notifikasi dari laptop yang belum kumatikan. “Loh, langsung dibales?” tanpa sadar aku menggumam. Ternyata dia sedang online. Dia di sini adalah salah satu teman onlineku. Kami belum pernah bertemu, tapi sudah berteman sejak aku masih kuliah S1. Mungkin lain kali akan kuceritakan sedikit tentang bagaimana kami bisa beteman.                 alanna_pz01@g*******m                 “Kuperiksa nanti malam. Sebagai gantinya, tugas kalkulusku sudah kukirim.”                 Aku tersenyum, kali ini lebih lebar. Aku tak membalas pesan itu dan memilih untuk segera mematikan laptop sebelum akhirnya keluar kelas.                 Karena saat ini aku sedang berada di lantai empat, tiba-tiba langkahku terhenti begitu sampai di lorong menuju kamar mandi. Kamar mandi putra lantai empat sudah direnovasi semenjak kasus pembunuhan Jo. Rencana awal, kamar mandi ini mau ditutup, tapi dekan fakultas tidak setuju karena itu hanya akan membuat fakultas ini semakin terlihat menyeramkan. Akhirnya, keputusan akhir yaitu direnovasi dan sedikit diubah tata letaknya. Karena kalau tidak, hampir tidak ada satu pun mahasiswa yang mau memakai kamar mandi itu lagi.   “Mas Aldika!” Aku segera menoleh ketika tiba-tiba mendengar seseorang memanggilku. Ternyata beliau adalah Pak Satpam yang sedang mengunci satu persatu ruang kelas yang sudah tidak ada lagi mahasiswanya. “Iya, pak. Gimana?” aku berhenti, menunggu beliau melanjutkan kalimatnya. “Tunggu saya, Mas, kita turun bareng. Ada yang mau saya kasih tahu. Sebentar ya, saya ngunci pintu dulu, tinggal dua kelas.” “Oh iya, pak. Saya tunggu.”                  Beliau ini Pak Santo, satpam yang waktu itu menegurku untuk segera pulang ketika menunggu Jo yang tak kunjung datang. Setelah kematian Jo, aku dan beliau jadi kenal cukup dekat. Beliau seringkali menanyai kabarku, mungkin khawatir setelah hari itu beliau melihatku menangis.   “Ini sudah selesai, Mas. Ayo kita ngobrol di bawah. Sebentar saja.” Pak Santo tersenyum lebar begitu beliau sudah berdiri tepat di sebelahku. Kami jalan beriringan menuruni anak tangga sampai lantai satu.                 Begitu sampai di lobi, Pak Santo mengajakku duduk di meja lebar berbentuk kotak yang biasa digunakan para mahasiswa untuk sekedar berkumpul atau menunggu. “Mas, langsung saja, ya, karena waktu sudah sore. Jadi gini, sebenarnya, waktu saya mengangkat mayatnya Mbak Vita, saya menemukan ini jatuh ke lantai.” Pak Santo memberiku kertas berukuran kecil, yang sudah lusuh seperti bekas diremas. “Saya nggak tahu apa ini ada hubungannya sama kematian Mbak Vita atau nggak. Waktu itu saya sangat panik, jadi langsung saya masukin saku. Saya lupa terus mau ngasih ini ke Mas Al,” lanjut beliau kemudian. “Oh iya, pak. Terimakasih.” Aku menerima kertas itu, dan langsung membaca isinya.                   Seketika itu, mataku langsung memicing. Perlu kalian tahu saja, kalau kertas itu berisi tulisan yang sama persis seperti di buku catatan yang diberikan oleh Tante Umi. Bedanya, di kertas itu sudah di coret. Bahkan angka-angkanya pun sama, yang beda hanya bagian akhir. Deret primanya salah. Dia menuliskan angka satu sebelum angka dua. “Gimana, Mas? Apa itu hanya coretan biasa, atau kira-kira ada hubungannya sama kematian Mbak Vita?” tanya Pak Santo setelah melihatku hanya terdiam. “Saya belum bisa menjawab dengan pasti, pak. Tapi sepertinya ada hubungannya.” “Wah, saya juga curiga. Meski saya ini orang bodoh*, tapi saya tahu kalau kata ‘die’ itu artinya mati.” “Benar pak, ini artinya ‘kamu harus mati’,” ujarku sembari menunjuk kata ‘You Must Die’. “Kalau angka-angkanya itu kenapa, Mas? Kok pakai dicoret?”   “Nah ini saya belum tahu, pak. Tapi yang pasti, setelah melihat ini, saya jadi yakin kalau pembunuhnya tahu tentang konsep dasar matematika. Meski angak-angka ini kelihatan sepele, tapi tidak semuanya kepikiran sampai membuat ini.” “Kira-kira motifnya apa, Mas? Setahu saya, Mbak Vita ini orangnya baik.”                 Mendengar dua kata terakhir yang diucapkan Pak Santo, dadaku mendadak terasa sangat sesak untuk beberapa detik. “Iya, pak. Jovita orangnya baik, baik banget.”                 Kali ini Pak Santo langsung menepuk pelan punggungku beberapa kali. “Yang sabar ya, Mas.” “Iya, pak. Ini saya sangat berterimakasih, karena lewat tulisan ini, saya jadi mendapat clue tambahan.” “Maksudnya, Mas?” “Nanti saya usahakan cerita sama bapak kalau sudah agak lebih jelas.  Sebelumnya, biar saya selidiki sendiri dulu.”                 Pak Santo mengangguk paham. “Siap, Mas. Semoga lekas ketemu pelakunya.” “Amin pak, terimakasih banyak. “ “Sama-sama.”                 Setelah Pak santo pergi, aku segera membuka foto yang waktu itu sudah dikririm Tante Umi ke ponselku, lalu membandingkannya dengan kertas lusuh yang baru saja aku dapat. Benar saja, semuanya persis sama, hanya berbeda di deret bilangan prima dan coretannya.                 Tiba-tiba saja, satu nama langsung muncul di pikiranku, meski aku sendiri belum yakin apakah dia, atau bukan. “Mas Angga, kemana dia waktu Jo dimakamkan?” ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN