Malam sudah menjelang dan pesta besar itu pun sudah usai. Yang tersisa saat ini hanyalah sebuah rasa lelah pada setiap diri yang terlibat dalam pesta pernikahan Asri dan Deden.
Para tamu undangan sudah bubar, bahkan pemilik catering pun sudah mengemasi semua peralatan milik mereka.
“Pa, Ma, Asri capek. Mau ke kamar dulu, boleh ya?” Asri yang masih mengenakan pakaian pengantin, mohon pamit kepada ke dua orang tuanya.
“Iya, Sayang ... mama dan papa juga ingin istirahat.” Andhini menatap ke arah jam besar yang terdapat di ruang tengah rumah itu. Jam itu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Asri pun berlalu naik ke lantai dua menuju kamar pengantinnya. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa mulai dari pintu hingga bagian dalam.
Melihat putrinya sudah naik ke lantai dua, Reinald pun segera menemui Deden yang tampak masih asyik berbincang dengan Soni.
“Deni ....”
“Papa ....” Deden kaget melihat kedatangan ayah mertuanya. Walau kini statusnya adalah sebagai menantu, tetap saja Deden alias Deni Raharja masih memiliki rasa segan dan malu terhadap Reinald.
“Deni, maaf kalau mulai sekarang papa memanggilmu dengan sebutan Deni. Kamu tidak keberatan’kan?”
“Keberatan? Ti—tidak, Pa. Ada apa, Pa?”
“Tadi papa lihat Asri sudah naik ke lantai dua. Sebaiknya kamu juga segera menyusul istrimu. Siapa tahu Asri butuh bantuan atau apa.”
“Owh ... baiklah, Pa.”
“Maaf kalau papa sudah merusak obrolan kalian.”
“Tidak apa-apa, mas Rei. Hari juga sudah sangat larut. Kita sendiri juga sepertinya butuh istirahat. Obrolan yang tertunda, masih bisa kita sambung besok-besok’kan?”
“Terima kasih, Soni. Oiya, saya juga sepertinya butuh istirahat. Seperti yang kamu katakan tadi, obrolan yang tertunda bisa kita sambung esok hari. Tapi kalau rasa lelah dan mengantuk tetap ditahan, maka nanti akan jadi penyakit.”
Soni terkekeh ringan, “Iya, Mas.” Soni tiba-tiba menguap.
“Nah’kan? Kakek Kalimantan juga ternyata sudah mengantuk, hahaha ....” Reinald terkekeh, begitu juga Soni dan yang lainnya yang masih ada di sana. Sementara Deden, sudah lebih dahulu naik ke lantai dua, menuju kamarnya.
Di pintu kamar, Deni melihat pintu itu sudah tertutup rapat. Berkali-kali pria itu mengepalkan ke dua telapak tangannya. Ia ragu hendak membuka pintu sebab rasa malu dan rasa segan itu masih ada di dalam hatinya.
Beberapa menit, Deden masih saja berdiri kaku di depan pintu kamar pengantin yang kini sudah sah menjadi kamarnya juga. Jangan membuka, mengetuk saja Deden enggan.
Dari lantai satu, Andhini melihat semua itu. ia pun memanggil suaminya.
“Mas, sini!”
Reinald menoleh, “Ada apa, Sayang ....”
“Sini!”
Reinald mendekat, “Ada apa, ha? Memangnya kamu tidak capek main sini-sini aja. Nanti mas rudal, kamunya engap-engapan.” Reinald malah menggoda istrinya seraya mencubit hidung bangir Andhini.
Walau sudah tidak lagi muda, Reinald masih belum kehilangan sikap romantisnya. Bahkan gairahnya pun, tak kalah dibanding dengan lelaki yang usianya jauh di bawahnya.
“Mas ini, kenapa otak kamu itu selalu saja m***m, ha?” lirih Andhini seraya membesarkan matanya.
“Kalau dekat kamu aku nggak bisa kalau nggak mesum.” Reinald malah balik menatap istrinya dengan tatapan penuh nafsu.
Melihat cara Reinald memandanginya, Andhini segera membuang muka.
“Lho, kok malah menghindar?”
“Mas, kamu lihat ke atas.”
“Buat apa lihat ke atas kalau yang di bawah lebih indah.”
“Mas Rei ....” Andhini menyatukan ke dua giginya. Ia geram dengan sikap suaminya yang selalu saja memancing-mancing jika diajak bicara.
Melihat Andhini yang sudah berubah menjadi macan, Reinald pun segera melabuhkan pandangannya ke arah atas.
“Memangnya ada apa di atas, Sayang? Tidak ada apa-apa. Hanya ada loteng, lampu dan ... tidak ada apa-apa lagi.” Reinald memerhatikan setiap detail langit-langit rumahnya.
“Bukan ke atas sana yang aku maksud, Mas. Tapi ke situ.” Andhini memutar kepala suaminya hingga wajah Reinald menoleh ke arah kamar Asri.
“Lo, ngapaian Deni masih berdiri di sana?” tanya Reinald.
“Makanya ... kalau orang bicara itu, dengar dulu dengan jelas. Mas ini tiap diajak ngobrol, bawaaannya m***m aja terus.” Andhini mencebik.
“Habisnya kamu cantik, jadi setiap lihat kamu bawaannya on terus.” Reinald kembali menggoda Andhini.
“An on an on ... cepat susul si Deni ke atas sana, Mas. mau sampai kapan menantu kamu itu berdiri di sana.” Andhini mendorong tubuh Reinald hingga ke dasar tangga.
“Iya ... nyonya besar ini nggak sabaran, ah.”
Reinald mulai melangkah ke atas sementara Andhini berjalan menuju sofa dan mendudukkan bokongnya di atas sofa. Rasa lelah dan usianya yang sudah tidak lagi muda, membuat Andhini lebih sering menghindari naik turun tangga.
“Deni, ngapain masih berdiri di sini?” ucap Reinald seraya berdiri degan gagah di samping Deden.
Deden terperanjat mendengar suara Reinald. Pria itu seketika kembali kaku.
“Ma—maaf, Pa. Aku mau masuk tapi?”
“Tapi apa?”
Jantung Deden berdetak sangat cepat setiap mendengar suara Reinald. Padahal suami Andhini itu bicara dengan intonasi biasa saja. Tidak lembut dan juga tidak kasar. Tapi Deden seakan menelan rudal ketika mendengar suara ayah mertuanya itu.
“Tapi apa, Deni?” Tanya Reinald lagi.
“Ta—tapi saya segan, Pa.”
“Segan apanya? Asri itu istri kamu, rumah ini juga adalah rumah kamu. Apa yang kamu segan’kan lagi?”
“Bagaimana kalau nanti Asri marah dan mengusir saya?” Tiba-tiba Deden berhenti tergagap setelah mendengar suara dengan intonasi sedikit tinggi dari Reinald.
“Ya Allah ....” Reinald menepuk kepalanya sendiri, lalu mengambil tangan Deden dan meletakkan tangan itu di atas gagang pintu.
“Putar gagang pintu itu dan masuk!” perintah Reinald.
Deden mengangguk. Pria itu pun segera memutar gagang pintu. Pintu pun terbuka.
“Lho, kok ada papa?” Asri yang masih mengenakan pakaian pengantin, heran melihat ada ayahnya di balik daun pintu.
“Kalau papa tidak datang, suami kamu pasti masih akan berdiri di sini sampai pagi.”
“Berdiri di sana sampai pagi? Maksudnya?”
“Asri tanya sendiri saja sama Deni. Oiya, papa mau istirahat dulu. Bisa papa lihat cucu papa sebentar?”
Asri menggangguk, “Masuk saja, Pa.”
Reinald mengangguk dan berjalan menuju ranjang bayi. Dimas terlelap dengan nikmat di atas ranjangnya. Wajahnya sangat tampan, persis seperti ayahnya.
“Kesayangan opa ... Mulai malam ini, jagoan opa sudah punya keluarga yang lengkap. Sudah ada mama dan papa yang akan menyayangi Dimas dengan sepenuh hati. Oma dan Opa juga akan selalu setia mendampingi Dimas. Tumbuhlah jadi anak yang baik, cerdas dan hebat, Cucuku,” lirih Reinald, kemudian mengecup lembut kening bayi yang tengah terlelap itu.
Setelah mencium cucunya, Reinald pun berjalan mendekati Asri dan Deden.
“Sayang, papa turun dulu ya ....”
“Iya, Pa.” Asri mencium punggung tangan ayahnya dengan takzim.
“Deni, tolong jaga Asri dan Dimas dengan baik. Papa percayakan harta berharga papa ini kepadamu.”
“Iya, Pa. Insyaa Allah ....” Deden pun melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Asri.
“Ya sudah, kalian beristirahatlah. Papa juga mau tidur, papa capek.” Reinald pun melangkah keluar kamar Asri. Tidak lupa, suami Andhini itu menarik gagang pintu hingga pintu kamar Asri tertutup dengan rapat.
“Bagaimana, Mas?” tanya Andhini sesaat setelah suaminya sampai di lantai satu.
Reinald menggeleng, “Kalau aku tidak paksa masuk, mungkin sampai pagi menantu kamu itu akan tetap berdiri di depan pintu sampai pagi.”
Andhini terkekeh seraya senyum-senyum kecil.
“Kenapa senyum-senyum begitu?” Reinald menatap istrinya yang tersenyum seakan malu.
“Nggak kenapa-kenapa. Oiya, ke kamar yuk.”
“Haduh, sudah diajak masuk kamar saja. Alamat ini ....”
“Dasar aki-aki, otaknya kayaknya harus diservis dulu deh. Dari tadi m***m aja.” Andhini mengomel seraya masuk ke dalam kamarnya.
Reinald pun ikut masuk dan menutup rapat pintu kamarnya. Tidak lupa, pria itu menguncinya dari dalam.
“m***m sama istri sendiri itu hukumnya sunnah. Jadi, semakin sering dilakukan, semakin banyak pahalanya.”
Andhini membalik tubuhnya, lalu mendaratkan sebuah ciuman di pipi Reinald. Setelah memberikan sebuah ciuman, Andhini pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Baru saja Reinald hendak menyusul, Andhini segera menutup pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam.
“Sayang ... kenapa ditutup?”
“Jangan malam ini, besok saja. Malam ini aku sangat lelah.” Ucap Andhini setengah berteriak dari dalam kamar mandi.
Reinald seketika menatap bagian bawah tubuhnya, “Kamu puasa dulu malam ini ya ... mbakmu belum siap. Maklum sih, mbakmu pasti sangat lelah setelah seharian mengurus pesta. Ya sudah, sebaiknya kita bobok cantik saja.” Reinald memukul pelan rudal miliknya, lalu melepas pakaiannya dan langsung berbaring di atas ranjang tanpa membersihkan tubuhnya terlebih dahulu.