Pagi sudah menjelang. Sinar matahari sudah masuk ke rumah besar milik bos G Resto & cafe itu. Di ruang makan itu, masih tampak ramai dengan kehadiran keluarga jauh Andhini dan juga Soni beserta keluarganya. Hari ini, mereka semua akan bertolak ke diaman mereka masing-masing.
“Mas Rei, terima kasih banyak atas jamuannya. Sekali lagi, om ucapkan selamat untuk Asri dan Deden. Semoga kalian menjadi pasangan suami dan istri yang selalu berbahagia. Jangan lupa, kalau nanti main-main ke Berau. Bawa Dimas juga.” Soni menatap Deden dan Asri yang duduk bersebelahan.
“Terima kasih, Om.”
“Tante juga harus balik ya, Sayang ....” Resti yang duduk di samping Asri, membelai lembut bahu wanita itu.
“Terima kasih sudah datang dan mendoakan aku, Tante.”
Agung dan yang lainnya juga berpamitan setelah mereka semua menyelesaikan sarapan mereka.
Suasana pagi itu penuh dengan haru. Rumah yang tadinya begitu ramai, akan kembali seperti biasa. Hanya ada Reinald, Andhini, Andre, Asri, Dimas dan kini ada Deden di tengah-tengah mereka.
Satu persatu dari mereka meninggalkan rumah Reinald dan bertolak ke bandara.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan. Reinald menarik napas lega setelah melepas semua anggota keluarganya untuk bertolak ke kediaman masing-masing.
“Asri, Deni, jadi mau terima tawaran papa untuk berbulan madu? Kalian mau ke mana? Biar papa yang memfasilitasi.”
Asri dan Deden saling berpandangan.
“Kenapa malah diam dan saling berpandangan begitu? Apa ada masalah?”
Deden menggeleng, “Nggak ada masalah, Pa. Tapi ....”
“Tapi apa, Deni?”
“Tapi teh ... kita mau pergi kalau boleh bawa Dimas, begitu, Pa.”
Deden masih kaku. Ia berdiri di sebelah Asri seraya menyilang tangannya di atas perutnya.
Andhini terkekeh mendengar ucapan Deden. Tidak hanya intonasi bicara Deden yang masih kaku saja yang membuat ibu dari Rea itu terkekeh, akan tetapi sikapnya juga terlihat lucu di mata Andhini.
“Kalian ini mau bulan madu atau mau mengasuh anak? Bulan madu itu berdua saja tanpa membawa Dimas. Dimas biar di rumah sama mama kamu. Lagi pula ada mbaknya juga yang akan menjaga Dimas.”
“Iya, tapi saya teh masih ingin sama-sama Dimas, Pa.”
Reinald menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan. Deden memang masih kaku dan harusnya Reinald masih mengerti hal itu. Tapi Reinald tidak ingin ada kekakuan di rumahnya. Deden adalah menantunya, itu berarti Deden adalah anaknya juga.
“Deni, papa tidak suka dibantah. Papa sudah siapkan tiket ke Bali untuk kalian berdua selama lima hari dan selama itu, Dimas akan tetap di sini bersama kami.”
“Apa? Lima hari? Pa, Dimas’kan masih ASI. Lima hari itu sangat lama, Pa.”
“Bukan’kah stok ASI kamu masih banyak di dalam freezer? Papa rasa stok itu masih cukup untuk sepuluh hari.”
“Iya, tapi aku juga akan tersiksa jika tidak menyusui Dimas secara langsung selama itu, Pa.”
“Jangan banyak alasan. Bukankah sudah ada bayi besar pengganti Dimas?” Reinald mengatakan hal itu seraya berlalu.
Senyum yang terukir di bibir Andhini semakin melebar. Wanita itu menyembunyikan senyumnya di balik telapak tangannya dan segera berlalu menyusul Reinald. Sementara Deni masih saja berdiri kaku di samping istrinya.
“Mas, kamu kok becandanya kelewatan. Anak orang sampai merah gitu lo mukanya,” lirih Andhini ketika sudah sampai di samping suaminya. Mereka berdua sama-sama berjalan menuju taman belakang. Dimas tengah bermain di sana bersama pengasuhnya.
“Kalau nggak dibegitukan, kapan Deden akan tegas. Jadi suami kok lembek begitu.”
“Itu namanya bukan lembek, Mas. Tapi sopan dan banyak segannya.”
“Mas tidak suka seperti itu. Bagaimana pun juga, dia itu sudah menjadi suaminya Asri dan menantu kita. Deden harus menyesuaikan diri.”
“Kamu ini, Mas. Dari dulu selalu saja keras kepala. Dibilangin nggak mau dengar.”
“Memangnya mas ada salah?” bantah Reinald seraya menatap wajah Andhini.
“Nggak ... kamu tidak pernah.” Andhini tersenyum kecil seraya mendekati Dimas. Ia duduk di samping cucunya seraya bermain bersama Dimas dan Rea.
Reinald sendiri duduk di kursi santai seraya menatap tiga orang yang begitu ia cintai itu. Reinald memang sudah terpaut kasih pada Dimas. Andai pun Asri punya keinginan untuk pindah dari rumah itu dan hidup sendiri bersama keluarganya, Reinald pasti akan menentang sebab ia begitu enggan berpisah dengan Asri dan Dimas.
Asri dan Deden kembali masuk ke dalam kamar mereka. Asri terduduk di atas ranjang seraya berpikir.
“Asri ...,” lirih Deden ikut duduk di samping istrinya.
“Kang, aku beneran nggak mau pisah lo sama Dimas. Lima hari itu lama ....” Asri mengernyit tanpa menatap wajah suaminya.
“Akang juga nggak mau, Dek. Masa baru bersama sehari sudah disuruh pisah saja?” Deden menjawab dengan nada pelan khas intonasi sunda.
Asri memutar bola matanya. Ia membalik wajahnya dan menatap Deden dengan tatapan tajam.
“Kenapa teh Asri menatap akang seperti itu? Kayak mau makan akang saja?”
“Aku nggak suka kamu bicaranya lembek gitu.”
“Maksudnya teh apa?”
“Ngomong tu biasa aja intonasinya. Aku tu suka cowok yang cool, macho dan bicaranya tu tegas. Kamu tahu’kan bagaimana papa? Kamu harus buktikan kalau kamu itu bisa seperti papa. Tegas, cool dan keren, gitu lo ....”
“Memangnya akang nggak keren, ya? Nggak ganteng, gitu?”
“Bukan nggak ganteng, tapi lembek. Haduh, gimana ya cara ngejelasinnya. Hhmm ... harusnya kamu itu kalau bicara tu yang tegas. Kamu itu suami aku, calon pengusaha hebat. Kalau ngomongnya lembek gitu, yang ada nanti karyawan kamu semena-mena.”
“Tapi dari dulu’kan akang ngomongnya udah kayak gini?”
“Iya, makanya dirubah dong ....”
Deden menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung dengan sikap dan permintaan istrinya.
“Tuh’kan? Kok malah garu-garuk kepala?”
“Habisnya akang teh bingung sama permintaan Asri. Apa akang harus berubah jadi power ranger dulu biar cool dan keren?”
Tawa Asri seketika pecah. Dibalik sikap Deden yang lembek dan terlalu banyak segan, Deden memang pribadi yang menyenangkan dan humoris.
“Tadi marah, sekarang malah ketawa? Dek Asri nggak sakit’kan?” Deden memegang dahi istrinya.
“Kamu apa-apaan sih.” Asri menyibak tangan Deden dari dahinya.
“Akang nggak boleh sentuh kening dek Asri?”
“Bukan nggak boleh nyentuh, Sayang ... Tapi aku itu tidak sakit, jadi kamu nggak perlu megangin kening aku kayak gitu.”
“Dek Asri tadi bilang apa? Akang nggak dengar.”
“He—eh ... memangnya tadi aku bilang apa?” Asri seketika terdiam. Ia jengah.
“Tadi, setelah kata nyentuh ... tadi dek Asri bilang sesuatu lo?”
“Memangnya aku bilang apa?” Asri paham kemana arah pembicaraan Deden. Namun ia berusaha untuk mengelak.
“Itu, tadi dek Asri bilang sesuatu. Akang tadi mendengarnya tadi nggak jelas. Coba diulangi lagi.”
“Memangnya aku ngomong apa?” Asri membuang muka.
“Ah, dek Asri mah pura-pura lupa. Coba dong ulang sekali lagi, biar hati akang adem gitu mendengarnya. Biar akang bisa belajar jadi cowok yang cool dan keren seperti yang dek Asri mau.”
Asri kembali menatap wajah Deden dengan tatapan tajam.
“Kenapa atuh natapnya begitu? Katanya akang harus jadi cowok yang cool?”
Asri tidak menjawab. Ia malah bangkit dari ranjang dan berjalan mendekati meja kerjanya.
“Kenapa malah pergi?”
“Nggak apa-apa. Aku males aja.”
Deden pun ikut bangkit dan mendekati Asri. Pria itu seketika merangkul Asri dari belakang.
“Kenapa sulit sekali bibir kamu itu untuk mengulangi kata sayang tadi? Apa itu hanya sekedar basa-basi,” lirih Deden tepat di depan daun telinga Asri dengan intonasi yang berbeda.
Asri seketika terdiam dan meremang diperlakukan seperti itu. Ia memegang lengan suaminya dan mengarahkan bibirnya ke telinga Deden.
“Aku sayang kamu. I love you ....” bisik Asri.
Deden tersenyum mendengar ucapan istrinya. Pria itu seketika menghujani Asri dengan ciuman