Kiki memerlukan waktu sampai dua jam untuk terus menelepon dan membujuk staf kepolisian agar bersedia memberikan daftar catatan untuk menegaskan bahwa memang benar ada seorang laki-laki yang bernama Harry Kazuya pernah ditangkap karena mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk pada bulan Januari tahun 2002 di seputar Kanto. Usai dia dipenjara, beberapa tuduhan lain ditambahkan. Dia membayar uang jaminan, setelah itu dia meninggalkan kota. Semua tuduhan itu lantas dicabut dan berkasnya ditutup saat Harry ditangkap dan dihukum selama sepuluh tahun di Kanto. Pegawai itu lantas menjelaskan standar prosedur di Kanto adalah menutup setiap kasus yang tidak akan atau tidak bisa dikejar. Tidak ada perintah penangkapan satu pun yang masih terbuka atas Harry, paling tidak di Kanto.
Ivan, tidak menemukan rasa kantuknya sama sekali. Dia mulai menenggak kopi pukul 03.30, kemudian pertama kalinya dia mencoba untuk menelepon Eijun pada pukul 07.30. Dia sebenarnya juga tidak yakin dengan apa yang akan dikatakan oleh pengacara itu apabila dia berhasil menghubunginya di telepon. Namun dia maupun Kiki sepakat bahwa mereka tidak bisa diam tanpa melakukan apa-apa. Saat dia mendapati bahwa dirinya tidak sedikit pun dipedulikan oleh resepsionis Eijun, lantas dia mencoba menghubungi pengacara lain.
Ichiro Ozawa merupakan asisten jaksa dan anggota aktif jemaat Gereja Bethany. Dia dan Ivan sebaya. Untungnya, Ozawa tidak sedang mengikuti persidangan pada hari Selasa pagi itu. Namun dia masih terbilang cukup sibuk di pengadilan dengan kehadiran pertama dan beberapa masalah rutin lainnya. Ivan menemukan ruang sidang yang benar, salah satu dari dari beberapa ruangan yang ada di pengadilan, dan pada sebuah tempat duduk di deretan belakang di mana ada proses keadilan dijalankan. Usai satu jam berselang, dia mulai merasa gelisah dan ingin pergi, meski dia tidak yakin mau pergi ke mana. Usai Osawa hadir menemui hakim lain, dia membereskan seluruh dokumennya kemudian mengarah ke pintu. Dia mengangguk kepada Ivan yang tengah mengikutinya. Mereka sengaja menemukan tempat yang sunyi di koridor-koridor, di sana terdapat sebuah bangku kayu usang berada di dekat tangga.
“Kau terlihat tidak keruan, Ivan,” Ozawa memulai dengan ramah.
“Terima kasih. Tapi kurasa itu bukan cara yang tepat untuk menyapa pendetamu. Aku sudah tidak pernah tidur sejak kemarin malam, Ichiro. Tidak untuk satu menit pun. Apa kau pernah melihat situs internet itu?”
“Iya, sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku membacanya saat masih di kantor. Aku tidak pernah mendengar informasi tentang Furuya Satoru sebelumnya. Tapi kasus-kasus semacam ini cenderung terjadi bersamaan saat ini. Cukup sering terjadi di sana.”
“Furuya tidak bersalah, Ichiro,” sahut Ivan seperti biasa dengan pengucapan yang penuh dengan keyakinan.
“Nah, itu juga yang tertera di situs internet. Tetapi dia bukan pembunuh pertama yang mengaku tidak bersalah.”
Kedua orang itu jarang sekali membicarakan sesuatu seputar hukum atau masalah yang berkaitan dengan hukuman mati. Ivan menduga kalau sebagai seorang yang berprofesi sebagai jaksa penuntut, Ozawa pasti mendukung hukuman mati. Paling tidak, dia pro terhadap keputusan bersalah. “Pembunuh yang sebenarnya ada di kota ini juga, Chiro. Dia datang ke gereja hari Minggu pagi lalu.”
“Aku mendengarkan.”
“Orang itu baru saja mendapatkan pembebasan bersyarat. Dia harus melalui enam puluh hari, maksimal tiga bulan di rumah singgah. Juga dia sedang terserang toksoplasmosis. Dia sempat mampir ke kantorku kemarin, sekadar untuk konsultasi. Dia punya sejarah kriminalitas panjang, terutama pada kasus-kasus p*********n seksual. Aku sudah berbicara padanya dua kali, dan dia mengakui, tentu secara personal, bahwa dia memang telah memerkosa dan membunuh gadis itu. Dia mengatakan dengan sangat yakin bahwa dia sendiri tahu mayat gadis itu. Dia tidak ingin kalau Furuya Satoru dieksekusi, tapi dia sendiri juga tidak mau maju dan mengaku. Ini repot. Dia benar-benar merasa kacau, Chiro. Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa penyakit dia adalah gila, bukan toksoplasmosis. Dia sendiri akan diprediksi mati dalam beberapa bulan lagi.”
Ozawa membuang napas berat disusul gelengan kepalanya yang khas, seolah-olah tidak percaya. “Bolehkah aku bertanya padamu? Kenapa kau sampai terlibat di tengah permasalahan ini?”
“Entahlah. Aku benar-benar tidak tahu.” Iva ikut menggeleng. “Tahu-tahu aku sudah terlibat Aku tahu hal yang sebenarnya Pertanyaan yang lebih penting sekarang ialah bagaimana caranya kita bisa menghentikan eksekusi itu?”
“Demi Tuhan, Ivan…”
“Iya, aku juga sudah berbicara dengan-Nya, dan aku masih menunggu bimbingan-Nya Tapi jelas-jelas saat ini aku membutuhkan bantuanmu Aku juga sudah mencoba menghubungi kantor pengacara pembela Furuy Satoru, tapi masih belum ada jawaban. Percuma saja.”
“Apa kau sendiri tidak diharuskan untuk menjaga kerahasiaan informasi semacam itu, Ivan?”
“Ya, dan aku akan merahasiakannya. Tapi bagaimana jika si pembunuh itu yang memutuskan sendiri untuk berterus terang, memberitahukan hal yang sebenarnya terjadi, dia memutuskan sendiri untuk menyelamatkan pemuda itu dari eksekusi? Kalau begitu lantas bagaimana? Bagaimana cara kita mengatasinya?”
“Hem… Kita? Tidak secepat itu, Kawan.”
“Aku meminta bantuanmu, Chiro. Aku sama sekali tidak mempunyai pengalaman bahkan pengetahuan hukum. Aku sudah membaca segala rentetan kasus itu di situs internet, dan hal itu sampai membuat mataku juling, dan semakin aku banyak membaca, semakin aku bingung sendiri. Bagaimana bisa kau menyatakan seseorang bersalah karena diduga telah melakukan pembunuhan, sementara mayatnya tidak ditemukan? Lagi, bagaimana kau bisa mempercayai pengakuan yang jelas-jelas hasil dari karangan polisi? Mengapa para tahanan di penjara yang diizinkan memberi kesaksian dengan imbalan pengurangan hukuman? Apa kau merasa tidak heran, bila seorang terdakwa berkulithitam memperoleh dewan juri yang semuanya berkulit putih? Ah, bagaimana semua juri itu bisa sedemikian buta? Di mana diskresi dan fungsi mahkamah-mahkamah banding? Aku memiliki begitu banyak daftar pertanyaan.”
“Dan aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu itu, Ivan. Tapi menurutku, dari sekian banyak pertanyaanmu tadi, yang terpenting adalah yang pertama tadi—bagaimana menghentikan eksekusi?”
“Itu yang aku tanyakan padamu, Kawan.”
Mereka menuruni sederetan telundakan hingga menuju ke sebuah kantin kecil, dan terdapat satu meja di sudut. Ivan membeli kopi, sementara Ozawa duduk dan berkata, “Ivan, mayat itu harus ada. Kalau orangmu bisa menunjukkan di mana keberadaan mayat dari gadis itu, para pengacara Furuya Satoru dipastikan akan mampu mendapatkan penangguhan dari pengadilan. Kalau tidak, mungkin Gubernur akan membuat keputusan untuk menunda eksekusi. Aku tidak begitu mengerti bagaimana prosedurnya di sana. Setiap prefektur biasanya mempunyai prosedur yang berbeda. Tapi tanpa mayat, orangmu jelas-jelas akan terlihat seperti orang-orang tidak waras yang hanya berkoar-koar saja untuk mencari perhatian. Ingat, Ivan, biasanya selalu ada pengajuan pada detik-detik terakhir. Para pengacara hukuman mati ini tahu bagaimana cara memainkan sebuah sistem, dan sudah begitu banyak eksekusi yang mengalami penundaan. Kau mungkin sepertinya lebih punya banyak waktu daripada yang kau kira.”
“Kanto lumayan efektif.”
“Petunjuk yang bagus.”
“Dua tahun silam, Furuya Satoru akan dieksekusi dalam kurun waktu satu minggu. Tetapi ada yang tidak beres dengan sebuah pengajuan di persidangan federal, jangan tanya apa lagi. Aku membacanya semalam dan aku masih bingung. Intinya, menurut situs di internet, saat ini kecil kemungkinan sekali kalau kita mengharapkan mukjizat pada detik-detik terakhir. Furuya Satoru sudah pernah mendapatkan mukjizatnya. Keberuntungannya telah sirna.”
“Satu-satunya langkah terpenting adalah menemukan mayat gadis itu. Itu adalah bukti autentik untuk mengetahui bahwa orangmu mengatakan hal yang sebenarnya. Apa kau sendiri mengetahui di mana tempatnya? Kalau ya, jangan bilang padaku. Kau cukup bilang tahu.”
“Tidak. Dia hanya memberitahukan secara verbal—kota di mana dia mengubur mayat gadis itu. Dia juga memberitahu kalau dia menyembunyikannya dengan begitu baik, sehingga dia sendiri pun mungkin sangat sulit menemukannya.”
“Apakah di Kanto?”
“Hokkaido.”
Ozawa hanya menggeleng. Dia menyeruput kopi lama-lama dan berkata, “Bagaimana kalau orangmu ini hanya sesumbar, Ivan? Aku melihat orang seperti itu lusinan setiap harinya. Mereka berdusta tentang semuanya. Mereka berdusta padahal kejujuran bisa sangat menyelamatkan mereka. Mereka berdusta di kursi saksi dan kepada pengacaranya sendiri. Dan semakin mereka sering mendekam di penjara, semakin lihai kemampuannya dalam berdusta. Mereka sangat pintar memanfaatkan situasi. Orang-orang begitu panik dan sibuk mengharapkan mukjizat.”
“Dia menyimpan sebuah cincin sekolah yang katanya milik dari gadis itu. Dia mengenakannya pada seuntai kalung murahan di lehernya. Dia membuntuti gadis itu—dia terobsesi padanya. Dia menunjukkan cincin itu padaku. Aku memegang dan melihatnya.”
“Apa kau yakin bahwa benda itu asli?”
“Kalau kau sendiri yang melihatnya, pasti kau juga akan mengatakan bahwa cincin itu asli.”
Ozawa menyeruput kopinya sekali lagi, lalu melirik jam tangannya.
“Kau harus pergi?”
“Dalam lima menit. Apakah orang ini bersedia pergi ke pengadilan dan mengatakan hal yang sebenarnya?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Dia mengatakan kalau dia meninggalkan rumah singgah, itu sama saja dia melanggar ketentuan pembebasan bersyaratnya.”
“Kalau soal itu, aku yakin dia tidak berdusta. Tetapi, kalau dia sekarat, kenapa dia benar-benar peduli?”
“Aku juga bertanya hal yang sama. Jawabannya tidak jelas. Ditambah lagi, orang itu tidak punya uang, dia tidak punya apa-apa untuk pergi dari rumah singgah. Dia tak punya kredibilitas apa pun. Tidak satu orang pun bakal mempercayainya.”
“Kenapa kau menghubungi pengacara utu?”
“Sebab aku sudah putus asa, Chiro. Aku mempercayai orang itu, dan aku yakin bahwa Furuya Satoru tidak bersalah. Kemungkinan pengacara Furuya Satoru tahu apa yang harus dilakukan.”
Pembicaraan kedua orang itu berhenti beberapa saat. Ozawa mengangguk dan berbicara pada dua pengacara lain di meja sebelah. Dia masih berkali-kalu melirik jam tangannya.
“Satu pertanyaan terakhir. Ini hanya secara teori. Bagaimana jika aku berhasil meyakinkan orang itu agar bisa datang ke sini secepat mungkin dan mulai mengungkapkan ceritanya?”
“Kau baru saja mengatakan kalau dia tidak bisa pergi dari sana.”
“Iya… Aku bertanya bagaimana kalau kemungkinannya dia bisa pergi?”
“Tidak, astaga. Itu artinya kau secara sengaja membantu orang itu melanggar ketentuan pembebasan bersyaratnya. Sama sekali tidak.”
“Seberapa serius hal itu?”
“Aku tidak yakin, namun tindakan itu bisa mempermalukan dirimu sendiri. Bahkan mungkin bisa mencopot jubah pendetamu, who knows? Aku ragu kau akan dipenjara, tapi satu yang jelas bahwa dampaknya bisa sangat menyakitkan.”
“Jadi bagaimana dia bisa pergi dari sana?”
“Aku pikir kau tadi mengatakan bahwa dia sendiri yang memutuskan pergi.”
“Tapi bagaimana kalau memang dia mau?”
“Pelan-pelan, Ivan. Satu langkah satu langkah.” Lirikan ketiga pada jam tayangnya, kemungkinan ini lirikannya yang terakhir. “Begini, aku harus pergi. Ayo kita bertemu lagi nanti saat makan siang untuk menyelesaikan pembicaraan ini.”
“Ya, ide bagus.”
“Ada sebuah kedai di tikungan. Namanya Kedai Hanara. Kita bisa mencari meja di sudut paling belakang, agar tidak terlalu mencolok, kita bisa mengobrol dengan tenang.”
“Aku tahu tempat yang kau maksud.”
“Sampai bertemu lagi nanti.”