Keluarga Satoru telah belajar beberapa tahun sebelumnya bahwa penting untuk tiba di Ruangan Pengunjung sambil membawa uang logam sekantong penuh. Setiap mesin penjaja berdiri berderet di sepanjang dinding, dan para penjaga ingin membawakan dan minuman kepada para tahanan selama jam-jam kunjungan. Furuya Satoru telah kehilangan banyak sekali berat badannya selama di penjara, namun dia sangat menyukai roti kayu manis yang dilapisi gula cair yang tebal. Sedang Minami Satoru dan Akame menangani giliran pertama kunjungan itu. Aomine membaca koran, tidak jauh dari ruangan pengacara, saat sipir melomgok masuk untuk menyapa rumah. Dia mau memastikan kalau semuanya baik-baik saja, semuanya dalam penjara berlangsung lancar.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, seolah-olah dia sedang mengelola kantor. Dia berusaha untuk bisa tampil prihatin.
Aomine berdiri, berpikir sebentar, lalu dia berubah menjadi marah. “Kau bercanda? Kau mau menyuktik mati adikku untuk sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Kemudian kau masuk ke sini dengan basa basi sampah itu, dan berlagak ingin membantu?”
“Kami cuma melakukan pekerjaan kami di sini, Pak.” Ruth berjalan mendekat.
“Tidak, selain pekerjaan kalian mengizinkan kalian membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Kalau kau ingi membantu, hentikan eksekusi sialan itu.”
Akame melangkah di antara mereka dan mengatakan, “Hei, tenanglah.” Sipir itu lantas mundur dan mengataka sesuatu pada Ruth. Mereka terlibat pembicaraan yang serius, sedang sipir itu berjalan menuju pintu. Lalu dia pergi dengan cepat.
***
Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto mempunyai yurisdiksi tunggal sehubungan dengan kasus pembunuhan berat, dan menjadi pengadilan terakhir di Kanto sebelum seorang tahanan menempuh jalur federal. Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto memiliki sembilan anggota, semuanya terpilih, semuanya diharuskan kampanye ke seluruh prefektur di Jepang. Pada tahun 2010, MBKK ini masih bergantung pada peraturan kuno itu, kalau semua permohonan, petisi, banding, dokumen dan lain-lain musti diajukan berikut berkas kerasnya. Tidak ada yang daring. Tinta hitam di atas kertas putih, dan banyak sekali. Setiap pengajuan harus menyertakan dua belas salinan, satu untuk masing-masing hakim, satu untuk panitera pengadilan, satu untuk sekretaris, dan satunya untuk arsip resmi.
Benar-benar prosedur yang aneh dan merepotkan. Pengadilan federal untuk Distrik Kanto Bagian Barat, yang terdapat blok dari MBKT, mengadopsi pengajuan secara elektronik pada pertangahan 1990-an. Menjelang pergantian abad, pengajuan dengan menggunakan kertas-kertas dengan cepat menjadi ketinggalan zaman seiring kemajuan teknologi. Di bidang hukum, baik di pengadilan dan kantor-kantor, berkas elektronik menjadi jauh lebih populer daripada kertas.
Pada pukul sembilan pagi hari Kamis, Biro Hukum Wijun dan beberapa pengacara dari Kelompok Pembela diberitahu kalau permohonan ketidakwarasan Furuya Satoru ditolak oleh Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto. Pengadilan tidak percaya bahwa Furuya Satoru mengalami gangguang jiwa. Ini memang telah diperkirakan. Beberapa menit sesudah penolakan itu diterima, petisi yang sama diajukan secara elektronis pada pengadilan federal untuk Distri Bagian Timur Kanto.
Pada pukul 09.30 pagi, seorang pengacara dari Kelompok Pembela bernama Avis memasuki ruang kerja panitera pengadilan di Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto sambil membawa pengajuan terakhir para pengacara pembela atas nama Furuya Satoru. Isinya mengenai gugatan tidak bersalah berdasarkan rekaman rahasia yang memuat setiap pernyataan Hiro Akada. Avis kerap muncul dengan pengajuan-pengajuan yang sama, dan dia mengenal baik pegawai panitera itu.
“Masih ada lagi sesudah ini?” tanya si panitera sembari memproses petisi itu.
“Aku yakin masih ada,: jawan Avis.
“Biasanya begitu.”
Pegawai itu menyelesaikan pekerjaan administrasinya, mengulurkan kembali selembar salinan yang telah dibubuhi tanda terima kepada Avis dan mengucapkan selamat berpisah. Sebab persoalan itu begitu mendesak, pegawai itu menyampaikan sendiri salinan petisi pada setiap orang dari kesembilan hakim itu di kantor masng-masing. Tiga kebetulan berada di Nagasaki. Sedang enam yang lain tersebar di seluruh prefektur. Hakim kepala adalah seorang laki-laki yang bernama Milton, anggota lama majelis yang memiliki sebuah apartemen kecil di Nagasaki.
Milton dan paniteranya membaca petisi itu dan menaruh perhatian besar pada delapan lembar laporan tentang rekaman di mana Hiro Akada menumpahkan unek-uneknya di sebuah klub telanjang di Saitama kemarin malam. Meskipun menarik, hal itu tidak bisa dianggap sebagai kesaksian tersumpah, dan oleh karena itu hampir tidak perlu diragukan lagi kalau Hiro Akada akan menyangkal membuat pernyataan-pernyataan tersebut jika ditanyai. Tidak ada persetujuan yang diberikan sehubungan dengan rekaman itu. Segala sesuatu tentang rekaman itu terkesan curang. Hiro Akada sudah jelas-jelas mabuk berat. Lagian, jika pernyataan-pernyataannya itu bsia diterima, dan jika dia memang berbohong pada persidangan Furuya Satoru, apa sih, yang hendak dibuktikan? Hampir tidak ada, menurut pendapat Milton. Furuya Satoru telah mengaku, sudah jelas dan gampang. Kasus Furuya Satoru sudah tidak pernah dan akan mengusik Milton.
Tujuh tahun sebelumnya, dia bersama rekan-rekannya awalnya mempertimbangkan pengajuan banding langsung Furuya Satoru. Mereka mengingat kasus itu dengan baik, bukan karena pengakuan Furuya Satoru, tapi karena ketiadaan mayat gadis itu. Kendati demikian, Furuya Satoru tetap dinyatakan bersalah dengan suara bulat. Hukum Kanto telah lama mengambil posisi sehubungan dengan persidangan pembunuhan tanpa bukti jelas kalau pembunuhan itu sudah terjadi. Beberapa elemen umum itu tidak terlalu dipentingkan.
Martin dan paniteranya setuju kalau gugatan terakhir itu tidak berbobot. Panitera itu lalu menghubungi para panitera hakim yang lain, dan dalam waktu satu jam sebuah penolakan pendahuluan telah diedarkan.
***
Harry Kazuya berada di jok belakang, tempat dia telah meringkuk selama hampir dua jam. Dia telah menelan sebutir pil dan jelas-jelas obat itu ampuh. Dia tidak bergerak, tidak bersuara sama sekali, namun terlihat masih bernapas, begitu terakhir kali Ivan memeriksanya.
Agar tetap terjaga, dan untuk mendidihkan darahnya, Ivan mencoba menelepon Kiki. Mereka masih bertengkar, tidak satu orang pun yang berniat untuk mau mengalah, tidak satu orang pun yang mau mengawali meminta maaf karena terlalu banyak bicara. Setiap kali habis menelepon, Ivan mendapati dirinya benar-benar melek, geram tepatnya. Dia menelepon Ichiro Ozawa di kantornya di pusat kota dan ingin sekali menolong. Tapi sayangnya cuma sedikit yang bisa dilakukannya.
Saat mobil itu melenceng ke bahu jalan di sebuah jalanan dua arah, di suatu tempat dekat wilayah perbatasan. Ivan mendadak terbangun. Dia kesal. Dia berhenti di sebuah toko kelontong terdekat dan membeli satu gelas kopi hitam berukuran tinggi. Dia mencampurkan tiga kantong gula dan berjalan mengitari toko kelontong itu sekitar hampir lima kali. Sekembalinya dia ke mobil, Harry Kazuya masih belum bergerak. Ivan meneguk kopi panas itu dan melaju lagi. Telepon genggamnya berdering, dan dia menyambarnya dari jok penumpang.
Dari Robert Eijun. “Di mana kau?” tanyanya.
“Aku tidak tahu. Jalan Raya 87, menuju barat, di wilayah perbatasan.”
“Kenapa lama sekali?”
“Aku sedang berusaha sekuat tenaga.”
“Apa aku bisa berbicara dengan Harry saat ini melalui telepon?”
“Mustahil. Dia masih sekarat di jok belakang, dia masih kesakitan. Dan katanya dia tidak mau membuka mulut hingga dia tiba di Kanto.”
“Aku tidak bisa melakukan apa-apa, Ivan, hingga aku bisa berbicara padanya, oke, kau paham? Aku musti tahu seberapa banyak dia mau bercerita. Apa dia mau mengakui kalau dia membunuh Bella Stefa? Bisakah kau menjawab ini?”
“Nah, Eijun, kondisinya begini. Kami meninggalkan Fukui tengah malam. Kami telah berkendara seperti orang kerasukan untuk pergi ke kantormu, dan tujuan satu-satunya ialah, menurut keterangan Harry saat kami meninggalkan Fukui, agar dia bisa mengaku kalau dialah orang yang memerkosa dan membunuh gadis itu, Bella Stefa, dan berusaha menyelamatkan Furuya Satoru. Begitu katanya. Tapi dengan orang ini tidak ada yang bisa dipastikan. Mungkin saja dia koma saat ini. Aku tidak tahu.”
“Tidak bisakah kau memeriksa nadinya?”
“Tidak. Dia sama sekali tidak suka disentuh.”
“Astaga, sialan, cepat bergegaslah.”
“Tolong jaga bahasamu. Aku ini pendeta dan aku tidak menghargai bahasa yang seperti itu.”
“Maaf, tolong cepat, bergegaslah.”