Robert Eijun dan Detektif Bonjamin mempunyai sepanjang riwayat kasus yang hampir mengandung kekerasan antar keduanya. Mereka kerap bersitegang dalam sebuah kasus kriminal selama bertahun-tahun. Bonjamin tidak menyukai pengacara itu, sama seperti halnya dia membenci pengacara-pengacara lain yang membela para penjahat. Sebaliknya, Eijun menganggap kalau Bonjamin adalah seorang b******n, polisi culas, laki-laki kasar dengan lencana dan pistol yang legawa melakukan apa saja hanya demi mendapatkan dakwaan. Suatu ketika, dalam sebuah percakapan, di hadapan sidang yang menghadirkan dewan juri, Eijun menangkap basah Bonjamin yang secara buka-bukaan berbohong dan untuk menegaskan hal itu, dia berteriak pada seorang saksi mata, “Persetan! Kau hanya pembohong tak berakal, bukan, Bonjamin?” Itu adalah salah satu percakapan mereka yang terkenal dalam sebuah sidang.
Eijun diberikan teguran, dia ditahan karena dianggap telah melakukan penghinaan, ucapan itu memang melanggar kode etik seorang pengacara. Dia lantas disuruh meminta maaf pada Bonjamin dan anggota dewan juri, juga dia dibebani dengan denda sebesar $700. Tapi kliennya dinyatakan tidak bersalah, dan tidak ada hal lain yang lebih penting daripada itu. Dalam riwayat sejarah Asosiasi Pengacara Kanto , tak ada satu pun pengacara yang kerap melakukan penghinaan selain Robert Eijun. Dan predikat itu adalah catatan yang dibanggakannya.
Begitu berita tentang penangkapan Furuya Satoru mulai menyeruak ke penjuru kota, Eijun termasuk orang yang begitu panik ketika informasi itu didengar olehnya. Dia melesat menuju salah satu wilayah pemukiman di Kanto yang dianggap sebagai daerah yang menjadi sumber informasi pertama. Dia ditemani Misaki Osikawa, mantan gangster yang pernah dipenjara karena terlibat pendistribusian obat-obat terlarang. Jika membicarakan nasibnya sekarang, untungnya dia dilirik oleh Biro Hukum Eijun dan dipekerjakan menjadi pengawal, pembawa pesan, sopir, penyelidik, dan fungsi lain sekiranya dibutuhkan Eijun. Misaki sekurang-kurangnya membawa empat pistol. Dua pistol melekat di sisi kiri dan kanan pinggangnya, dua sisanya ada di sebuah tas kecil—tas legend yang dia pakai sejak menjadi gangster hingga nasibnya berubah sampai sekarang—semuanya resmi, karena Eijun sudah mengembalikan seluruh haknya dan bahkan sekarang Misaki bisa ikut menjadi peserta pemilu. Di seputar Kanto, Robert Eijun mempunyai banyak musuh. Namun, mereka yang menganggap dirinya musuh Eijun, juga mengenal pendamping setianya, Misaki Osikawa.
Ibu Furuya bekerja di sebuah klinik, dan ayahnya adalah seorang sopir truk di sebuah perusahaan pemotongan kayu di selatan kota. Mereka tinggal bersama keempat anak di sebuah rumah sepetak berangka putih bersama lampu-lampu Natal di sekeliling jendela-jendela dan rangkaian dedaunan hias menggantung di pintu. Pendeta mereka datang tak begitu lama setelah Eijun, Mereka berbicara dan larut dalam percakapan selama berjam-jam. Orangtua Furuya bergetar, gusar, dirundung kecemasan. Mereka mensyukuri inisiatif Eijun yang masih mau datang mengunjungi mereka. Mereka, para orang tua dan yang tak punya kuasa itu, tak menahu apa yang harus mereka lakukan.
“Aku bisa membuat diriku sendiri ditunjuk untuk menangani kasus ini,” tegas Eijun, dan mereka setuju.
Selama sembilan tahun kemudian, Eijun masih menanganinya.
***
Hari Senin, Eijun telah tiba di kantornya pagi-pagi buta. Dia bekerja terus-menerus selama hari Sabtu dan Minggu, dan tidak meluangkan waktu sama sekali untuk beristirahat di akhir pekan. Suasananya hatinya terganggu, dia menjadi mudah dan sering sekali marah. Empat hari ke depan sudah dipastikan akan kacau-balau. Terjadi berbagai rentetan peristiwa, sebagian sesuai harapan, sebagian besar benar-benar di luar dugaan, dan ketika gelombang besar akhirnya menerjang pada pukul 18.00 di hari Kamis, Eijun mengetahui bahwa kemungkinan besar dia akan berdiri dalam sebuah ruangan sempit sebagai saksi mata di Penjara Abashiri, bergandengan tangan dengan Minami Satoru.
Dia pernah satu kali berada di sana.
Dia mematikan mesin mobilnya, namun tak kuasa melepas sabuk pengamannya. Kedua tangannya aktif mencengkeram roda kemudi, sementara kedua matanya memandang ke balik kaca depan mobil dan tidak melihat apapun. Sembilan tahun lamanya dia berusaha buat kasus Furuya Satoru. Tentu dia sudah mengorbankan banyak hal. Dia sudah mengibarkan bendera perang seperti yang tidak pernah dilakukannya. Dia telah berjuang mati-matian di suatu persidangan teramat konyol tempat Furuya Satoru diputuskan bersalah di mata pengadilan karena melakukan pembunuhan. Dia juga menggempur pengadilan yang lebih tinggi untuk mengajukan begitu banyak banding. Dia sudah wara-wiri di seputar kode-kode etik dan menjelajahi hukum. Dia sudah menulis banyak paper berisi kritik-kritik tajam yang menyatakan bahwa kliennya tidak salah. Dia mengumpulkan para ahli untuk membuat teori-teori canggih yang tidak dipercaya siapa pun. Dia merongrong Gubernur dan berharap mendapatkan grasi, tapi telepon-teleponnya tidak lagi dibalas, bahkan melalui staf terendah Gubernur sekalipun. Dia juga bahkan melobi para politisi, kelompok-kelompok netral dan profesional, ketua-ketua ormas, asosiasi pengacara, para pejuang hak-hak asasi manusia, Dewan Amnesti Internasional, juga para penentang hukuman mati, intinya jabatan apa saja yang mempunyai pengaruh publik dihubunginya demi menyelamatkan kliennya. Tentu saja, hukuman mati bukan suatu hal yang sepele. Menyangkut nyawa seseorang dan hal-hal penting yang masih berkaitan dengannya. Tapi lagi, di dalam dunia peradilan, tidak mudah dan tidak boleh dicampurtangani oleh sembarangan orang, raja atau presiden sekalipun.
Jarum jam itu tidak mau berhenti. Tetus berdetak, semakin lama terdengar semakin nyaring. Sebagai pengacara, aset yang terpenting adalah waktu.
Dalam proses itu, Robert Eijun merelakan sumber daya yang dia punya. Dia menghabiskan seluruh uangnya, mengasingkan dirinya sendiri dari seluruh temannya, dan memaksa dirinya sendiri itu berjejal dengan titik kehancuran fisik maupun mental. Dia sudah terlalu sering meniup terompet dan memukul genderang itu sehingga tidak seorang pun yang mau mendengarnya lagi. Bagi kebanyakan pengamat pragmatis, Robert Eijun dianggap hanya seorang pengacara bermulut besar yang meneriaki ketidakbersalahan kliennya, ini bukan lah pemandangan yang menakjubkan.
Kasus Furuya Satoru benar-benar menggilas dirinya, dan jika kasus itu selesai nantinya, ketika pengadilan Kanto telah berhasil mengeksekusi Furuya Satoru, dia tidak yakin kalau misalnya dirinya masih bisa sanggup jalan terus. Dengan kemungkinan itu, dia mengasumsikan kalau dirinya akan pindah, dan menjual aset-asetnya yang ada di Kanto; kantor dan rumahnya. Dia akan pensiun mengumpati pemerintahan Kanto dan akan tinggal di daerah pegunungan di suatu tempat, kemungkinan di Hokkaido, di dekat Gunung Rebun, di mana dia bisa melatih ketajaman indera pendengaran dan penciumannya untuk mendaki di malam hari. Dirinya hanya akan menemukan bintang-bintang yang mengesankan tanpa polusi yang mengelilinginya, dan bisa bisa merenung di tengah malam. Tapi yang paling penting, dia tidak menemukan peristiwa pembunuhan.
Gemerlap lampu mendominasi ruangan. Tampak terlihat sudah ada yang hadir di sana, membuka tempat itu, menyiapkan untuk sebuah peristiwa dengan predikat terburuk di minggu itu. Eijun lantas keluar dari mobilnya dan masuk ke ruangan. Dia berbicara dengan Kazuya, salah seorang paralegal yang sudah dia kenal sejak lama, dan mereka berbincang sebentar sambil ditemani secangkir kopi. Kemudian arah pembahasan mereka dengan cepat mengarah ke futbol.
“Kau menonton Red Circle?” tanya Kazuya.
“Tidak. Aku nggak sempat. Kudengar Britton bermain bagus.”
“Ya, tiga gol,” jawab Kazuya dengan menunjukkan tiga jarinya.
“Aku bukan pengagum Red Circle lagi.”
“Aku juga.”
Sebulan sebelumnya, Michele Britton hadir di ruang pertemuan, memberikan teken pada foto-foto dan bergaya untuk difoto. Michele memiliki sepupu yang pernah dieksekusi di Kyoto sepuluh tahun silam, dan untuk itu dia bersimpati pada kasus Furuya Satoru. Dia juga mempunyai beberapa rencana besar untuk melibatkan para petinggi Red Circle dalam membantu menabuh genderang. Dia mau menemui Gubernur, dewan pembebasan bersyarat, para pengusaha kelas kakap, para politisi ternama, beberapa selebriti yang kerap ikut dalam intrik-intrik sosial yang juga memiliki kemampuan dalam mempromosikan kritik yang pro terhadap keadilan. Dia akan memotori dan memimpin parade yang begitu gegap-gempita. Tapi nyatanya, Michele hanya sesumbar. Dia mendadak senyap, pergi mengasingkan diri, tidak ada kabar. Menurut asistennya, dirinya menjelaskan bahwa kasus Furuya Satoru terlalu banyak permainan di balik layar. Eijun, yang kerap mencurigai bahwa adanya konspirasi, dia menduga kalau organisasi Red Circle dan kaitannya dengan jaringan perusahaan yang menjadi sponsor mereka entah dengan cara yang bagaimana telah menekan inisiatif Michele dalam upayanya membantu kasus Furuya Satoru.
Pada pukul 07.30, seluruh ketua biro hukum telah berkumpul pada sebuah ruang kaukus, dan Eijun membuka rapat. Ketika itu, dia tidak memiliki rekan—yang terakhir keluar dan meninggalkan perseteruan yang saat itu masih tersendat di pengadilan—tapi ada dua asisten, dan dua paralegal, tiga sekretaris dan Misaki Osikawa, yang selalu setia berada di dekatnya. Selama lima belas tahun bersama Eijun, Misaki terbilang lebih banyak mengenal dunia hukum daripada paralegal lainnya. Saat itu juga hadir seorang pengacara dari Tokyo, yang juga aktif dalam isu-isu dan perjuangan hak asasi manusia yang berpusat di Tokyo dan yang turut mendonasikan waktu demi kasus Furuya Satoru. Turut berkontribusi secara telekonferens adalah seorang pengacara dari Chiba, pengacara banding yang telah disediakan oleh prefektur Kelompok Pembela Chiba.
Eijun membacakan beberapa rencana minggu itu. Beberapa kewajiban diberlakukan, semua tugas dibagikan terhadap masing-masing orang yang hadir di sana, seluruh tanggung jawab diverifikasi. Dia masih berusaha tampil dengan penuh semangat, optimis dan berapi-api, dia yakin bahwa ada sebuah mukjizat yang akan muncul.
Mukjizat itu memang mulai terkonsep secara perlahan-lahan, sekitar lima ratus kilometer jauhnya di arah utara, tepatnya di Gunma. Suatu yang awal. Rentetan peristiwa yang akan mampu mendistorsi keputusan pengadilan.
Eijun: "Mungkin saja."