Sudah satu tahun, Alanis meninggalkan tempat kelahirannya. Dia mulai menata hidupnya di sini, dia tidak mengetahui kabar terbaru mantan suaminya dan juga sahabatnya itu. Alanis juga tidak mencari tahu, takut dirinya akan kembali terluka dan melakukan hal-hal diluar nalarnya. Cukup dirinya dulu bertingkah bodoh, tidak sekarang. Tapi, ada kalanya dia merindukan si kembar. Bagaimanapun juga dirinya sudah menganggap mereka anaknya sendiri, dari sejak mereka kecil hingga menjadi anak-anak dirinya yang membantu Raline. Maka wajar baginya jika dirinya merindukan ketiga malaikatnya.
"Apa yang kau lamunkan?" Tanya Petra sambil memeluk Alanis dari belakang.
Pria berkacamata itu menompangkan dagunya pada pundak Alanis. Menghirup bau wanitanya yang selalu membuatnya merindu.
"Tidak, bukan apa-apa." Balas Alanis tersenyum tipis sambil memegang lengan Petra yang tengah memeluknya.
"Apa kau takut bertemu dengan orangtuaku?" Tanya Petra yang melihat Alanis asik melamun.
Alanis terdiam sejenak, sejujurnya ia memang takut jika keluarga Petra tidak menyukainya. Tapi, jika memang benar pun ia tidak masalah. Toh yang akan menikah dengannya Petra bukan keluarganya.
"Sedikit." Akunya jujur.
Petra tersenyum kecil, mempererat pelukannya pada tubuh Alanis.
"Kamu tenang saja, kedua orangtuaku pasti menyukaimu."
Semoga saja, batin Alanis.
Alanis mengangguk sebagai jawaban, tidak ingin membuat Petra khawatir kepadanya.
***
Alanis tidak pernah berpikir untuk kembali ke Indonesia, luka yang ditorehkan orang dimasa lalunya membuat dirinya tak ingin kembali. Tapi ia sadar, hidup terus berjalan dan dirinya bukan wanita yang terus menerus meratapi nasibnya. Selama di negeri orang, Alanis banyak belajar banyak hal. Kepribadiannya pun berubah, dia menjadi wanita yang lebih tertutup dan dingin. Ia mulai bekerja sejak setahun lalu, disebuah restoran sebagai manager. Ia ditakuti semua bawahannya, pembawaannya yang tegas dan selalu berucap sinis menjadi nilai buruk terhadapnya.
Dan sekarang dirinya harus mengundurkan diri, karena akan kembali ke negeri asalnya. Ia mencintai pekerjaan barunya yang berbeda, dulu dirinya menjadi seorang sekertaris Angga. Sekarang dirinya menjadi seorang manager di restoran, membuat dirinya memiliki pengalaman baru yang menyenangkan.
Setelah Alanis mengurusi pengunduran dirinya, ia lantas pergi menuju bandara. Petra sudah meunggunya di sana, pria itu begitu protektif kepadanya, sama seperti prianya dimasa lalu. Ah mengapa ia harus mengingat pria yang telah menghancurkannya? Mau bagaimanapun juga, sekeras apapun nama Adjie masih melekat dihatinya. Pria pertama yang memberikannya cinta, dan pria pertama yang membuatnya merasakan sakit karena cinta. Lima tahun berpacaran, dan delapan tahun menikah dengan Adjie. Tak bisa membuat perasaannya untuk pria itu hilang begitu saja, kadang adakalanya dirinya terbangun ditengah malam dengan mimpi buruknya.
Alanis memimpikan jika Adjie dan Raline menertawakan dirinya yang masih belum menerima. Tapi dirinya tahu, jika itu hanya bunga tidurnya. Meskipun begitu, ia masih merasa sakit jika memikirkannya.
"Sudah selesai?" Tanya Petra setelah memeluk Alanis.
Alanis tersenyum tipis sambil mengangguk, Petra kemudian menarik lengan tunangannya dengan lembut untuk segera mengikutinya masuk ke dalam pesawat.
Petra duduk di samping Alanis, baru saja pesawat yang ditumpanginya lepas landas. Alanis sudah tertidur di sampingnya, Petra tersenyum melihat Alanis yang mau ikut pulang bersamanya. Karena ia meragukan wanitanya untuk kembali ke negeri kelahirannya, mengingat wanitanya melarikan diri ke Itali setaun lalu.
Alanis terlihat lelah dengan kantung mata yang menghiasi mata indahnya. Dia tahu selama ini Alanis berusaha untuk melupakan rasa sakitnya, tapi melihat Alanis sekarang yang mau ikut degannya. Mungkin wanitanya sudah bisa mengikhlaskan, dan ia bersyukur akan hal itu.
"Terima kasih, karena kamu udah mau pulang, Lani." Ucap Petra memandang Alanis sayang.
***
Sesampainya di Indonesia, Alanis tidak pulang ke rumah orangtuanya. Ia menerima tawaran Petra untuk tinggal di apartemen milik Petra, sedangkan Petra sendiri mengambil unit lain. Karena Petra ingin tetap berada disamping Alanis sampai mereka sah menjadi suami istri. Alasan Alanis pribadi karena dia bingung untuk tinggal di mana, rumah ibunya atau ayahnya? Kedua orangtuanya sudah lama berpisah. Dan dirinya tidak memiliki rumah, dulu saat bersama dengan Adjie. Dia tinggal di apartemen milik pria itu, maka dari itu lah begitu Petra menawarinya untuk tinggal di unit apartement Petra dia setuju.
"Apa kamu lapar?" Tanya Petra begitu dirinya tiba di apartemennya.
Alanis yang tengah duduk di sofa ruang tamu mendongak, memandang Petra.
"Apa kita akan makan diluar? Atau memesan sesuatu?"
Petra tersenyum. "Aku akan memasak, makanan siapa saji tidak bagus untuk calon pengantin wanita. Aku ingin begitu kita menikah kita langsung mempunyai anak." Jelas Petra dengan senyum lebar.
Pria itu jelas membayangkan kehidupannya nanti setelah menikah dengan Alanis. Sayangnya binar kebahagian tidak nampak pada wajah Alanis, wanita itu mengatup rapat mulutnya. Enggan berkomentar tentang ucapan Petra.
"Baiklah, tunggu di sini aku akan menyiapkan makan malam untuk kita berdua." Titah Petra sambil membungkuk di depan wajah Alanis, kemudian mencium kening wanitanya dengan penuh perasaan.
Alanis sendiri hanya diam saja menerima perlakuan manis dari Petra. Dia tidak merasakan apa-apa akan ciuman Petra di keningnya, tidak membuat dadanya berdebar atau wajahnya memanas. Tidak sama sekali, karena mungkin perasaan seperti itu tidak mungkin bisa dia rasakan lagi. Hatinya sudah terlanjur beku, lalu jika dirinya tidak memiliki perasaan apapun pada Petra. Mengapa dirinya menerima lamaran Petra? Jawabannya hanya ia dan Tuhan saja yang tahu.
Setelah mencium kening Alanis, Petra segera berjalan menuju dapur meninggalkan Alanis yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.
Tak berapa lama masakan yang dibuat Petra telah jadi, Petra menyuruh Alanis untuk makan sedangkan pria itu akan mandi terlebih dahulu. Namun, begitu Petra telah kembali dengan penampilan yang lebih segar. Pria itu memandang Alanis bingung, karena makanan di atas meja mash utuh belum tersentuh.
"Loh kok kamu belum makan?" Tanya Petra sambil mengambil tempat duduk di hadapan Alanis.
"Aku menunggumu." Jawab Alanis sambil tersenyum tipis.
Petra tersenyum lebar mendenga jawaban tunangannya.
"Aku seperti seorang suami sungguhan." Ujarnya lagi, begitu memperhatikan Alanis yang tengah mengalasi makanan untuk dirinya.
Dan Alanis hanya mendengus sebagai jawaban.
Lalu mereka makan dengan khidmat, Petra menanyai Alanis tentang bosnya dan bawahannya di restoran. Dan Alanis menjawab sekenannya, karena dirinya sendiri tidak begitu dekat dengan atasan maupun bawahannya.
Petra sebenarnya memahami perubahan Alanis yang begitu signifikan. Alanis begitu berbeda, saat dirinya kembali bertemu dengan wanitanya tahun lalu. Alanis selalu meledak-ledak jika dekat dengannya, Alanis bahkan memakinya. Tapi sekarang, sikap Alanis yang seperti itu telah hilang. Digantikan dengan sikap tertutup wanitanya, bahkan Alanis lebih berhati-hati dalam mengambil sikap. Namun di dalam hatinya, ia merasakan ketakutan akan kehilangan wanitanya, meskipun Alanis menerima lamarannya. Rasa takut kehilangan Alanis tetap begitu besar, maka dari itu dirinya ingin mengikat Alanis dengannya. Dengan memberikan wanita itu pernikahan dan juga seorang anak. Dia ingin Alanis mengandung anaknya, jadi setiap dirinya menggauli Alanis. Dia selalu memberikan Alanis vitamin untuk menyuburkan rahimnya, tanpa wanita itu tahu tentunya.
***
Petra memandang Alanis yang duduk disampingnya, ia merasa heran karena tidak mendapati wajah wanitanya gugup. Apa mungkin karena Alanis sudah berpengalaman? Jadi wanita itu seperti ini. Batinnya.
Petra kemudian keluar dari dalam mobil, membukakan pintu mobil untuk Alanis. Lalu menggandeng lengan wanitanya, berjalan percaya diri memasuki rumahnya.
Pintu rumah besar itu terbuka, menampilkan wanita paruh baya dengan penampilan ala ibu-ibu yang memiliki suami dengan jabatan tinggi. Dengan rambut yang di gelung tinggi dan besar, serta dandan yang begitu heboh menyambut mererka berdua.
"Petra?!" Seru wanita di depan itu heboh sambil memeluk putra tunggalnya.
"Hai, Bu." Balas Petra sambil membalas pelukan ibunya.
Setelah melepaskan pelukannya, wanita yang dipanggil ibu oleh Petra. Kini memandang Alanis yang berdiri kaku di samping Petra.
"Selamat siang, Tante." Sapa Alanis sopan sambil mengulurkan tangannya, guna menyalami wanita paruh baya di depannya.
Wajah ibu Petra berubah keras, namun tetap mengulurkan tangannya untuk di salami Alanis. Setelah itu ibu Petra menyuruh mereka berdua masuk ke dalam.
Karena waktunya makan siang, ibu Petra membawa mereka ke ruang makan. Dan di sana telah hadir pria paruh baya yang begitu mirip dengan Petra tengah menunggu kedatangan mereka.
"Ayah?" Tanya Petra bingung. Karena biasanya ayahnya itu tidak pernah makan siang di rumah.
"Hn, kapan kamu pulang?" Tanya ayah pada Petra.
"Kemarin." Balas Petra setelah memeluk tubuh ayahnya.
Ayah Petra mengangguk, lalu pandangan ayahnya melirik Alanis.
"Siapa perempuan yang berdiri dibelakangmu, Petra?" Tanya ayahnya lagi dengan pandangan menilai.
"Saya Alanis, Om." Sahut Alanis lalu menyalami ayah Petra.
Pria paruh baya itu mengangguk, lalu menyuruh mereka duduk untuk segera makan.
Mereka kemudian makan diselingi dengan pertanyaan-pertantayaan kepada Petra. Alanis sendiri hanya diam sambil mendengarkan, namun Alanis merasa jika pandangan ibu Petra kepadanya menyorot aneh.
"Sejak kapan kalian berkencan?" Tanya ibu Petra pada anaknya.
"Lima bulan lalu."
Kedua orangtuanya itu mengangguk.
"Di mana kalian bertemu?" Tanya Ayah Petra memandang Alanis.
"Kita satu universitas, Om."
"Lalu, apa pekerjaan Ayahmu?" Tanya ayah Petra lagi.
"Papa saya bekerja di sebuah bank, sabagai Credit Analyst."
"Credit Analyst?" Pekik ibu Petra tidak percaya.
Alanis hanya terdiam mengangguk.
"Lalu, apa pekerjaanmu?"
"Saya baru saja berhenti, dan sekarang saya menjadi pengangguran." Balas Alanis jujur memandang kedua orangtua Petra tanpa ketakutan sedikitpun.
Petra yang merasa jika kedua orangtuanya akan kembali memberikan pertanyaan menjebak dan menyebalkan. Membuat pria itu menggenggam tangan kanan Alanis. Guna menguatkan wanitanya.
"A-apa? Kau pengangguran?!" Tanya ibu Petra memastikan, dengan wajah yang begitu shock.
Dan Alanis kembali mengangguk sebagai jawaban.
"Dan saya juga seorang janda." Lanjut Alanis lagi yang membuat kedua orangtua Petra memekik kaget. Terlebih ibu Petra yang sedari awal jelas tidak menyukainya.
"Apa-apaan kamu Petra! Ini wanita yang kamu maksud pada Ibu?"
"Memang apa salahnya, Bu. Alanis wanita baik,"
"Tapi tidak dengan seorang janda! Demi Tuhan Petra! Di mana otakmu?!" Jerit ibunya sambil berdiri memandang Alanis penuh kebencian.
"Apa yang kau berikan pada anakku? Kau memberikannya tubuhmu?!" Seru suara berat--- ayah Petra dengan pandangan mencemooh.
Alanis sendiri hanya diam, dengan kedua tangan yang terkepal dengan erat. Hatinya kebas, mendengar hinaan kedua orangtua Petra kepadanya. Memang apa salahnya jika dirinya jujur? Mengakui jika dirinya seorang janda. Apa yang salah?
"Cukup!" Seru Petra marah memandang kedua orangtuanya bergantian.
"Alanis tidak serendah itu. Aku mencintainya, aku yang mengejarnya!"
"Tapi dia tidak pantas untukmu, Petra! Dia seorang janda dan pengangguran, seharusnya kamu mencari wanita yang sepadan dengan kita!" Seloroh ibu Petra.
"Tidak! Aku tidak mau wanita lain, aku hanya ingin Alanis yang menjadi istriku. Terserah jika kalian tidak merestui kami, aku akan tetap menikahinya, ada atau tanpa restu kalian!" Semburnya marah lalu menarik Alanis agar berdiri.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Petra menggandeng lengan Alanis membawa wanitanya itu pergu dari rumahnya. Tak memedulikan ibunya yang terus memanggil namanya untuk kembali. Sedangkan Alanis yang berjalan bersisian dengan Petra, hanya bisa terdiam dengan perasaan yang begitu hancur. Sekuat tenaga ia menahan untuk tidak menangis, karena ia sendiri sudah berjanji untuk tidak akan membuang air matanya dengan sia-sia.