Alanis menangis, untuk pertama kalinya selama lima tahun mereka menikah. Baru kali ini Petra marah sampai seperti itu kepadanya, dia takut jika Petra akan meninggalkannya, hanya dia tumpuannya sekarang. Dengan wajah yang begitu kacau, dia bergegas mencari Petra. Tak ingin pria itu pergi meninggalkannya dalam keadaan seperti ini.
Alanis membuka pintu kamarnya, dilihatnya Petra yang hendak membuka pintu apartementnya akan keluar. Namun, sebelum Petra keluar Alanis berseru.
"Kau mau ke mana?"
Petra tidak menjawab pertanyaan Alanis dia malah membuka pintunya, lalu pergi meninggalkan Alanis yang mematung.
"b******k!" Umpat Alanis marah.
Alanis berjalan menuju kamarnya, dia segera berganti pakaiannya. Hanya satu orang yang membocorkan rahasianya pada Petra. Dan dia benar-benar ingin menamparnya.
Setelah di rasa siap, Alanis segera pergi meninggalkan apartementnya. Perasaannya begitu panas, maka dengan cepat dia menjalankan mobilnya.
Alanis turun dari mobil, sebelum dia masuk ke dalam perusahaan dia melihat sekilas pria yang ingin dia hajar itu. Pria itu tengah berjalan masuk ke dalam sebuah cafe yang berhadapan dengan kantornya. Alanis dengan segera mengejar pria itu, meskipun pria itu sudah masuk ke dalam cafe bersama temannya. Alanis tetap melanjutkan langkahnya, dia benar-benar muak.
Adjie yang tengah mengobrol dengan Andre tiba-tiba saja wajahnya terdorong ke samping, hampir saja dirinya jatuh dari kursi. Sudut bibirnya berdenyut perih, mata setajam pisau itu memandang seseorang yang telah menonjok wajahnya.
"b******n!" Seru Alanis murka. Matanya berkilat tajam dengan napas yang tersengal-sengal. Perpaduan marah dan lelah karena mengejar langkah Adjie yang cepat.
"Apa-apaan kamu?!" Tanya Adjie marah.
"Seharusnya aku yang bilang seperti itu, apa-apaan kamu ngomong sama Petra kalau aku nggak bisa hamil, hah?!"
Adjie seketika terdiam, wanita di depannya ini terlihat berbeda. Sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan mantan istrinya itu selama lima tahun, hanya dengan Petra lah dirinya bertemu. Melihat Alanis yang sekarang, dia bersyukur ada rasa sesal yang selalu menghantuinya sampai hari ini. Menyesal karena telah menyakiti wanita yang pernah mengisi hatinya, menyesal karena dia bahagia di atas penderitaan wanita itu. Tapi dia bersyukur, jika Petra begitu mencintainya sekarang. Mungkin perasaan Petra lebih besar ketimbang dirinya dulu.
"Jawab b******k!" Tanya Alanis lagi.
Andre diam-diam melihat ke sekeliling cafe, takut-takut ada kenalan mereka yang melihat ini.
"Aku tidak bermaksud---"
Adjie yang belum selesai berbicara langsung memotong perkataan pria di hadapannya itu.
"Kamu memang b******n, Adjie! Tidak cukup kah kamu menyakitiku dulu? Tidak cukup kah kamu membuatku menderita! Mengapa sekarang kamu ikut campur dalam rumah tanggaku? Apa salahku padamu, Adjie?!" Seru Alanis dengan wajah marah.
"Sekarang, setelah aku mulai bisa menata hidupku dengan Petra. Kamu bertingkah tahu segalanya tentangku, merasa kamu berhak mengatakan hal yang seharusnya kamu tutupi! Sebegitu hinanya aku di matamu, Adjie?!" Kejar Alanis lagi yang kali ini matanya sudah memanas, dia ingin menangis saja rasanya.
Melihat Alanis yang seperti itu, membuat Adjie merasa semakin merasa bersalah.
"Sekarang kamu puas, hah? Kamu puas Adjie? Selamat impianmu yang kembali membuat hidupku hancur berhasil, sekarang Petra tidak akan lagi percaya padaku, dan itu semua gara-gara kau. Aku benar-benar membencimu, sialan!"
Setelah menumpahkan kemarahannya, Alanis menyiram wajah Adjie dengan dua gelas air putih yang berada di atas meja. Alanis kemudian pergi meninggalkan Adjie dan Andre dengan tampang kaget.
Alanis mengusap air matanya dengan kasar, sialan. Bisa-bisanya dia menangis, dia tidak ingin pulang ke rumah. Jadi Alanis memilih untuk melajukan mobilnya tak tentu arah, sampai dia merasa lelah. Begitu lelah dia melajukan mobilnya ke sebuah hotel, dia tidak ingin pulang ke rumah kalau di rumah tidak ada Petra.
Jadi Alanis memutuskan untuk menginap di hotel, dan besok kembali ke apartementnya.
Di lain tempat, Petra tidak pulang ke apartementnya. Dia menginap di hotel yang dekat dengan apartmennya. Sore tadi, Adjie meneleponnya, mantan suami Alanis itu mengatakan semuanya tanpa terkecuali. Adjie bahkan meminta maaf padanya, karena dia mengatakan hal yang tidak seharusnya dia katakan. Petra yang mendengar penjelasan Adjie jelas merasa bersalah, istrinya itu pasti kecewa padanya.
Menghela napasnya dengan kasar, Petra memandang jam dinding yang menunjukan pukul 1 dini hari. Dia ingin pulang, dan meminta maaf pada Alanis. Tapi ini sudah malam, dan dia tidak mungkin pulang dengan membangunkan Alanis. Jadi, dia memilih untuk berusaha tidur meskipun rasanya sulit.
Sudah berjam-jam lamanya, mata Petra tetap terbuka tidak mau untuk terpejam. Kebiasaan dirinya selama lima tahun ini tidur memeluk tubuh Alanis dan sekarang dirinya, harus tidur tanpa memeluk Alanis rasanya berbeda. Dia tidak bisa memejamkan mata barang sedetik pun, sedari tadi dirinya hanya berbaring dan memikirkan Alanis. Dan beginilah akibatnya sekarang, kepalanya pusing dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Percuma saja dia diam di hotel, dia tidak tidur semalaman.
Dengan wajah kacau, Petra meninggalkan hotel dan kembali ke apartementnya. Mobil yang dikendarai Petra melesat begitu cepat, keadaan yang sepi karena masih pagi membuat Petra menjalankan mobilnya dengan gila-gilaan. Hingga kemudian, dia sampai di apartementnya.
Begitu Petra akan membuka pintu, tiba-tiba saja disebelahnya tangan seorang wanita ingin memegang pintu juga. Membuat mereka berdua menoleh, Petra menatap Alanis di sampingnya dengan kaget.
Alanis memasukan password apartemennya, kemudian mereka berdua masuk tanpa bicara. Namun, ketika Alanis akan masuk ke dalam kamar. Petra seketika berlari lalu memeluk tubuhnya, membuat Alanis kaget.
"Maaf," ujar Petra dengan wajah yang di telesupkan ke rambut Alanis.
Pria itu mendekap Alanis erat, sambil menghirup aroma sang istri yang begitu dirindukannya.
"Aku minta maaf, seharusnya aku mendengar penjelasan dari mu, tapi aku malah pergi dan meninggalkanmu. Maafkan aku," ujar Petra dengan sesal.
Alanis menghela napasnya, Petra tidak sepenuhnya salah. Tapi dia tetap merasa sakit hati akan sikap Petra kemarin yang tidak mempercayainya.
Petra yang melihat Alanis diam saja pun melepaskan dekapannya, dibalikannya tubuh sang istri agar menghadap dirinya. Di angkatnya dagu sang istri dengan jarinya, mata Alanis masih memandang arah lain bukan wajahnya.
"Aku akan mendengarkan semua penjelasanmu, aku berjanji tidak akan mengulangi lagi yang kemarin." Ujar Petra sungguh-sungguh.
Kali ini mata Alanis terfokus pada Petra.
"Janji?"
Petra mengangguk dengan senyum tampannya membuat Alanis tertular untuk tersenyum juga. Pria berkacamata itu kembali memeluk tubuh sang istri, tubuh yang begitu dirindukannya semalaman.
"Aku merindukanmu," bisik Petra sambil menciumi rambut Alanis.
Alanis hanya menganggukkan kepalanya sambil membalas pelukan erat sang suami.
Mereka berpelukan begitu lamanya, sehingga tidak tersadar jika seseorang sedari tadi tengah memandang mereka berdua dengan wajah memerah.
"Emm maaf, apakah saya menganggu kalian?" Cicit seorang gadis muda yang membuat Alanis dan Petra menghentikan acara pelukannya.
***