Manusia Tak Punya Hati.
Di hutan pedalaman Kalimantan, salah satu suku mempercayai kalau hutan itu ditinggalin sosok mahluk besar yang bernama Mariaban, sosok siluman yang suka memakan manusia yang akan masuk ke wilayahnya.
“Si-si-siapa ?” Tanya Jovita gelagapan, tangannya semakin merangkul pinggang Leon erat.
“Aiiis … dasar penakut, sama setan kamu takut. Lalu sama killer di sampingmu, kamu takut tidak? Awas kamu menekan luka di dadaku, sakit bodoh.” Satu jari telunjuk diarahkan ke kening Jovita menyuruhnya menjauh.
“Ta-ta-tapi apa setannya beneran ada?”
“Iya” jawab Leon, tanpa memperdulikan ketakutan Jovita.
Leon berusaha keras bangun dari semak-semak, di dadanya masih menempel jovita menggenggam pinggangnya dengan kuat mata ditutup.
“Berdirilah gadis bodoh, kamu membuatku tidak bisa bergerak.”
“Gendong aku,”
“Apa …?”
“Gendong aku bilang,” kata jovita, melompat ke punggung Leon.
“Kamu gila.
Dadaku sakit bodoh.
Kenapa kamu malah minta digendong, dasar bodoh.”
Tangan kekarnya mendorong tubuh Jovita hingga terjatuh di tanah.
Ia buru-buru bangun lagi memeluk pinggang Leon. Lelaki itu berdiri diam dengan wajah yang sangat kesal karena ketakutan Jovita.
“Jangan paksa aku menarik pedangku dan menebas lehermu,” ujarnya dengan nada marah.
Jovita mundur dengan tubuh ketakutan, kedua tangannya menyatu di dalam dadanya.
Leon berjalan di depannya, ia memegang ujung bajunya, berjalan tutup mata.
Jovita sangat takut dengan situasi gelap, saat Leon berjalan mengunakan pedangnya menyisihkan jalanan, tiba-tiba ia mendadak berhenti dan menoleh ke belakang, alhasil Jovita menabrak dadanya yang terluka.
“Auuuh.” Dengan respek tangannya memukulkan gagang pedangnya ke kepala Jovita, pegangan pisaunya ada ukiran dan ujungnya runcing mengenai keningnya, kepalanya berdarah.
“Aku minta maaf,”ujar Jovita menyatukan kedua telapak tangan, Leon tidak bisa melihat wajah Jovita yang berdarah, karena suasana sangat gelap.
Ia menahan rasa sakit di kepalanya, ia hanya mengusap cairan yang membanjiri wajahnya, hanya mengusapnya dengan tangan dan sesekali dengan bajunya, tapi ia merasakan semakin deras mengalir sampai-sampai menyusuri matanya, dan menghalangi penglihatannya, Jovita mengeluarkan banyak darah.
Napasnya mulai tidak beraturan, kini ia tidak bisa mengikuti langkah panjang dari lelaki itu.
Ia berdiri melihat samar-samar punggung lelaki itu menjauh.
“Kenapa aku harus mengikutinya dengan susah payah, hanya untuk mendapatkan kematian ku.
Kenapa aku tidak membiarkan kematian itu sendiri menjemput ku, dengan aku duduk tutup mata disini, mungkin aku sudah mati
yang harus aku lakukan hanya menutup mataku saja,” ucap Jovita, ia berhenti dan membiarkan Leon berjalan.
Rasa sakit dari luka di seluruh tubuhnya, membuat tubuh Jovita semakin melemah, ia juga merasakan telapak kakinya terluka, saat ia diseret tadi dari rumah, ia tidak pakai alas kaki.
Ia duduk menyandarkan tubuhnya di salah satu pohon memilih menutup mata, Jovita ingin kematian yang menjemputnya.
Leon sudah berjalan lumayan jauh, ia baru menyadari kalau jovita tidak mengikutinya.
“Dasar wanita bodoh,” katanya takut gelap.
“Apa dia pikir ia bisa hidup setelah lari dariku, paling juga kamu dimakan binatang buas, dasar gadis bodoh, baiklah, jadi aku tidak perlu capek-capek menyingkirkan mu,” ucap Leon meneruskan perjalanannya.
Tubuh Leon juga semakin melemah, tidak punya tenaga lagi berjalan, racun dalam panah itu sudah mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia juga mendudukkan tubuhnya di atas batu.
Menyalakan sebatang rokok, menghirupnya membuang asapnya ke udara dan menyandarkan kepalanya di bebatuan.
“Cek … Apa aku juga akan mati di sini?”
Ia berpikir akan balik lagi ke sungai, karena barang-barang miliknya ada di tas ransel, di dalam perahu.
Leon yakin, tidak akan selamat jika meneruskan perjalanan, karena jarak yang di tempuh lumayan jauh di depan, kembali ke sungai dan mengobati lukanya adalah pilihan yang tepat.
Dengan langkah sempoyongan, ia kembali lagi kearah sungai, tubuhnya semakin melemah.
Pandangan matanya semakin buram, ditengah perjalanan kakinya tersandung oleh kaki seseorang. Ia terjatuh melihat jovita terduduk di bawah pohon.
“Ahhhh kamu di sini, aku kira kamu sudah mati di makan binatang buas,” Leon ikut menyandarkan tubuhnya di samping Jovita.
Leon mulai batuk- batuk dan napasnya semakin tidak beraturan.
Jovita membuka mata menyadari Leon ada di samping, ia tersenyum kecil, ia merasa sedikit tenang, ia berpikir saat hari terakhirnya ada seseorang yang menemaninya, walau lelaki itu manusia kejam.
“Kamu disini,” katanya dengan suara melemah, tapi tangannya menyentuh Leon.
Leon diam, ia tidak punya tenaga lagi menyuruh wanita itu menyingkir. Ia batuk-batuk lagi hampir mau mati.
“jika kamu besok masih hidup, kamu boleh mendaki bukit itu, di sana ada mobilku, kamu boleh gunakan untuk pulang ke kota,” ujar leon dengan napas terputus-putus.
“Apa anak panah itu beracun?” tanya Jovita menyadari lelaki itu terluka.
“Aku takut pergi sendirian,” ujar Jovita berucap lemah, Leon belum menyadari kalau wanita itu juga terluka.
“Apa kamu ingin bersamaku?”
“Iya, aku tidak mau sendirian”
“Dasar gadis bodoh, kamu harusnya pergi meninggalkanku dan naik bukit itu, agar kamu bisa selamat,” kata Leon.
“Aku tidak mau meninggalkan orang yang sekarat,” ujar Jovita
“Aku tidak akan selamat, aku tidak kuat lagi, karena racunnya sudah melebar.”
“Apa yang bisa aku lakukan?” Tanya jovita dengan tulus, ia tidak perduli kalau lelaki itu seorang killer bayaran, bahkan ingin melenyapkannya juga.
“Tidak ada, kamu hanya harus lari sekarang, ini semakin malam, akan banyak binatang buas keluar, jadi larilah,”
“Tidak apa-apa, lari dan di sini juga akan sama-sama mati kan?” Jovita berjongkok di depan Leon
“Kamu mau apa?” Tanya Leon dengan napas pendek.
“Naiklah, aku akan menggendong mu”
“Ckkk … dasar gila, tubuhmu kecil begitu bagaimana bisa mengangkat ku?” Leon tertawa meledek
Tapi jovita tipe orang berusaha keras dan pantang menyerah. Ia gadis baik, bagaimana mungkin ia meninggalkan manusia yang sekarat, walau nantinya ia akan di lenyap kan juga, seperti pengakuannya Leon ia ingin membunuhnya.
Ia menarik tangan Leon ke pundaknya dengan usaha keras, satu, dua, tiga, usaha ke empat akhirnya ia bisa mengangkat beban berat itu, beban yang jauh melebihi badannya yang kecil.
Ia menggendong Leon dengan langkah kecil dan ter tatih. Leon sudah tidak punya tenaga lagi, matanya semakin meredup, tapi hatinya berontak dan harga dirinya terluka, karena gadis kecil seperti Jovita menggendongnya, hal itu menyalahi aturan yang ia terapkan dalam hatinya, karena wanita itu adalah target buruannya.
“Turunkan aku..” dengan suara kecil.
Jovita menghiraukannya karena gerakkannya yang memberontak dari Leon, tubuh mereka terjatuh kebelakang dan sikut jovita menekan dadanya hingga ia muntah lagi.
Seperti satu keajaiban, setelah ia muntah, sepertinya racun dalam tubuh Leon ikut terbuang, mereka berdua berbaring tidak berdaya.
Leon yang bangun lebih dulu dan membawa Jovita ke punggungnya
“Ah dasar kenapa aku malah menggendongnya, harusnya aku meninggalkannya disini, toh juga ia akan saya lenyap kan, aku sudah selesai bermain-main dengannya,” ujar Leon.
Ia memang iblis kejam, saat Hara berusaha menyelamatkannya , walau ia sadar akan di bunuh, tetapi Leon tanpa perasaan ingin meninggalkan Hara yang sekarat di hutan itu.
Bersambung …