Disekap di Hutan Pedalaman

1217 Kata
Di Hutan Kalimantan Jovita yang masih duduk meringkuk di lantai kamar mandi, bendungan air dalam mata itu akhirnya tumpah juga, ia memukul-mukul tubuhnya sendiri, ia merasa jijik pada tubu sendiri. tubuh yang selama ini ia banggakan. Tubuh yang ia jaga sepenuh hati, bahkan ia menyesal dulu ia tidak memberikan pada Ben tunangannya. Dulu ia selalu menolak ajakan Ben melakukan hubungan badan sebelum menikah, tetapi kali ini, ia merasa menyesal kenapa tidak memberikannya saja, pada orang yang ia cintai. Saat ini, ia merasa dirinya sangat kotor dan tidak pantas untuk tunangannya. Merasa kotor dan hina, karena sudah di nodai seorang lelaki jahat. Ia menggosok-gosok tubuhnya dengan kasar, seolah-olah ia merasa ada banyak kotoran yang menempel di tubuhnya, sesekali ia mencakar tubuh sendiri dengan tangisan. “Aku benci diriku, aku sangat menjijikkan, aku hina." Jovita terus memukul-mukul tubuhnya . Leon menyandarkan tubuhnya di pintu kamar mandi dan tangannya melipat di d**a, ia menonton Jovita memukuli dirinya sendiri. Setelah sekian lama berdiri di sana, puas melihat Jovita menyakiti dirinya, lalu ia berkata tanpa merasa bersalah; “Kalau kamu sudah puas memukuli dirimu, kamu boleh keluar dari sana,” ucapnya melempar handuk. “Dasar Iblis,” ujar Jovita dengan hati terasa dibakar , menatap Leon dengan mata dendam membara. Leon hanya menatap sekilas dan membelakangi Jovita lagi, menghiraukannya, wanita cantik itu, meratapi nasip. Leon menatap wajahnya di pantulan kaca di kamar mandi, melihat kedua sisi pipinya di pantulan kaca dan jambang-jambang halus mulai tumbuh di dagu. Ia tidak menghiraukan wanita yang menatapnya penuh dendam, ia memang iblis berwajah tampan. Jovita hanya menatap dari belakang, ia menghayal memukul tubuh lelaki itu dari belakang hingga pingsan. Bahkan ia merasa senang, saat membayangkan lelaki itu jatuh dan ia bisa bebas. “Apa menghayalnya sudah selesai, apa kamu masih kurang lama untuk pamer tubuhmu,” kata Leon menatapnya dengan santai. Jovita mengerang seperti anjing betina, ia sangat kesal melihat lelaki itu bersikap seperti itu, baru saja ia berdiri dan meraih handuk yang di berikan lelaki itu “Auuu sakit." Ia merasa perih bahkan sangat perih di bagian intinya. Tapi ia menahan diri, tidak ingin lelaki itu melihatnya merintih lagi. Tiba-tiba tangan kekar lelaki itu menyeret lengannya, membawanya dari kamar mandi. “Itu baju untuk kamu pakai, pakai apa yang ada, dari pada tubuhmu terpampang lagi ,” ujar Leon datar. Melemparkan baju kaos miliknya, tapi kali ini bahkan lebih pendek dari kemeja yang di berikan tadi pagi. Satu celana dalam milik lelaki lagi, tanpa pengaman bagian d**a. Jovita hanya bisa menutup mata, dan menarik napas panjang, ia berharap lebih baik datang petir, lalu menyambar tubuhnya sampai mati , dari pada ia harus memamerkan sebagian aset pribadinya pada lelaki jahat itu. “Kenapa? kamu mau protes, kalau kamu tidak suka, ada dua pilihan, kamu boleh memakainya atau kamu melepaskannya,” ujar Leon melihat Jovita keberatan. Tidak ada pilihan, ia memakainya, pahanya yang mulus kini dipamerkan untuk Leon lagi. ‘ Baiklah Hara … pakai saja’ ucap Jovita membatin, menarik napas berat. “Kita dimana? Boleh aku tau aku di mana?” Tanya Jovita setelah ia duduk tenang. “Apa itu penting, kamu di mana?” “Iya, itu penting bagiku?” “Kamu di tengah hutan” “Hutan?” “Iya di hutan pedalaman Kalimantan.” “Haaaa, kok bisa …? Aku dari Jakarta, kenapa bisa tiba-tiba di Kalimantan?” Leon diam membiarkan Jovita menyelesaikan pikiran bingungnya. Jovita melihat Leon sibuk dengan laptopnya, Jovita berjalan ingin melihat rumah yang di tinggalin lelaki misterius itu, ia menyelinap keluar dan menuju dapur, matanya mengawasi sekeliling, Tapi suasana di rumah itu menyeramkan seperti penuh mistis. Ia membuka kulkas memakan apa yang bisa di makan, ia merasa kelaparan lagi setelah di gilir lelaki bertato itu di kamar mandi. Matanya mengawasi seisi kulkas besar itu. “Wah… ini banyak makanan, kenapa ia membiarkan wanita sepertiku, mau mati kelaparan ,” kata Jovita “Dasar lelaki kejam,”umpatnya kesal, mulutnya sibuk mengunyah roti lapis yang di tangannya. Ia mengisi mulutnya dengan makanan yang di ambil dari kulkas, memakannya dengan buru-buru sebelum lelaki galak itu datang dan menyeretnya lagi. Ia melihat ada minuman bersoda dalam kulkas, ia membuka penutupnya dan meminumnya beberapa tegukan. Ia tidak sadar, Leon sudah melihat dari pintu, berdiri seperti gaya biasa bersandar di tiang pintu, tangannya melipat di d**a, menatap Hara dengan tatapan datar. Saat Hara membalikkan tubuhnya, lelaki itu menatapnya dengan tatapan sinis. “Astaga aku kaget,” kata Jovita , melihat Leon menatapnya tanpa ekspresi. “Apa kamu tidak tau, masuk ke dapur orang lain, memakan milik orang lain di sebut pencuri?” Tanya Naga dengan tatapan acuh, menatap Jovita dari atas sampai ke bawah, baju kaos itu hanya menutup panggul saja. Seakan-akan, ia sengaja memilih baju pendek seperti itu agar bisa melihat tubuh indah Jovita Ia tidak nyaman bahkan benci dengan tatapan itu, ia menarik-narik bajunya menutup bagian pangkal pahanya. “Aku lapar, apa aku harus mati kelaparan, padahal di dapurmu banyak makanan,” kata Jovita. “Itu bukan urusan ku ,” katanya lagi, ia juga membuka kulkas mencari minuman Tapi ada satu benda di pojok ruangan yang menarik perhatian Jovita, karena benda itu matanya seakan ada lampu senter. “Apa itu ?kata Jovita ia mendekat, alangkah terkejutnya ia benda yang di maksud Jovita sebuah patung kayu berbentuk aneh dan jelek, Ia terkejut , karena terkejutnya ia terjatuh dan mundur mengesot ketakutan. “Apa yang kamu lakukan?” Bentak Leon menarik baju Jovita dengan kasar dan menyeretnya. “Haaa lepaskan, apa yang kamu lakukan? aku tidak sengaja , aku hanya melihat matanya bercahaya, aku penasaran,” kata Jovita. Leon mendorong tubuhnya ke kamar itu kembali, ia merasa takut, berpikir kalau ia akan di dorong ke gorong-gorong itu lagi. “Kamu berani lancang memegang barang-barang pribadiku, Haa ...!” katanya dengan kemarahan, mencabut sesuatu dari balik pinggang nya dan mengarahkan tepat di dadaJovita. “Maaf… aku tidak sengaja , tidak akan terulang lagi,” kata Jovita dengan suara bergetar. ia ketakutan saat ujung benda berbahaya itu di arahkan kejantungnya, napas Jovita terengah-engah saat ujung pistol itu, tepat di dadanya. “Dengar! aku tidak suka barang-barang pribadiku di sentuh orang lain, kamu paham …!” “Iya, aku mengerti,” jawab Jovita gemetaran. Leon sangat marah saat Jovita kaget dan terkejut di depan patung kayu di pojokan rumahnya. Patung yang di yakini patung kramat bagi suku pedalaman di Kalimantan. Termasuk Leon, bagi suku mereka, patung kayu itu sesuatu yang sangat sakral, disembah dan dihormati. Patung Dayak maanyan. patung dari ukiran kayu yang di yakini punya roh leluhur bersemayam di dalam patung. Hal itu juga yang di lakukan Leon Wardana. Ia meletakkan patung maanyan di pojokan rumahnya, yang ia yakini dewa penjaga. Jovita sudah sering mendengar kisah-kisah mistis dari salah satu suku pedalaman itu dari ayahnya, tetapi ia belum pernah melihat secara langsung, bagaimana bentuk dan wajahnya. Tetapi secara tidak sengaja Jovita melihat patung kayu yang berwajah jelek itu. Jovita terkejut dan terjatuh. Tapi hal itu tidak boleh di lakukan. Suku pedalaman yang masih menganggap patung kayu itu, sebagai tempat roh leluhur mereka. “Aku akan melakukan ritual pengampunan, karena ulahmu,” rutuk Leon dengan kesal, ia harus mempersembahkan dupa menyembelih hewan, dan di persembahkan pada roh keluarganya. ‘Siapa Lelaki bertato ini? Apa ia orang suku pedalaman asli?’ Tanya Jovita, ia menatap dengan dalam, wajah datar dan dingin itu saat melihat dupa ritual itu. Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN