SAAT FIKRI SAKIT
Fikri, anak laki-laki kecil berusia 1 tahun itu terbatuk-batuk, ada suara ngikkk ngikkk dari helaan nafasnya. Rindiana panik, sebagai ibu jelas ia merasa takut. Rindiana bukan wanita lemah sebenarnya, tapi siapa yang tak resah kala melihat belahan jiwa dalam kondisi yang begitu parah.
Rindiana meraba kening Fikri, panasnya terasa sekali di kulit pergelangan tangannya.
Rindiana mencoba meminumkan ASI tapi beberapa kali Fikri tersedak. Hari sudah malam sekali, tidak ada dokter buka kecuali unit gawat darurat rumah sakit umum.
Rindiana resah.
Bila berangkat ke sana maka ia harus menyiapkan uang yang pastinya tidak sedikit, tapi bila tidak berangkat bagaimana dengan kondisi Fikri yang makin buruk ?
Rindiana tahu kelainan ini di derita Fikri sejak lahir seperti juga kakaknya yang lain. Tapi sungguh, Rindiana tidak punya solusi untuk mengatasi biaya rumah sakit.
Ia berpikir keras.
Sudah sejak tiga bulan yang lalu Rindiana bercerai talak tiga dengan suaminya. Ia tidak berpikir untuk mengurus legalitas dirinya karena ia bersikukuh ingin bekerja demi membesarkan putra-putranya. Rindiana harus jadi rumah bagi ke tiga putranya itu. Ia tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan terlebih tentang pernikahan baru.
Pukul 23.15 waktu Indonesia bagian barat.
Rindianna menggendong Fikri ke luar rumah. Ia tinggalkan rumahnya sambil menitip pesan pada bu Khamid tetangga sebelah utara rumah tersebut. Beruntung bu Khamid bersedia menjaga anak-anak.
Dengan diantar becak Rindiana menuju rumah sakit umum. Ia melihat dan mendengar bocah satu tahun itu menangis saat jarum infus menancap ke tangannya.
Rindiana hanya bisa beristighfar ia tak mampu bergantung selain kepada Allah saja. Hanya Allah satu-satunya kekuatan baginya.
Rindiana juga wanita, wanita berusia dua puluh sembilan tahun yang harus menikmati getirnya hidup hanya karena ia belum dewasa saat memutuskan menikah.
Lelaki yang ia pilih karena rajin dan taat melaksanakan salat saat mereka satu kantor membuat Rindiana mengiyakan lamarannya.
Pagi hari lelaki itu bekerja di sebuah perusahaan internasional dengan jabatan sebagai manager export import, sore harinya ia bekerja di tempat Rindiana bekerja sebagai pengajar Bahasa Inggris di sebuah lembaga pendidikan ternama. Sedang Rindiana sendiri menjabat sebagai sekretaris dan juga penerjemah.
Rindiana yang imut, mungil, cerdas juga sering tertawa renyah membuat ia sering sekali digoda oleh para lelaki yang datang kesana. Tetapi Rindiana memilih Arman karena Arman lelaki yang paling sopan.
Perjalanan cinta mereka berlanjut ke pelaminan namun siapa sangka Arman punya kebiasaan buruk. Arman seringkali menyembunyikan uangnya dan tidak mengeluarkan barang sedikitpun meski keluarganya kekurangan. Rindiana bercerai sekali dengan Arman kemudian rujuk, yang ke dua pun begitu, dan ini adalah talak terakhir. Mereka tidak bisa rujuk lagi.
"Uhuk, uhuk," lepas dari lamunan tentang Arman, Rindiana mendekati Fikri.
Bocah tercintanya itu nampak merintih menahan sakit tapi badannya lemah dan terlihat mengantuk mungkin efek obat suntik yang tadi dimasukkan. Sungguh Rindiana merasa iba.
Fikri yang malang, diantara semua rasa sakit ia bahkan tidak bisa merasakan pelukan ayahandanya. Rindiana sudah berjuang menjaga rumah tangganya namun ia gagal. Alhasil perceraian terjadi dan anak-anak harus menanggung derita atas hal tersebut.
Sungguh Rindiana bersedih sangat sedih.
Melihat Fikri terbaring bahkan sebulan sekali biasanya, adalah sebuah siksaan tersendiri buat Rindiana. Rindiana melangitkan doanya setiap saat, tanpa lelah.