Mina membulatkan kedua matanya dan menatap nanar surat tugas yang sedang berada di dalam tangannya itu. Ia membaca setiap kata yang tertulis di surat itu secara berulang kali, seakan tidak yakin dengan apa yang tertulis pada surat itu. Ia akan pergi ke Yogya selama empat hari bersama dengan Gafin, kurang lebih begitulah isi surat tugas itu. Surat yang telah ditandatangani oleh bosnya, Rangga Radistya itu bagaikan sebuah mimpi baginya. Bagaikan sebuah mimpi buruk namum indah. Ia akan menghabiskan empat hari bersama dengan Gafin, lelaki yang membuatnya jatuh cinta dan juga terluka secara bersamaan.
‘I have destroyed my heart by loving you,’ gumam Mina di dalam hatinya sembari menatap sendu kertas di hadapannya. Ia telah menghancurkan hatinya sendiri karena mencintai lelaki seperti Gafin. Mencintai lelaki dingin yang menyiksanya dengan segala sifat acuhnya itu butuh perjuangan yang besar. Mina selalu berharap jika kisah cintanya itu akan berjalan dengan mulus tanpa halangan apapun, tetapi harapannya tidak pernah terkabul. Ia ingin cinta yang berbalas, ia ingin kisah cintanya itu menjadi sebuah kisah cinta yang indah seperti kisah cinta yang ada di dalam n****+-n****+ romantis yang selalu dibacanya ataupun seindah kisah cinta seperti di dalam kisah dongeng klasik. Dongeng percintaan yang selalu berakhir dengan akhir yang bahagia. Ia harap kisah cintanya dengan Gafin juga dapat berakhir dengan bahagia.
Mina berulang kali membaca surat itu. Surat tugas itu terasa sedikit aneh baginya. Ia tidak tahu mengapa Gafin yang menjabat sebagai seorang sales manager bisa meminta Mina yang notabene adalah seketaris dari seorang direktur perusahaan mereka itu untuk menemaninya mengerjakan proyek di Yogya.
‘Sangat tidak sopan jika aku bertanya pada Rangga tentang alasannya memilihku untuk menemani Gafin,’ Mina bergumam di dalam hatinya sembari menatap kosong surat yang tidak bisa dilepaskannya dari genggangman tangannya itu.
Mina tidak ingin berduaan dengan Gafin selama empat hari. Ia tidak mengerti akan perasaannya sendiri. Semua rasa teraduk menjadi satu di dalam hatinya, rasa bahagia, bimbang, dan takut membuat dirinya tidak dapat mengerti dengan perasaannya sendiri. Ia takut kalau ia akan tersakiti oleh perasaannya sendiri yang bertepuk sebelah tangan.
‘Drrtt…’ getaran ponselnya itu membuat Mina tersadar dari lamunan panjangnya. Ia melihat sisi kanannya dan segera mengambil ponselnya itu.
‘Selamat bekerja angel-ku yang paling cantik.’ Mina tersenyum lebar saat membaca pesan yang tertera pada layar ponselnya. Kata-kata gombal dari Max selalu berhasil menghiburnya, ia seakan kembali ke masa sekolah mereka. Masa di mana ia selalu mendengar kata-kata gombal dari Max, tetapi kata-kata itu terasa berbeda saat ini. Perasaan berbeda itu bukan karena Mina mencintai Max, mungkin lelaki itu telah mengisi kekosongan dalam hatinya.
Mina sangat jelas dengan perasaannya terhadap Max, ia menyayangi Max hanya sebagai seorang kakak lelaki dan perasaannya pada lelaki itu tidak pernah lebih dari sekedar perasaan sayang kepada seorang kakak lelaki, tetapi entah mengapa saat ini ia merasakan sesuatu yang berbeda dan ia belum tahu perasaan apakah yang berkecamuk di dalam hatinya itu.
‘Mungkin aku hanya merasa terlalu lelah dengan perasaanku terhadap Gafin dan menjadikan Max sebagai pelarianku.’ Mina menatap kosong ponselnya dan bergumam pelan di dalam hatinya.
Hanya alasan itu yang dapat Mina temukan saat ia tidak mengerti perasaan bahagia yang ia rasakan saat bersama dengan Max. Lelaki itu adalah pelarian bagi Mina, fakta yang paling masuk akal untuk mendiskripsikan perasaannya terhadap Max saat ini. Walaupun tidak ada perasaan cinta layaknya sepasang kekasih antara ia dan Max, tetapi Max berhasil membuat hari-harinya lebih bahagia dari sebelumnya. Mina merasa seperti kembali ke masa-masa SMA mereka. Masa-masa yang sangat menyenangkan baginya.
“Mina... kamu sudah siapkan semua dokumen yang aku minta?” Gafin menyadarkan Mina dari lamunan panjangnya. Seperti biasa, lelaki itu tidak pernah mau menatap wajah maupun mata Mina saat berbicara dengannya. Mina tidak mengerti mengapa Gafin selalu menghindari kontak mata dengannya. Ia tidak tahu bahwa Gafin terlalu takut untuk menatap matanya karena ia takut wanita itu dapat mengetahui perasaannya jika melihat kedalam matanya.
‘Apakah dia membenciku? atau dia merasa aku adalah wanita yang terlalu centil? Yang aku tahu Gafin sangat membenci wanita centil, tetapi aku bukanlah termasuk wanita yang centil, aku selalu mengabaikan beberapa lelaki yang selalu berusaha mendekatiku. Seandainya ada alat yang bisa mendeteksi hati seseorang, jika ada aku akan membelinya secepat mungkin.’ Mina larut dalam pikirannya sendiri. Ia selalu merasa Gafin sulit untuk ditaklukkan dan mungkin saja lelaki itu membencinya karena lelaki itu tidak pernah mau menatap langsung ke dalam manik matanya.
“Mina, kamu dengar pertanyaanku tadi?” Gafin mengulang pertanyaannya karena tidak mendapatkan jawaban apapun dari Mina, ia mengerutkan keningnya dan menatap tajam ke arah Mina yang terlihat sedang larut dalam pikirannya sendiri.
“Ah… iya… maaf, Fin...” Mina menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan berkata dengan terbata-bata, “Iya sudah selesai semuanya.” ia mencoba mengeluarkan sebuah senyuman manis dan mengulurkan beberapa dokumen yang berada di atas meja kerjanya kepada Gafin. Gafin membolak-balikkan setiap lembar dokumen yang sudah ada di tangannya itu, tatapannya fokus ke arah dokumen yang sudah berada ditangannya. Mina bagaikan angin yang tidak ia sadari keberadaannya saat ini.
“Besok kita ketemu di bandara ya.” Gafin tersenyum tipis seraya meninggalkan Mina yang berusaha terlihat sibuk dengan membereskan meja kerjanya yang sebenarnya sudah terlihat rapi. Minqa menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis. Walaupun senyum yang diberikan lelaki itu terkesan sangat pelit, tetapi Mina sangat menyukainya. Ia menyukai senyuman lelaki itu, ia menyukai suara dalam milik lelaki itu, ia menyukai mata coklat hazelnut milik lelaki itu dan ia menyukai setiap hal yang ada di dalam diri lelaki itu. Mina telah jatuh cinta pada lelaki itu. Ia harus menyiapkan dokumen, mental dan hatinya untuk empat hari ke depan. Ia tidak dapat memprediksi bagaimana akhir perjalanan mereka nanti, ia yakin bahwa perjalanan itu akan membuatnya tersiksa dengan segala keacuhan lelaki itu.