"Jadi, temanmu sakit. Kau membuatku khawatir, karena aku pikir kau yang sakit," ucap Sean setelah Yuna berhasil membohonginya.
Yuna bersyukur karena kebohongannya berhasil membuat Sean percaya padanya. Akan hancur semuanya jika Sean tahu kalau ia sudah menikah dan punya anak. Yuna tidak mau kehilangan pria yang sangat ia cintai.
"Tapi, kenapa kau harus berpakaian seperti ini?" tanya Sean.
"Ini ... aku hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Oh ya, bagaimana kondisi ibumu? Kau di sini untuk menjenguk ibumu, kan?" Yuna mengalihkan pembicaraan. Ia bisa berbohong, tapi akan gugup jika terus berbohong untuk hal yang sama.
"Keadaannya memburuk. Aku juga ingin mengambil cuti untuk menemani Ibuku karena dokter mengatakan kemungki teebutuk bisa terjadi kapan saja. Itu membuatku sangat sedih." Sean bahkan tidak bisa membayangkan tentang kemungkinan terburuk yang dokter katakan.
"Kau harus bersabar. Kau pasti kuat." Hanya ini yang Yuna katakan, sebab pikirkannya juga tidak tenang karena William sudah kembali meneleponnya. Sial! Yuna ingin bebas dari semua teror ini.
"Maaf, Sean, tapi aku harus pergi sekarang. Nanti, aku akan menghubungimu. Aku pergi." Yuna langsung bangkit dari duduknya, lalu pergi dari tempat ia bicara dengan Sean karena William pasti akan terus menerus meneleponnya.
Sean menatap Yuna yang terus menjauh hingga hilang dari pandangannya. Sebenarnya, Sean merasa kalau Yuna agak berbeda, tapi ia berpikir lagi kalau itu mungkin karena temannya sakit dan dia menjadi khawatir, jadi ini tidak begitu ia pikirkan.
••••
Meski malas untuk datang ke sini, tapi Yuna tetap tersenyum saat bertemu dengan putri kecilnya yang bernama Lily. Setelah bermain boneka dan mengobrol sebentar, Lily kini sudah tidur. Karena Lily sudah tidur, maka Yuna berniat pergi dari sana, tapi William dengan cepat menahannya.
"Kau mau ke mana?" tanya William yang saat ini berdiri di depan Yuna.
"Tentu saja pulang. Aku lelah dan ingin istirahat." Yuna menjawab dengan cepat, lalu kembali melangkah pergi, tapi William lagi-lagi menghalangi jalannya.
"Lily baru saja tidur dan kau sudah ingin pergi? Kau bahkan tidak pernah menjaganya di sini," ucap William.
Yuna memutar bola matanya dengan malas. Kalau saja waktu bisa diputar lagi, ia tidak akan pernah menikahi pria menyebalkan seperti William. "Kenapa aku harus melakukannya? Ada dokter dan perawat di sini, jadi aku tidak perlu membuang waktuku di sini. Jika kau ingin di sini, maka lakukan saja, aku tidak peduli."
"Membuang waktu? Menghabiskan waktu bersama anakmu kau bilang membuang waktu? Seorang ibu seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu."
Yuna terlihat tidak peduli dengan apapun yang William katakan. "Terserah apa yang kau katakan, aku tidak peduli dengan semua itu," ucap Yuna, lalu mendorong William karena menghalangi jalannya.
William hanya terdiam di tempatnya sembari menatap Yuna yang pergi setelah mengatakan kalimat yang seharusnya tidak dikatakan oleh seorang ibu. Popularitas yang begitu tinggi dan citra yang sempurna telah membuat Yuna perlahan menjadi orang yang berbeda. Popularitas bisa menjadi teman yang baik atau teman buruk saat kau telah dibuat mabuk olehnya.
••••
Hari demi hari terus berlalu dan seperti hari-hari biasa, Elsa duduk di meja makan sembari menikmati sarapannya seorang diri. Hari ini, Elsa hanya ingin makan roti dengan olesan selai dan juga secangkir kopi. Elsa ingin makan dengan cepat, lalu kembali ke rumah sakit untuk menemani ibunya. Saat Elsa bersiap untuk menikmati makanannya, tiba-tiba ia merasa mual hingga harus lari ke kamar mandi.
Sean yang baru saja turun ke lantai bawah melihat Elsa yang lari ke kamar mandi dengan langkah cepat sembari menutup mulutnya. "Apa yang terjadi padanya?" meski Sean bergumam seperti ini, tapi ia tidak benar-benar peduli pada Elsa.
Sean melangkahkan kakinya pergi karena sudah memiliki janji untuk sarapan bersama dengan Yuna. Sedangkan Elsa saat ini masih muntah-muntah di dalam kamar mandi. Elsa tidak tahu pasti apa yang terjadi padanya karena ia merasa tidak makan atau minum yang aneh-aneh. Lalu, pikiran Elsa melayang pada kejadian beberapa minggu yang lalu.
"Tanggal berapa sekarang?" Elsa bergumam setelah rasa mualnya sedikit mereda.
Setelah membersihkan mulutnya dan mencuci tangan, Elsa langsung keluar dari kamar mandi dan melihat kalender yang ada di ponselnya. "Tenyata aku terlambat," gumam Elsa dan wajahnya mulai terlihat takut. Seharusnya, ini bukanlah sesuatu yang ditakutkan oleh wanita yang sudah menikah, tapi mengingat bagaimana sikap Sean, ini membuat Elsa takut.
"Nona Elsa? Anda baik-baik saja?" seorang wanita yang merupakan pelayan di rumah ini bertanya pada Elsa setelah melihat raut wajahnya yang terlihat seperti orang takut dan dia juga terlihat agak pucat, padahal tadi saat ia tinggal bersih-bersih wanita itu terlihat baik-baik saja.
Elsa tersadar dari lamunannya saat mendengar suara dari wanita yang biasa ia panggil Bibi Jang itu. "Aku baik-baik saja," jawab Elsa.
"Kenapa sarapannya tidak dimakan? Apa perlu saya buatkan yang baru?" tanya Bibi Jang lagi.
"Tidak. Aku akan langsung pergi untuk menjenguk Ibu." Elsa langsung pergi meninggalkan Bibi Jang karena pikirannya sangat tenang saat ini.
"Apa ini karena Sean?" Bibi Jang juga bergumam. Bibi Jang tahu pasti seperti apa hubungan Sean dan Elsa bahkan beberapa kali ia pernah melihat sepasang suami istri itu berdebat. Bibi Jang juga yakin kalau setiap kali Sean memintanya pulang lebih awal pasti karena pria itu ingin membawa wanita lain pulang ke rumah, sebab ia pernah menemukan pelembab bibir dan helaian rambut panjang di kamar Sean. Bibi Jang yakin pelembab bibir dan helain rambut itu milik wanita lain, sebab ia tahu kalau Sean tidak tidur satu kamar dengan Elsa dan rambut Elsa tidak sepanjang itu.
••••
Sean menikmati sarapannya bersama Yuna di apartemen pribadi wanita cantik itu. Jika kalian berpikir itu murni sarapan seperti orang pada umumnya, maka kalian salah besar. Itu bukanlah sarapan biasa, tapi sarapan yang dibumbui dengan kemesraan mereka. Sean awalnya hanya ingin menikmati makanan yang ada di atas meja, tapi kini ia juga ingin 'menikmati' wanita yang ada di pangkuannya.
Yuna yang duduk di pangkuan Sean tampak begitu nyaman mengalungkan tangannya di leher pria itu, sedangkan bibirnya terus bermain dengan bibir Sean. Yuna kini merasakan kalau tangan Sean mulai masuk ke dalam baju yang ia gunakan. Yuna sangat menyukai sentuhan Sean, jadi tentu ia tidak akan menolak.
Sean pun semakin bersemangat untuk melanjutkan permainan ini karena tangan nakal Yuna mulai membuka kancing kemeja yang ia gunakan. Namun, saat napsu Sean semakin tinggi dan suasana menjadi semakin panas, Yuna tiba-tiba menyudahi ciuman itu, lalu pergi ke kamar mandi.
"Yuna, aku tidak suka dipermainkan seperti ini!" ucap Sean. Pria ini terlihat cukup kesal karena berpikir kalau Yuna sedang mempermainkannya.
Karena Yuna tidak kunjung kembali, Sean akhirnya bangkit dari duduknya dan pergi untuk mencari keberadaan wanita itu. Sean yang tadinya kesal, kini menjadi khawatir karena Yuna terlihat muntah-muntah di kamar mandi.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Sean yang saat ini berdiri di sebelah Yuna.
Yuna tidak menjawab pertanyaan Sean, selain karena sedang sangat mual, ia juga tengah memikirkan hal yang lain. Hal seperti ini tidak asing untuk Yuna, tapi ia tidak berharap hal itu terjadi padanya.
"Yuna ...."
"Bagaimana jika aku hamil?" Yuna menyela kalimat Sean sembari menatap lekat pria itu.
"Apa?" Sean terkejut mendengar ucapan Yuna. Tidak, Sean tidak berharap hal seperti itu terjadi saat ini.
"Tidak mungkin. Kau mungkin hanya sedikit sakit. Kau akan baik-baik saja setelah istirahat," ucap Sean. Meski terlihat bahagia saat bersama Yuna, tapi ia tidak pernah berpikir terlalu jauh seperti punya anak dengan wanita itu.