4. Formulir Kosong

1292 Kata
Keesokan hari di sekolah, begitu sampai di kelas Elin didatangi ketua kelas yang sepertinya memang sudah menunggu kedatangannya. Selembar kertas formulir kosong Mahdi serahkan pada Elin. “Ini formulir pendaftaran kegiatan club sekolah. Peraturan sekolah mengatakan, setiap siswa diharuskan mengikuti club tanpa terkecuali. Jadi sebaiknya kau segera bergabung dengan club, jika tidak nilai keaktifan di sekolah milikmu bisa kosong.” Selesai bicara Mahdi langsung berlalu. Benar-benar hanya menyampaikan tugasnya tanpa berbasa-basi. Bahkan Elin belum sempat duduk di kursinya. Saat itu seseorang berjalan melewati Elin, wangi parfume yang lembut menyegarkan tercium dari kehadirannya. Sosok yang memikat separuh napas Elin, meski mereka sama-sama wanita tapi jelas amat berbeda. Postur tubuh ideal, tinggi semampai layaknya model. Keindahan yang terpancar dari rambut hingga ujung kakinya. Bagaimana laki-laki tidak terpanah, Elin yang perempuan saja mengaguminya dalam sekejap. Kesempurnaan figure hingga wajah yang baru pertama kali Elin lihat. Sosok pemilik kesempurnaan itu tak lain adalah Jasmine Caroline. Mereka berada di kelas yang sama. Elin sama sekali tidak menyadarinya kemarin, terlalu gugup di hari pertama sampai acuh dengan sekitar. Lagi pula Carol tipe yang diam dan tenang bagai aliran air sungai saat berada di dalam kelas. Berbeda dengan keberadaan Iki yang seolah selalu meminta perhatian orang sekitar ke mana pun ia pergi dalam lingkungan sekolah. Bagaimana tidak, itu semua karena geng yang selalu bersamanya. “Hei Resca,” Panggil Elin. “Siapa gadis itu?” Tanya Elin tak kuasa membendung rasa penasaran. “Carol?” Ucap Resca menyebut nama gadis yang Elin maksudkan. Resca tersenyum merasa tidak asing dengan reaksi Elin, meski biasanya reaksi itu ditunjukkan oleh kaum pria. “Julukannya Rapunzel.” “Karena rambutnya yang tergerai panjang?” Tebak Elin, Resca menggeleng. “Lantas?” “Karena seorang putri yang hidup diketinggian dan menyendiri.” Tandas Resca. Gadis secantik itu mengapa punya julukan yang amat sedih pikir Elin. Tapi memang Elin bisa rasakan, Carol memberi kesan sulit untuk didekati dan menjaga jarak dengan orang di sekitarnya. *** Jam istirahat siang, sedih memang Elin harus makan siang seorang diri di kantin sekolah. Tapi kesedihannya tak berlangsung lama ketika ia melihat hamparan sajian makanan bagai prasmanan level hotel berbintang. Sekolah SOPA memfasilitasi makan siang siswa dengan jaminan mutu sayur organik dan menu daging merah kualitas terbaik. Elin sampai bingung harus memilih menu santap siangnnya. “Oh! Dik,” Panggil seorang bibi petugas kantin. “Wajah yang baru saya lihat, adik siswi pindahan itu ya?” “Ya, saya?” Elin merasa bingung disapa tiba-tiba ketika tengah menyendok nasi merah ke piringnya. Dengan nada antusias dan tak luput senyuman ramah. “Silahkan Dik-silahkan... Makan yang banyak ya!” Tangan Bibi itu sibuk menyendokkan lauk-pauk memenuhi piring Elin. “Ini, ayo dicoba menu utama hari ini. Kamu suka makanan nusantara ‘kan?” “Eh? B-boleh...” Jelas sikap yang amat bersahabat padahal baru pertama bertemu membuat Elin kikuk. Rasanya baru kali pertama Elin merasakan keramahaan di sekolah ini. “Terima kasih...” Senyum Elin canggung. “Kamu makan siang sendiri Dik? Tidak bersama teman?” Kali ini Elin tersenyum getir. Bibi itu langsung berputar dari balik meja berjalan keluar dapur. Elin terkejut karena Bibi itu jalan mendekat, meraih tangan Elin untuk ikut bersamanya. “Ayo duduk-duduk... Saya temani.” Akhirnya mereka duduk bersama. “Anak-anak di sini mungkin terlihat tak acuh dan terkesan dingin, tapi itu hanya menampilan luar mereka saja kok. Karena di sini jarang bertemu orang asing seperti Adik ini. Mungkin butuh waktu untuk mereka membuka diri. Jadi tenang saja, jangan berkecil hati yaa...” “Oh tidak kok Bu, saya juga sama seperti mereka.” Kali ini Elin malah mendapat dukungan. “Bagaimana, apa hidangannya sesuai dengan seleramu?” Sepertinya Bibi itu memang ingin mendengar komentar tentang masakannya. “Uhuk!” Makan seorang diri, lebih lagi diperhatikan begitu benar-benar membuat Elin sulit mencerna makanannya meski rasanya luar biasa enak. “Enak Bu, mengingatkan saya dengan masakan nenek di kampung.” “Ahaha... Tepat sekali, cita rasa itulah yang saya inginkan! Kekayaan cita rasa nusantara warisan budaya kita, membuat kita bernostalgia benar?” Lagi Elin hanya dapat memberi senyuman canggung. Bibi kantin menatap Elin dengan seksama. “Kalau tidak punya teman bicara atau butuh bantuan adik―Eng...” “Saya Evelin, cukup panggil Elin.” Rasanya tidak sopan bila Elin tidak memperkenalkan diri setelah disapa dengan ramah dan ditemani seperti ini. “Ya, dik Elin. Kalau butuh bantuan atau punya pertanyaan datang saja ke saya, jangan sungkan ya!” Bibi menupuk telapak tangan Elin, memberi dukungan. Kalau pertanyaan saat ini Elin punya satu. “Saya dengar setiap siswa diharuskan mengikuti kegiatan club. Pagi tadi saya diberi formulir untuk diisi pendaftaran club yang saya pilih.” Siang itu siapa kira Elin mendapat teman bicara tak terduga, seorang bibi kantin dengan senang hati menjelaskan pertanyaan yang bersemayam di benak Elin sejak pagi tadi. “Ah club! Iya benar sekali. Sekolah ingin semua siswa aktif dan punya kesibukan, mengembangkan potensi minat dan bakat mereka. Lebih baik lagi bila mereka bisa berprestasi, bukan begitu?” Nada antusias kembali terdengar. Tapi Elin tidak berpikir demikian. Jika memang ia punya waktu untuk dihabiskan ikut kegiatan club, lebih baik Elin gunakan untuk lebih lama belajar materi pelajaran. “Eng... Apa ada club yang sekiranya tidak terlalu sibuk dengan jadwal kegiatan atau aktifitas lain?” “Loh kenapa?” Bibi kantin bingung baru kali ini mendapat pertanyaan seperti yang Elin ajukan. Apa sekiranya alasan yang terdengar masuk akal, pikir Elin. “Karena saya hanya tinggal berdua dengan Ibu, jadi saya ingin bisa lebih lama menghabiskan waktu di rumah bersamanya.” Dalam hati Elin meminta maaf memanfaatkan keberadaan Ibu untuk kepentingan pribadi. “Begitu yaa... Hmm, saya rasa ada satu club sesuai dengan kriteria yang Adik cari.” Bibi coba mengingat-ingat. Elin jelas sangat penasaran. “Benarkah itu? Club apa?” “Club penelitian sekolah. Sudah lama saya tidak mendengar tentang mereka, bisa juga club itu vakum saat ini. Tapi dik Elin bisa cek sendiri di bagian informasi atau datang ke ruang club langsung.” Bibi menyelesaikan penjelasannya. “Terima kasih sekali Bu untuk infomasinya.” Kali ini senyuman Elin tampak tulus. Melihat makan siang Elin yang hampir habis dan waktu istirahat juga sebentar lagi berakhir. Bibi kantin pamit kembali masuk ke dapur. Elin berusaha menghabiskan porsi besar makan siangnya hingga bersih tak bersisa, karena begitulah ajaran di keluarga Elin―tidak boleh membuang makanan. Di kejauhan Iki dan geng memasuki kantin. “Di sisa waktu makan siang yang hampir habis ini, apa dia baru berencana untuk mulai makan siang?” Eluh Elin tak habis pikir. Tapi sudahlah, toh itu bukan urusannya. Elin cukup tidak perlu menyaksikan kelakuan Iki jika memang tidak suka, simpel saja. Tapi kemudian kejadian kecil terjadi di kantin, sebelum Elin sempat meloloskan diri dari sana. Seorang siswa tidak sengaja menabrak Iki ketika beranjak dari meja hendak pergi. Malangnya mengapa orang itu harus Iki. Meski tumpahan sisa makanan selamat dari mengotori seragam Iki dan hanya mengotori lantai. Tapi bagaimana pun ia tetap melakukan kontak fisik dengan Iki dan sedikit lagi saja seragam Iki hampir jadi korban. “M-MAAF!!” Jelas siswa itu langsung panik dan meminta maaf, karena perangai Iki yang agresif sudah amat tersohor. Namun antek-anteknya tidak membiarkan kejadian itu berlalu dan selesai hanya dengan permohonan maaf. Dalam sekejap kejadian itu menjadi tontonan seluruh hadirin yang berada di kantin. Bel masuk berbunyi tapi tidak ada yang beranjak dari sana, seolah telinga mereka sudah tuli dan hanya mata mereka yang berfungsi. Semua orang menahan napas karena suasana tegang, keadaan terasa lebih buruk lagi bagi orang yang menabrak Iki. “Kau pikir hanya dengan meminta maaf bisa menyelesaikan semua masalah, HAH?!!” Bukan, bukan Iki yang berteriak tapi Cakra, seorang yang bisa dianggap tangan kanan Iki dalam gengnya. “Jangan El-Jangan! Ingat pesan Resca padamu.” Batin Elin menahan diri untuk tidak ikut campur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN