Scene 1
Elin berjalan memasuki perumahan yang terkenal elite di kota itu. Angkutan umum tidak dapat mengantar perjalanan Elin lebih jauh masuk ke dalam kawasan pribadi sehingga ia harus turun di ujung jalan. Namun untuk mencapai tujuan masih tersisa jarak cukup jauh yang Elin sendiri tidak yakin di mana persisnya lokasi sekolah dalam pencariannya itu. Ini kedatangan pertama, itu pun cukup mendadak untuk Elin yang baru pindah ke kota ini.
“Aku berharap bertemu seseorang yang bisa kutanyai alamat tapi...” Sejauh Elin berjalan tidak ditemuinya seorang pun. Sesekali kendaraan pribadi memang lalu-lalang, apa harus sampai seputus asa itu Elin mencegat kendaraan secara nekat hanya untuk bertanya alamat hingga mempertaruhkan nyawa. Satu yang Elin syukuri keputusan untuk pergi ke sekolah lebih awal menjadi pilihan tepat.
Dengan kesabaran Elin tetap berjalan menyusuri komplek yang entah berujung di mana. Matanya tidak luput mengawasi mencari alamat tujuan yang tersimpan di aplikasi note pada smartphone. Tertulis―Jl. Nusa Padi 05/02 Blok 19-91 No. 21, komplek SOPA. Dengan alamat ini seharusnya mudah menemukan tempat tujuan Elin. Hanya saja karena tanpa transportasi maka pekerjaan mencari alamat ini membutuhkan perjuangan yang cukuplah untuk Elin berolahraga pagi. Posisi Elin berada saat ini, melihat dari plang alamat rumah paling dekat yang entah milik siapa. Bangunan rumah terlihat mewah dan megah memang dengan halaman depan yang luas. Tidak-tidak, bukan saatnya bagi Elin mengagumi kompleks perumahan orang.
“Jl. Nusa Budi...” Baca Elin. Jelas alamat yang berbeda dengan tempat tujuan yang ia cari.
Saat itu pintu gerbang rumah yang Elin tengong plang alamatnya terbuka. Seorang pemuda berkacamata mengenakan seragam sekolah yang sama seperti Elin pakai keluar dari dalam rumah. Jelas tidak salah lagi mereka satu sekolah. Seragam sekolah itu memiliki design khusus untuk sekolah elite swasta. Mulai dari atribut dasi, jas, lencana, pemilihan warna dan bahan kain berkualitas tinggi, semua terlihat elegan dan berkelas. Elin saja saat mendapat seragam sekolah barunya tak percaya bisa bertemu seragam sekolah dengan harga fantastis hanya untuk satu set seragam.
Tunggu, tidak boleh lengah. Ini kesempatan untuk Elin bertanya alamat. “Hai, boleh ganggu sebentar? Aku―” Belum selesai kalimat Elin, pemuda itu berlalu tanpa mengacuhkannya. Elin terlalu syok karena sama sekali tidak mendapat tanggapan, bahkan dilirik pun tidak. Apa suara Elin kurang keras hingga tidak terdengar. Tapi Elin terlanjur enggan meminta bantuan. Wajah pemuda itu memang memberi kesan dingin dan acuh.
“Apa kuikuti saja dia? Toh arah kami sama.” Gumamnya tebersit sebuah ide. Belum sejauh itu Elin membuntuti, 20 meter dari titik awal berjalan. Deru motor terdengar dari kejauhan, semakin mendekat lalu berhenti menghampiri pemuda yang tengah dibuntuti Elin diam-diam.
Pengguna motor menaikkan kaca helmnya lalu bicara, “Butuh tumpangan kawan?” Cakra memberi helm cadangan pada Wildan. Tanpa membalas sapaan Cakra, dengan wajah datar Wildan berpikir sejenak sebelum menerima helm itu lalu naik ke atas motor menempati jok belakang. Deru mesin motor kembali terdengar. Motor sport dengan kecepatan tinggi melesat berbelok tajam di simpangan jalan. Mengambil jalan ke arah kiri dari arah motor itu datang. Arah yang sama dengan saat Elin datang berjalan kaki.
“Celaka.” Pikir Elin. Navigasi berjalannya telah menghilang dalam sekejap. Satu-satunya harapan Elin telah pergi... Andai ia bisa mengikuti kecepatan motor sport itu juga mungkin kini ia sudah sampai di tempat tujuan, ratap Elin.
Hari semakin siang, Elin masih berjalan. Setelah melewati beberapa rumah kini pemandangan berganti dari yang tadinya hanya rumah-rumah besar berpagar tinggi dan tembok-tembok beton yang terlihat suram. Sekarang hanya terlihat deretan pohon rindang sepanjang kedua sisi jalan, memberi nuansa warna hijau sejauh mata memandang. Memang di balik pohon-pohon itu juga terpasang pagar-pagar tinggi. Tapi di sisi ini lebih baik karena menyejukkan mata. Entah ada apa dibalik pagar itu. Mata Elin tidak dapat menangkap karena terhalang tanaman. Berbagai jenis tamaman hias, jangan tanya apa namanya. Elin tidak tahu spesies tanaman. Ada satu yang ia tahu di antara taman-taman itu―bambu cina.
Selagi Elin menikmati keindahan tanaman dengan masih tetap berjalan kaki. Sebuah kendaraan sedan buatan Eropa merapat dan berhenti membuat Elin berpaling mengawasi mobil berwarna hitan itu. Kaca mobil bagian belakang perlahan turun, seorang gadis di dalam mobil menyapa Elin. “Hei kamu,”
“Ya?” Jawab Elin tampak agak bodoh.
“Naik!” Ajak gadis di dalam mobil. Elin sudah berjalan cukup lama sejak tadi. Sudah tidak terhitung kendaraan pribadi yang berlalu tanpa memperdulikannya.
“Ng tapi...” Mendapat bantuan secara tiba-tiba malah membuat Elin sungkan.
Gadis itu mengamati Elin sesaat dengan tatapan sulit diartikan. “Sudahlah masuk saja, apa kau berencana ke sekolah dengan berjalan kaki? Jika rencanamu untuk terlambat di hari pertama masuk sekolah maka akan kubiarkan―”
“Tidak sama sekali!” Sela Elin cepat. Pada situasi gamang segalanya terjadi begitu cepat, setengah sadar Elin masuk ke dalam mobil. Saat kesadaran Elin telah kembali sepenuhnya, ia sudah berada di dalam mobil yang seharusnya melaju ke tujuan alamat sekolah atau bisa juga menuju entah ke mana. Elin harap dirinya tidak sedang diculik dengan sukarela, karena ia naik atas kemauan sendiri meski setengah sadar.
Suasana canggung di dalam mobil berlangsung. Mengatasi krisis ini haruskah Elin memperkenalkan diri, atau menanyakan identitas sang penolongnya―Elin memutuskan menganggapnya seperti itu untuk sekarang, atas dasar pola pikir positif berbaik sangka. “Sebelumnya, terima kasih untuk bantuannya. Aku Evelin―”
“Aku tahu.” Sambar gadis itu. Tanpa diduga ia mengeluarkan kartu nama untuk diberikan pada Elin. Pada secarik kertas itu tertulis―Resca, fotografer & reporter koran sekolah.
***
Aslinya Resca hanya seorang anggota club fotografer sekolah. Tapi club koran kerap kali meminta hasil fotonya atau bantuan saat meliput berita, hingga akhirnya Resca merangkap jadi reporter bayangan. Bagi Resca tak masalah karena ia senang menjadi yang paling tercepat tahu isu apa terjadi di lingkungan sekolah. Begitu juga dengan kepindahan Elin ke sekolahnya. Itulah alasan sebenarnya mengapa Resca mengenal dan membantu Elin.
Setelah bagai ribuan tahun perjalanan menuju sekolah, Elin akhirnya sampai di tujuan. Oke, rasanya tidak perlu dijelaskan bagaimana rupa sekolah elite swasta SOPA itu. Dari perumahan elite yang Elin lewati, bangunan sekolah ini pun jelas berada di kelas mereka―kelasnya orang elite.
“Terima kasih sekali lagi atas bantuannya... Aku sangat tertolong.” Ucap Elin tulus.
“Its okay... Aku rasa kamu harus ke ruang guru untuk melapor kepindahanmu bukan?” Resca memastikan waktu pada arloji di pergelangan tangannya.
“Benar.” Hal pertama yang harus Elin lakukan begitu sampai di sekolah adalah melapor ke ruang guru, karena belum ada informasi pada kelas mana ia ditempatkan.
“Perlu kutemani?” Resca tersenyuman tipis saat menawarkan bantuan. Berbeda dengan ketika memberi tumpangan tadi, karena rasanya Elin lebih mirip diberi perintah.
Sudah cukup merasa telah merepotkan dengan tumpangan, bagaimana bisa Elin meminta ditemani juga ke ruang guru. Mengingat ini pertemuan pertama mereka, belum ada satu jam Elin dan Resca berkenalan. “Eh tidak! Tidak apa, aku bisa mencarinya sendiri. Terima kasih atas perhatianmu.”
Sejenak Resca hanya diam mendapat penolakan Elin yang mungkin diluar prediksinya. Tidak ada reaksi atau kata balasan membuat suasana kembali canggung. “Evelin, jika boleh kusarankan. Jangan terlalu sering menggunakan kata terima kasih atau maaf. Kedua kata itu tidak ada di kamus SOPA.”
Apa yang coba disampaikan gadis di hadapannya ini pikir Elin tak mengerti.
“Ya, mungkin kau sedikit bingung saat ini tapi nanti kau akan mengerti.” Resca berlalu meninggalkan Elin, yang tampak bingung berusaha mencerna perkataan atau peringatan―Ah bukan, lebih tepat menyebutnya saran dari Resca.
***berlanjut