8. Tempat yang Hilang

1233 Kata
Elin sangat-sangat terlambat tiba di toko dari waktu yang ia janjikan pada ibu. Memang kecelakaan di jalan yang membuat macet jalanan tidak masuk dalam perhitungan Elin, arus lalu lintas yang ramai di saat weekend juga luput Elin perhitungkan. Sesampainya di toko acara pembukaan sudah berakhir, kini di dalam toko hanya tinggal pelanggan biasa tanpa tamu undangan. “Aduh El, kamu datangnya kenapa lama sekali... Tamu penting Ibu sudah pulang jadinya.” Ibu menyesalkan keterlambatan Elin di hari penting mereka. “Memang kenapa Bu?” Tanya Elin bingung. Ibu hanya meminta Elin datang tidak menjelaskan untuk bertemu seseorang. “Tentu saja Ibu ingin memperkenalkanmu! Tante Jean menunggu dan ingin sekali bertemu denganmu tapi karena mereka orang sibuk tidak bisa berlama-lama di sini.” Cepat dan padat ibu menjawab pertanyaan Elin tapi melupakan bagian terpenting. “Tante Jean itu siapa Bu?” Nama asing yang baru Elin dengar dari semua kenalan ibu. “Ah, benar. Ibu belum pernah katakan padamu ya? Tante Jean dan suaminya adalah teman lama Ayahmu. Mereka banyak membantu kita setelah Ayah tiada. Kamu tahu ‘kan orang yang membantumu masuk ke sekolah juga menolong kita membuka usaha ini?” Atau tentang yang satu ini Elin juga tidak tahu menahu, Ibu terlalu sibuk dengan perencanaan bisnis mereka jadi bisa saja ia melewatkan kesempatan menjelaskan pada Elin. Elin selama ini hanya pernah bertemu dengan sekertaris atau orang utusan yang berperan sebagai wali menggantikan Ibu yang tidak bisa mengurus kepindahan sekolah Elin. “Eng... El tidak tahu Bu, aku hanya bertemu dengan orang kepercayaan semacam ajudan?” Kata Elin polos. “Iya... Karena itu Ibu ingin kalian bertemu langsung. Aduh... Sayang sekali!” Ibu jadi gemas karena putrinya tidak seantusias dirinya. “Ooh begitu, lain kesempatan masih bisa kok Bu. Lain kali Elin pasti tepat waktu.” Kalau sejak awal ibu bicara ingin Elin datang karena akan bertemu orang penting, ia pasti juga tidak akan santai menunda waktu. Ibu sibuk mengamati anaknya. “Lalu kamu datang sendiri? Tidak ajak teman?” Ibu hanya melihat Elin datang seorang diri dengan lenggang. “Eh? Iya Bu. Mereka juga punya acara keluarga masing-masing, ini ‘kan weekend.” Yang membuat Elin terlambat salah satunya karena ia bimbang datang sendiri. Pada akhirnya ia tetap menutupi dengan kebohongan. “Ya, apa boleh buat.” Ibu memang kecewa, tapi yang terpenting acara pembukaan toko mereka berjalan lancar. Dan Elin turut senang untuk ibu, keinginan membuka toko dan karir lama ibu saat sekolah bisa terwujud. Kini Elin sudah cukup besar mengurus diri sendiri, jadi ibu bisa lebih fokus pada jati diri lamanya yang pernah dilepaskan. *** Sebelum Riga pergi pertukaran pelajar, ia bersama teman-temannya biasa berkumpul saat weekend. Meski mereka tidak membuat janji bertemu sekalipun, pasti satu tempat ini akan menjadi titik lokasi perkumpulan mereka di luar sekolah. Sampai sesaat tadi begitu apa yang dipikirkan Riga dan ia sangat yakin dengan pendapatnya. Tapi saat dia sampai di sana, di tempat yang Riga dan teman-temannya buat dan bangun bersama. Bangunan itu sudah berubah menjadi tempat lain, terlihat asing dan suasana berbeda. Tempat itu telah berganti menjadi Nature Cafe, padahal dulunya tempat ini serupa arcade games bagi Riga dan yang lain. Riga mengeluarkan ponselnya, menghubungi satu nomer yang tersimpan. “Halo, kau di mana?” Begitu menganggkat telepon langsung ditanya keberadaan, tentu membuat seorang yang menerima telepon bingung. “Ada apa?” “Ada yang ingin kubicarakan. Ayo bertemu, aku akan datang ke tempatmu.” Cara bicara Riga terdengar serius. “Tidak bisa, aku sedang bersama Mama. Hari ini aku sibuk, ada acara di luar. Bicara saja sekarang jika kau ingin, apa mendesak?” Tanyanya lagi yang masih belum mendapat jawaban dari Riga tentang alasannya menghubungi. “Eng... Yaa tidak juga. Tapi tidak lewat telepon juga Ki, aku ingin bicara langsung denganmu.” Kata Riga masih memutar ucapannya. “Ada apa? Apa masalah serius?” Iki jadi penasaran karena Riga menolak bicara di telepon. Bagi Riga ini serius, mengingat ia lama terpisah dengan teman-temannya dan rindu ingin berkumpul bersama lagi. Tapi belum tentu bagi orang lain, jadi ia ragu menjawab pertanyaan Iki. “Kita bicarakan lagi nanti. Karena kamu ada acara dengan Tante, aku tidak ingin mengganggu.” Riga memutus sambungan telepon meninggalkan Iki dengan rasa penasaran. Dua hal yang tidak Riga mengerti adalah apa karena tempat berkumpul mereka sudah menghilang maka teman-temannya tidak lagi ke sana atau, teman-temannya lebih dulu yang tidak lagi ke sana hingga tempat itu akhirnya menghilang. Seharusnya kecurigaan yang pertama tidak mungkin terjadi karena pemilik lahan dan bangunan tempat ini adalah orang tua Iki. Dan saat mereka membuat tempat itu bersama-sama, kedua orang tua Iki mengizinkan mereka untuk menggunakan tempat itu. “Aku harus bertanya pada yang lain.” Tekad Riga untuk mencari jawaban. Ia langsung bertolak ke satu tempat yang tidak jauh dari lokasinya berada. Sebenarnya rumah empat sekawan, beranggotakan Riga, Iki, Wildan dan Carol berada di lingkungan perumahan yang sama dan begitu juga dengan lokasi sekolah mereka. Dengan mengendarai motor sport, tidak butuh waktu lama untuk Riga sampai di depan rumah tujuannya. Hanya dengan memberi sinyal klakson motor, bapak penjaga rumah itu membukakan gerbang depan untuknya. Sudah sangat hafal dengan denah rumah tersebut Riga berjalan terlihat santai. Berkat wajah yang familiar dikenali penjaga depan, Riga bisa langsung berjalan masuk ke dalam rumah meski tanpa dipersilahkan. “Wil...” Panggil Riga di depan pintu kamar seraya sesekali mengetuknya. Terdengar pergerakan suara dari dalam kamar. Riga menunggu dibukakan pintu. Bagaimana pun meski Riga terlihat suka menerobos, ia tahu, sadar dan mengerti ruangan kamar tidur tetaplah area privasi bagi semua orang. Dari pemilik suara yang memanggilanya, Wildan tahu siapa tamu yang datang tanpa undangan itu. “Kau ini, setidaknya kabari aku dulu sebelum datang!” Protes Wildan saat membukakan pintu. Tidak Riga, tidak juga Iki, mereka selalu bertindak sekehendak sendiri. Kalau Carol mungkin hanya sesekali. “Untuk apa aku membuang waktu memberimu kabar saat aku yakin kau ada di rumah.” Ujar Riga. Dalam hati Wildan merutuki diri karena apa yang Riga katakan benar, ia hampir selalu berada di rumah. Saat ada acara sekali pun bila ia bisa memilih untuk tidak datang maka ia tidak akan pergi. “Untuk apa mencariku?” Tanya Wildan to the poin. “Ya ampun, lihat betapa dinginnya sikapmu pada teman lama yang baru saja kembali?!” Riga mulai berakting sedih. “Setidaknya beri aku suguhan dan bawakan yang banyak karena aku tidak punya tempat tujuan lain untuk saat ini.” Dengan kata lain Riga sudah memutuskan untuk hangout lebih lama di kamar Wildan. “Jangan berlebihan. Kau sendiri yang pulang tidak memberi kabar, muncul di depan kelasku begitu saja dan sekarang minta sambutan?” Ungkit Wildan tentang kejadian di sekolah belum lama ini. “Tapi kau sama sekali tidak terkejut saat melihatku Wil.” Rencana kejutan Riga gagal pada Wildan, itu karena Wildan sudah mendengar lebih dulu kepulangan Riga dari Iki. “By the way, apa yang sedang kau lakukan? Aahh...” Dengan cepat Riga menyesal telah bertanya, karena jawabannya sudah sangat jelas. Meski ini akhir minggu Wildan mengurung diri di kamar sibuk belajar. Yeah, Jika tidak begitu bukan Wildan namanya. Entah sudah berapa ribuan buku latihan ia habiskan untuk diisi coretan latihannya. Sebelum Wildan mendengar keritikan dan komentar Riga tentang caranya menghabiskan waktu di hari libur, sebaiknya ia pergi membawakan apa yang Riga pinta. “Aku akan bawakan apa pun yang ada di rumah, jangan protes. Atau kutendang kau keluar!” Tegas Wildan memberi ancama agar Riga tidak meminta macam-macam dan aneh-aneh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN