Omelan Yulia dan Melody terdengar di sepanjang lorong. Saat ini Tiga Serangkai tengah berada dalam salah satu kamar di klinik Marlon. Rashi sepertinya masih terlalu lemas untuk menjawab omelan mereka. Tapi ia bersumpah akan balas dendam saat sudah pulih nanti.
"Kenapa gue diinfus segala? Gimana kalau gue gendut lagi gara - gara kena infus?" Hanya itu yang Rashi lontarkan.
"Pakek protes segala! Lo barusan pingsan, Rashi! Lihat, nih, kaki gue biru - biru semua gara - gara ketimpa badan lo." Yulia melanjutkan omelannya.
"Gara - gara nahan badan lo, tangan gue juga jadi kesleo nih!" Melody memperlihatkan pergelangan tangannya yang dibalut perban.
"Sorry, deh," sesal Rashi. "Ya mana gue tahu kalau gue bakal pingsan?"
"Udah kita bilangin berkali - kali, diet lo, tuh, salah! Ngeyel, sih! Lambung lo jadi kena, kan?"
Rashi mendadak tersenyum. Jujur ia senang mendengar bahwa sekarang ia punya penyakit maag. Dengan begini, ia akan sering sakit, dan ia akan cepat menjadi kurus. Syukurlah, impiannya untuk jatuh sakit akhirnya terkabul.
"Sinting lo!" seru Yulia. Ia tahu benar apa yang sedang membuat sahabatnya tersenyum.
"Dasar, Stress!" Melody kali ini.
"Terserah gue dong. Udah pergi sana, gue mau tidur!"
"Malah ngusir lagi!"
Meskipun protes besar - besaran, toh Yulia dan Melody tetap keluar dari kamar itu. Membiarkan Rashi istirahat dengan tenang.
***
Sekitar jam tujuh malam, orang tua Rashi datang untuk melihat keadaan anak sulungnya. Diam - diam Rashi menyimpan sebuah harapan. Semoga orang tuanya akan memberi perhatian yang sama — seperti yang mereka berikan pada adik - adiknya — saat mereka sakit.
Tak apa mereka datang terlambat. Asal mereka memberi perhatian, itu sudah cukup.
Sayang, Rashi harus menelan pil pahit. Wajah Bunda, sih, terlihat lumayan khawatir. Tapi Ayah? Boro - boro! Pria itu justru terlihat geram.
"Kok bisa pingsan, sih, Mbak?" tanya Bunda.
"Ya mana Rashi tahu. Tiba - tiba burem. Pas bangun tahu-tahu udah ada di sini." Nada bicara Rashi ketus.
"Kamu pakek diet - diet segala, sih!" kesal Ayah. "Jadi nyusahin, kan? Padahal adekmu baru keluar dari rumah sakit. Belum selesai capek Ayah sama Bunda, malah gantian kamu yang sakit."
Rashi segera membuang muka, kecewa. Mereka terlambat datang. Mereka seharusnya bersikap lembut sebagai wujud penyesalan. Bukan malah berceramah dengan kata - kata aneh dan membuat suasana memanas.
Andai saja saat ini yang sakit adalah salah satu adiknya. Apa sikap mereka akan seperti ini?
Ayolah, bahkan ini sudah lama sekali semenjak terakhir kali Rashi sakit. Kenapa mereka tidak peka? Rashi juga ingin diperhatikan. Tak peduli ia sudah dewasa, ia tetap lah seorang anak. Rashi selalu dipaksa mengalah. Maka ada kalanya ia harus mendapatkan sebuah reward, bukan? Tapi apa? Tak ada yang berubah sedikit pun dari Ayah dan Bunda.
"Diet kamu yang terakhir emang terlalu ekstrem, Mbak." Bunda menambahkan.
Rashi memilih tidak menjawab. Ia sudah kehilangan mood. Menurutnya, percuma menjawab perkataan mereka. Karena semua jawaban Rashi akan tetap salah di mata mereka.
Suasana menjadi canggung karena Rashi tidak mau bicara sama sekali.
Ayah dan Bunda hafal betul sifat putri pertama mereka. Mereka tahu Rashi sedang marah. Pasti karena ia malah diomeli, padahal sedang sakit. Tapi kondisi mereka juga sedang kelelahan. Seperti yang Ayah katakan, si bungsu baru saja keluar rumah sakit empat hari yang lalu.
Rashi sebenarnya juga mengerti orang tuanya lelah. Tapi ia telanjur kehilangan kontrol diri. Perasaannya terlalu sensitif, dan ia sulit mengendalikan emosi. Bukan salahnya juga memiliki sifat lahiriah seperti itu.
"Udah malem, Ayah sama Bunda pulang aja, deh! Istirahat, biar nggak tambah capek gara - gara aku." Rashi akhirnya buka suara — lebih tepatnya — mengusir orang tuanya secara halus.
"Terus kamu sama siapa di sini?"
"Rashi udah biasa, kan, ngapa - ngapain sendiri," sindir Rashi.
Ayah dan Bunda saling berpandangan. Sejak dulu Rashi memang selalu berusaha protes dengan cara menyindir. Protes tentang dirinya yang selama ini kurang mendapatkan kasih sayang.
Saat Rashi berumur dua tahun, adik pertamanya lahir. Saat Rashi berumur tujuh tahun, adik keduanya lahir. Dan si bungsu lahir saat Rashi berusia empat belas tahun tahun.
Karena ketiga adiknya sering sakit, Ayah dan Bunda fokus merawat mereka. Saking fokusnya, mereka lupa dengan keberadaan Rashi.
Semenjak kecil, Rashi tidak lagi tidur dengan mereka. Ia bertugas menemani Nenek yang baru saja ditinggal pergi Kakek selamanya. Kamar Nenek berada di belakang, terpisah cukup jauh dengan kamar besar milik orang tuanya.
Sementara ketiga adiknya, masing - masing memiliki kesempatan untuk tidur bersama mereka dalam waktu yang lama.
Rashi sering bertengkar dengan adik - adiknya. Rashi sering dimarahi karena selalu membuat mereka menangis. Rashi sering memukul mereka tanpa sebab jelas. Padahal itu adalah pelampiasan rasa cemburu yang tak bisa Rashi ungkapkan.
Tapi seiring berjalannya waktu, Rashi sudah semakin dewasa, ia mulai bisa menerima keberadaan mereka.
Rashi mulai menyayangi mereka. Hanya saja, sikap iri dan emosi labilnya masih sering kambuh. Apalagi semenjak ia menjalankan program diet, kelabilan emosinya menjadi semakin parah.
Rashi paling kesal dengan adik keduanya, Romi. Segala hal dalam diri Romi selalu memancing kemarahan Rashi.
Romi selalu makan banyak. Bahkan piringnya sampai tak terlihat saking banyaknya. Tapi ia tak gemuk. Romi menghabiskan hidup hanya dengan makan, sakit, nge - game dan kelayaban. Romi nyaris tak pernah membantu urusan rumah apa pun itu. Anehnya, orangtuanya tak pernah marah. Merdeka sekali hidupnya!
Andai saja Rashi yang begitu. Pasti Ayah dan Bunda sudah mengomel bahkan mengatai yang tidak - tidak. Kenapa orang tuanya selalu pilih kasih?
Setelah orang tua Rashi pergi, Melody dan Yulia kembali. Mereka merasa agak canggung. Karena mereka tahu bagaimana hubungan Rashi dengan orang tuanya.
"Kalian juga pulang aja! Udah malem ini." Rashi bicara tanpa menatap mereka.
"Terus lo sama siapa?" tanya Yulia.
Rashi berdecak. "Lo pikir gue kayak lo, yang apa - apa harus ditemenin?"
Yulia mencebik karena perkataan Rashi yang nyelekit.
"Beneran nggak apa - apa kita tinggal?" Gantian Melody yang bertanya. Bukannya meragukan keberanian Rashi, Melody tahu betul Rashi bukan tipe gadis manja dan penakut. Hanya saja, rasanya kurang baik meninggalkan seorang pasien sendirian.
"Iya, Dy. Udah sana! Keburu tambah malem ntar," tegas Rashi.
Kini hanya tersisa Rashi sendiri. Sejujurnya ia meminta Yulia dan Melody pergi, agar ia bisa melampiaskan rasa kecewa dengan leluasa.
Entah karena terlalu sensitif, atau karena penyakit iri hati stadium akhirnya. Ia belum bisa menerima sepenuhnya bahwa ia adalah anak pertama. Yang sekali lagi, memang dipaksa menjadi dewasa meski tak mau.
Seorang anak pertama, yang harus siap melindungi saudara - saudaranya. Juga harus rela mengalah karena paling tua.
Tapi Rashi sama sekali bukan kakak yang seperti itu. Ia sering ngomel. Sering protes. Sering membuat adik - adiknya menangis. Sering membuat orangtuanya sedih.
Belum lagi komentar - komentar negatif dari mereka para setan yang selalu membuat Rashi kesal. Rashi sudah tahu ia gendut. Rashi punya kaca, dan ia juga tidak buta.
Rashi sudah tahu ia butuh diet. Dan ia sedang menjalaninya dengan sepenuh hati.
Asal mereka tahu saja, diet itu sulit. Sulit sekali. Tapi mereka tak pernah kehilangan ide untuk mengatakan hal - hal menyakitkan, yang membuat Rashi semakin merasa buruk.
Apa ia menyerah saja?
Tak terasa air mata Rashi menetes. 'Tuhan, sekarang hamba sudah tua. Tapi tetep aja cengeng begini! Mungkin emang bener hamba harus segera menemukan calon pasangan hidup. Sehingga hamba bisa cepat pergi dari. Menemukan suasana baru yang mungkin akan memperbaiki kondisi hati dan emosi hamba. Dengan begitu, mungkin ada harapan hamba berubah menjadi manusia yang lebih baik.'
Rashi memikirkan bagaimana jika ia menerima cinta Saipul? Saipul adalah cowok tambun yang sudah lama tergila - gila padanya. Ia tak pernah menyerah meskipun Rashi selalu menolak dalam kurun waktu empat tahun ini.
Jadi, cinta Saipul sudah teruji dan terbukti kuat. Tak diragukan lagi.
Rashi menggeleng kasar. 'NGGAK! Bego! Gue nggak boleh nyerah! Gue harus tetep semangat diet. Gue cuman perlu sedikit lebih sabar. Kurus adalah jalan gue menuju kebahagiaan. Gue harus fokus berusaha dapetin cinta Xavier — sumber kebahagiaan gue. Saat gue udah bersama Xavier, gue bakal pergi dari rumah. Ninggalin segala kepahitan di sana!'
***
TBC