12 | Ngusirin Pelakor

2167 Kata
HAL yang baru Denta ketahui adalah ada pohon mangga di halaman belakang rumah. Padahal sudah sebulan lebih ia berada di sini. Gadis yang sudah mengganti hoodie pink-nya menjadi daster bergambar barbie berlengan pendek itu. Matanya berbinar, begitu juga senyumnya mengembang. Mungkin sebagian dari mereka menganggap dirinya lebay. Tapi bagi Denta pribadi, melihat pohon mangga lebih menggiurkan dibanding memandangi Gasta waktu lagi keringatan. Matanya melirik kanan kiri, mencari galah namun tidak menemukan. Habis akal, dirinya mengambil sendal lalu melompat dengan harapan agar buah itu jatuh. Sayangnya, bukan mangga yang jatuh namun sandal itu mendarat tepat di kepalanya. “Set*n! Sakit, Gobl*k.” Denta Tidak jauh darinya, Gasta yang tadi sempat ke toilet untuk cuci muka jadi tertawa geli. Tanpa berpikir panjang, dia jadi melangkah menghampiri cewek yang kini sibuk mengumpati sandal jepitnya. “Lo mau mangga?” Denta menoleh, berhenti mengusap kepala lalumendecih pelan. Memang, sejak kembali dari taman tadi, Gasta belum juga pulang. Padahal, ini sudah jam setengah enam sore, hampir malam. “Mau nggak?” tanya Gasta lagi gemas tidak mendapat jawaban. “Lo mikirlah! Udah tau gue di sini, berarti gue lagi mau manga! Gitu aja pakai nanya,” balas Denta sewot. “Basa-basi lo, basi tau nggak!” Gasta mencibir pelan. Tak merespon, takut jadi emosi sendiri dan memilih untuk melangkah ke arah pohon mangga tidak jauh dari tempatnya berdiri. Gasta mulai merangkak naik ke pohon mangga. Denta ternganga. Tak menyangka kalau Gasta bisa memanjat pohon semudah itu. Lihat saja, dia bahkan sudah berada di atas tanpa ada embel-embel kepleset. Denta jadi iri. Dia bukannya tidak bisa, tapi dia trauma pernah jatuh dari pohon nangka waktu kecil. Sampai kakinya keseleo dan tidak bisa jalan selama hampir satu minggu. “Mau yang mana?” seru Gasta dari atas pohon “Itu, Gas, di sebelah kanan lo. Gede banget. Sama itu tuh! Yang ada di kiri lo juga nggak kalah gede,” tunjuknya langsung heboh seketika. “Tangkap ya!” “Tangkap pakai apa?” “Tanganlah!” sahut Gasta sewot. “Kalau jatuh gimana? Terus buahnya jadi nggak bagus lagi,” sahut Denta. Gasta melengos. “Pakai aja daster lo!” Rasanya Denta ingin menjambak rambut cowok itu. Lihat sendiri kan, kalau ngomong nggak pernah di pikir dulu. Main asal nyeblak aja. “Cepat!” omel Gasta. “Cih, lo mau modus ya? Biar bisa lihat daleman gue?” teriak Denta kesal. Gasta mendecak. “Lo nggak pakai celana pendek?” “Y-ya pakai sih.” “Ya udah, buruan!” gerutu cowok itu. Meski dongkol, Denta tetap menurut saja. Gadis itu mulai menggulung dasternya ke atas, untuk menangkap mangga, agar tidak sampai jatuh ke tanah. “Tangkap ya!” teriak Gasta. Pemuda itu mulai mengambil buah mangga. Memetiknya satu persatu. Sementara Denta berjaga-jaga dibawah, sambil menunggu lemparan mangga dari Gasta. Keduanya terlihat kompak sekali. “Lo mau bikin pala gue benjol?” “Gasta, lo mau mati?” “Kepala gue sakit, B*go!” Memang tak jarang Denta akan mengomel panjang lebar, karena ada beberapa buah mangga yang jatuhnya itu meleset. Bukan ke dasternya, tapi justru mengenai kepalanya. “Udah banyak, Gas. Turun lo!” Ucapan Denta sama sekali tidak digubris cowok itu. Gasta malah memetik satu buah mangga yang agak kuning langsung memakannya setelah kulitnya dikupas dengan gigi. Denta menelan ludah, tergiur sendiri. *** “Lo beneran sakit?” tanya Denta menghampiri Gasta yang kini sudah berada di ruang tengah seraya menyodorkan potongan mangga di piring kecil. Gasta menoleh, memandang gadis itu dengan kening berkerut. “Mending lo pulang sana!” omel Denta membuat Gasta mendelik kecil. “Gue nemenin lo,” balas Gasta serak. “Lo pikir gue nggak berani di rumah sendirian? Lagian, Vero bentar lagi juga pulang kok,” katanya sensi. “Nggak mau.” “Cih! Sini! Gue cek dulu, demam lo udah turun belum!” perintahnya membuat Gasta spontan mendekat. Denta terlihat mengembus napas panjang, ketika usai mengecek kening pemuda itu. Badan Gasta bukan hangat lagi, tapi malah panas sekarang. Pantas saja, wajahnya agak kalem, tidak menyebalkan seperti tadi sore. “Mau gue kompres nggak? Gue punya plester demam,” tanyanya masih dengan nada jutek. Sesaat Gasta tak menjawab. Justru menatap gadis itu, membuat Denta merasa jengah dan agak menggerakan bola mata tak menatap Gasta tepat. Gasta mengerjap, masih belum juga mengalihkan dari sepasang bola mata kecoklatan milik Denta. “Boleh.” Pemuda itu menjawab pelan. Gasta terbatuk pelan sekali, kemudian menghela napas, saat melihat Denta pergi untuk mengambil plester demam dari lantai dua. “Sini lo!” kata Denta jutek. Gasta mencibir pelan, langsung mendekat sesuai perintah. Sementara Denta mengambil napas sebentar, mencoba untuk menguasai diri. Gadis itu berdehem pelan, sibuk melepas plester demam dari kertasnya. Gasta meneguk ludah, memperhatikan gadis itu. “Pengen di peluk!” pinta Gasta serak. Spontan Denta menendang kaki Gasta, berhasil membuat cowok itu berteriak kesakitan. Denta langsung mengamuk lagi, memukuli Gasta dengan tinjuan kecilnya dan beberapa kali mendorong-dorong cowok itu sebal. “Lo tuh kebanyakan gaul sama Alex sama Nugraha ya! Jadinya gini bentukannya!” “Nta, ampun sakit!” Gadis itu menghentikan pukulannya tepat sesaat ponsel Gasta di atas meja bergetar . Gasta melengos, namun pemuda tampan itu membelalak saat satu nama muncul.“Lavina?” tanya Denta langsung sewot sendiri. “Anak baru di sekolah gue,” sahut Gasta pelan. “Angkat! Gue pengen tau siapa tuh cewek!” perintah Denta jutek. Dengan alis terangkat, Gasta meraih ponsel dengan ragu. Pemuda itu mulai menggeser tombol hijau, lalu menempelkan ponsel pada telinga. “Apa?” Gasta mulai membuka suara dengan nada datar. “Ih, Gas! Lo di mana sih? Kenapa chat gue nggak ada yang lo balas sama sekali. Lo sesibuk itu?” cerocos cewek di seberang sana. Gasta merutuk. Dia melirik Denta yang kini memasang ekspresi sangar andalannya. Bahkan, dagunya sudah terangkat naik dengan tangan yang menyilang di depan d**a, angkuh. “Lo siapa?” sahut Gasta dingin. “Loh, gimana sih? Gue ini Lavina. Lo nggak lupa, kan? Gue murid baru di kelasnya Dira.” “Gue nggak kenal lo,” sinis Gasta lalu mendelik saat Denta memandanginya dengan sengak sekarang. “Lo lupa? Semalam kita chatting-an Gas. Lo bahkan perhatian banget sama gue. Nanyain udah makan belum. Kok lo gini sih?” Sahutan itu, sukses membuat Gasta membelalak. Sejak kapan? Bibir Denta menipis kesal. Gigi-gigi putihnya saling bergemelatuk menahan geram luar biasa. Dengan spontan, dia menabok pundak Gasta, membuat cowok itu memekik kaget. “Pacar lo?” tanyanya sinis. Gasta menggeleng panik. “Ng-nggak, sumpah! G-gue aja nggak tau kenapa dia ngomong gini,” balasnya gugup. Denta memicingkan mata seolah tak percaya. “Terus, kenapa dia bisa pede ngomong gitu?” “Semalam Nugraha ke rumah. Kayaknya dia yang chat Lavina pakai hp gue,” katanya yakin. Demi Tuhan, kalau ketemu Nugraha, Gasta nggak akan mikir dua kali buat botakin kepalanya. Awas saja kalau Denta sampai salah paham dan makin susah buat maafin dia! “Gas! Halo! Lo masih di situ kan?” Suara Lavina masih terdengar, protes karena diabaikan. Sementara Denta sontak merampas ponsel Gasta “Sorry, mbaknya ini siapa ya?” kata Denta ketus, membuat Gasta tertawa pelan. “Eh, lo yang siapa? Kok hp Gasta jadi ada di lo, sih? Gastanya mana?” “Gue pacarnya. Gasta ada kok Mbak, lagi tidur di pangkuan gue. Anaknya sakit demam. Manja banget, minta gue pukpuk biar bisa tidur,” katanya sensi. “L-lo Denta?” “Iya, lo mau apa?” tanya Denta menantang. “Nggak kok.” Denta berdecih. Sedangkan Gasta tersenyum puas saat gadis itu berhasil membuat Lavina mati kutu. Kadang Gasta agak heran dengagn Lavina, sebenarnya gadis itu punya masalah hidup apa sampai harus mengganggunya? “Mbak, tolong ya punya harga diri dikit! Gasta udah punya pacar, nggak usah digatelin kenapa, sih? Lo belum pernah lihat macan ngamuk ya?” Gasta tertegun. Diam-diam pipinya bersemu memerah karena malu dengan penuturan Denta barusan. Jantungnya berdebar-debar sekarang. “H-hah?” “Mau gue bantai di sekolah lo? Gue mah sering banget kalau baku hantam sama orang. Udah lama juga nggak baku hantam lagi. Mau duel sama gue?” “S-sorry! Gue nggak maksud gatelin Gasta kok.” “Halah. Lo kira gue sebego itu? Awas aja lo ya, kalau hubungin cowok gue lagi! Habis lo!” ancam Denta dengan suaranya yang tinggi. Denta langsung melemparkan ponsel ke arah Gasta, sesaat panggilan diputus sepihak olehnya. Wajah Denta masih seperti tadi, datar dan keruh sekali. Membuat Gasta diam-diam jadi menciut berhadapan dengan gadis titisan harimau ini. “Itu Lavina. Anak baru di kelas Dira. Gue nggak kenal dia, sumpah!” kata pemuda itu dengan serak. Raut wajah Denta berubah, menjadi dingin. “Kalau nggak kenal, kok lo bisa tau, kalau nama dia Lavina?” “Alex yang bilang,” sahutnya cepat. “Terus, kenapa lo repot-repot jelasin ini gue? Gue nggak nanya tadi,” sahut Denta, sebal. Gasta menipiskan bibir, jadi terdiam. Cowok itu mencoba mengumpulkan keyakinan untuk menjelaskan. Kata Alex, kalau cewek bilang nggak apa, pasti ada apa-apa. Berarti, kalau gadis ini bilang nggak nanya, berarti dia ada niatan untuk tanya, walau gengsi. “Gue nggak mau lo salah paham,” kata Gasta lirih, membuat Denta membeku. “Serius! Gue nggak ada apa-apa sama Lavina,” katanya sungguh-sungguh. Denta terdiam. Tidak menyahut sama sekali. Ruangan seketika hening. Hanya ada dua remaja yang saling diam, hanya melempar tatap. Sampai denting ponsel berulang kali, tanda notifikasi masuk membuat Gasta tersentak. Pemuda itu menoleh, membulatkan mata, melihat banyak sekali chat masuk. Vira, Nisa, Elsa, Giya, dan masih banyak lagi. Mendadak kepala pemuda itu semakin pusing, masih berpikir keras, siapa gerangan yang masukin kontak-kontak cewek ini ke ponselnya? Nugraha? Alex? Leo? Demi Tuhan, dirinya sama sekali tak pernah merasa kenal dengan mereka semua. Bahkan, seingat Gasta, kontaknya hanya ada Karrel, Azka, dan Dira beserta gengnya. Gasta tertegun, melirik takut ke Denta melirik chat yang masuk di ponsel. “Nta, sumpah! Gue nggak kenal siapa mereka,” kata Gasta memelas, sambil memegang tangan Denta. “Apa sih lo?” semprot Denta galak. “Ini kerjaan anak-anak, bukan gue. Serius, gue nggak bohong,” katanya lagi, dengan raut wajah panik. “Halah, alasan.” Denta memutar bola matanya jadi jengah. “Nggak. Percaya sama gue!” “Nggak mau. Lo kan tukang bohong.” “Gue nggak bohong, Nta.” Denta mendengkus. “Bodo amat, gue nggak peduli,” katanya sambil mengibas rambut dengan tangan. Gasta menarik napas, mengembusnya perlahan. Wajahnya memias, memaksa dirinya untuk berani menatap gadis itu lagi. “Please, percaya gue!” Denta terpaku. Gadis itu menggigit ujung bibir. Berusaha menekan egonya dan menguasai perasaannya sendiri. Dia menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. Gadis itu menelan ludah, sebelumi menatap Gasta. “Mana hp lo? Sini!” Gasta tersentak. Mengerjapkan mata tidak paham tapi langsung menyodorkan ponsel. “Kenapa?” “Biar gue urus cewek-cewek kecentilan itu. Katanya lo nggak kenal mereka, kan? Ya udah, biar gue yang hadapin.”Gasta tersentak. Matanya membelalak sampai mulutnya terbuka kecil, tidak percaya. Dadanya membuncah, agak menegakkan tubuh, condong ke arah Denta. “Benar?” tanyanya tak percaya. Denta berdecih. “Menurut lo?” Gasta menipiskan bibir lebih merapat pada gadis itu. Jantungnya jadi berdebar. Kepalanya terasa panas dan mengepul sekarang karena ternyata, fans Gasta banyak sekali. Membuat kepalanya pening. Denta nyaris membanting ponsel di tangannya, menoleh sinis pada Gasta seolah alarm sinyal tanda bahaya sudah berbunyi. Pemuda itu terlonjak kecil, dengan ekspresi gugup. Hampir satu jam, Denta masih terus berkutat dengan ponsel. Raut wajahnya begitu serius dengan alis menukik tajam. Tidak jarang, dia akan berdecak dengan mulut komat-kamit sebal. Apalagi, beberapa kali dipergoki cewek yang terang-terangan mengibarkan bendera perang kepadanya. Kalau Denta sih, ayo sajadisuruh. Toh, ini menjadi hobinya sejak dulu. Denta kadang juga bingung, mengapa setiap kali baku hantam selalu menang? Apa mungkin, gara-gara tangannya panjang dan kuku-kukunya tajam kali ya? Sampai membuat semua orang yang ber-duel dengannya pasti menjerit memohon ampun. Denta kembali fokus pada ponselnya. Sampai dirinya tidak sadar, jika Gasta sudah benar-benar tertidur lelap di pangkuannya. Tadi sebelum cowok itu tidur, Gasta sempat merengek, katanya kepalanya pusing dan berhasil membuat Denta mau tidak mau memijiti, walau sempat adu mulut lebih dulu. Mulai lelah, Denta meletakkan ponsel di sofa. Tentunya setelah memblokir semua kontak para gadis centil itu. Denta melengos, kemudian tersentak saat dirinya sadar, bahwa Gasta sudah tertidur nyenyak, dengan posisi kepala menghadap perut Denta. Gadis itu semakin mendelik, ketika baru tau, bahwa tangan Gasta sudah memeluk pinggangnya entah sejak kapan, membuat jantung Denta jadi berdebar-debar. Dengkuran halus keluar dari mulut pemuda itu, membuat Denta langsung tersenyum tipis. Sedikit canggung, Denta merapikan rambut pemuda itu. Menariknya ke atas, agar dia leluasa mengecek suhunya. Tidak berubah, masih panas. Denta masih memandangi wajah Gasta lamat-lamat. Sangat polos, layaknya bayi. Berbeda sekali dengan saat dalam posisi sadar. Pasti nyeremin, garang dan menakutkan. Siapa coba orang yang tidak tunduk kalau berhadapan dengan bos geng yang terkenal kejam ini? Dari sorot mata dan alisnya saja, semua orang langsung bergidik ngeri. Denta terkekeh pelan, mendekat ke telinga pemuda itu. “At least, i really falling in love with you, Alvredo!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN