LAVINA Danishwara, gadis imut berambut bob itu terlihat duduk di motor matic biru milik salah satu murid SMA Dharma Wijaya. Bukan tanpa sebab ia masih di sini, tentunya ia memiliki janji dengan Quinsha. Ya, anak kelas sebelas yang menjadi partner-nya di ekskul jurnalistik.
Lavina mengangkat alis, melihat motor ninja putih milik Gasta baru saja memasuki halaman megah sekolah. Senyum gadis itu perlahan mengembang, saat motor itu berhasil melewatinya. Lavina berdehem, merapikan diri. Saat sadar, Gasta sudah turun dari motor. Secepat mungkin, ia mengekori.
“Aw!”
Fix, ini drama lama yang coba dipakai Lavina, dengan menabrakkan diri ke punggung Gasta. Membuat pemuda tampan itu menoleh. Lavina melebarkan tidak percaya. “Eh, Gasta kan? Sorry ya!”
Gasta melengos keras, kembali melangkah menyusuri koridor dengan tenang.
“Si*l!” umpat Lavina. Jantungnya seakan mencelos, saat melihat Gasta mengabaikannya.
Lavina menarik napas panjang. “Sabar Lav dan semangat!”
Gadis itu kembali berlari mengejar Gasta dan menarik lengan cowok itu.
“Lo apaan sih?” sentak Gasta langsung marah.
“Gasta!” sapa Lavina sok akrab. Gasta refleks mendelik, memilih tidak menjawab, menunggu gadis itu kembali bersuara. “Lo temennya Dira kan? Nanti sore lo ke rumah sakit nggak? Kalau iya, kebetulan nanti sore gue sama yang lain juga ke sana.”
Lavina berdehem, mencoba untuk tidak menciut saat Gasta menatapnya tajam. “Tapi gue nggak bawa motor. Boleh nggak kalau gue nebeng?”
Gasta mendesah. “Lo siapa berani nyapa gue?”
Jantung Lavina mencelos, mendengar jawaban Gasta.
“Nama gue Lavina. Murid baru di sekolah,” serunya sambil mencoba untuk tersenyum. “Gue temennya Dira sama yang lain juga. Kata Dira entar sore lo mau ke rumah sakit. Makanya itu gue mau minta tolong. Boleh ya, kalau gue mau nebeng lo?” sambungnya semangat.
Gasta melengos, sudah tidak bisa menahan emosi. Pemuda berahang tegas itu melipat kedua tangan di depan d**a, menatap Lavina dingin.
“Denger ya!” ujar pemuda itu.
“Apa?” tanya Lavina, sambil menyelip kan rambut di belakang telinga.
“Gue nggak suka boncengin cewek, selain cewek gue,” katanya dingin. Gasta mengalihkan wajah, mendengkus keras. “dan satu lagi, nggak usah centil!”
***
UDARA panas dan pengap, menjadi background latihan cheerleaders sore itu di lapangan indoor SMA Sevit. Meski rasanya panas, namun hujan lebat mengguyur sejak setengah jam yang lalu. Sang kapten, tak lelah meneriakan aba-aba.
“Ready? Go!” pekik Tsabita lantang, pada setiap awal gerakan.
Lagu bergenre k-pop, terdengar memenuhi lapangan indoor. Pas sekali dengan hentakan tubuh mereka yang bergerak mengikuti irama. Tanpa letih, tubuh langsing mereka mengabaikan keringat yang mengalir di dahi. Tim pemandu sorak dari SMA Sevit, bisa dibilang sebuah tim pro cheers yang memiliki kualitas dan teknik mumpuni untuk disebut sebagai tim cheers terbaik di Jakarta. Tentu saja kata terbaik yang disandang mereka, memiliki serentetan pemain yang bergelut di dunia cheers sejak lama.
“Denta, ekspresi kamu itu, loh!” teriak Bu Arella--sang pelatih, dari pinggir lapangan. “Jadi flyer, senyum manisnya dikeluarin dong, Denta! Gimana mau menang kompetisi coba, kalau kamunya aja nggak senyum?”
“Iya, Bu!” Denta menyahut pelan, meski dongkol karena diomeli.
Memang sejak hari kedua menjadi murid baru di SMA Sevit, gadis itu ditawari Tsabita untuk bergabung. Meski sudah kelas dua belas, nyatanya di SMA Sevit, semua muridnya tetap dibebaskan mengikuti ekskul.
Minggu pertama Denta di SMA Sevit memang berjalan mulus bagaikan permukaan aspal lintasan balap F1. Mungkin hanya beberapa kerikil-kerikil kecil penggangu yang sebenarnya tidak masalah meski diinjak. Yang jadi masalah, kalau nginjaknya pakai highheels. Misalnya saja, banyak siswi-siswi di SMA Sevit yang begitu iri padanya, karena dia anak baru tapi sudah bisa masuk ke kelas 12 IPS 3 yang dijuluki markasnya pangeran. Apalagi, siswi-siswi kelas 12 IPS 5 yang menjadi permaisuri 12 IPS 3.
“Nta, udah siap?” tanya Hauri, selaku base.
“Oke, gue siap. Ayo!” jawab Denta begitu semangat.
“One, two, three, four ....” Suara pemandu cheers lain yang sangat nyaring, membuat Denta lebih semangat untuk menunjukkan aksinya kali ini.
Beberapa detik kemudian, cewek itu merasakan sensasi melayang karena badannya diangkat oleh dua anggota selaku base. Setelah badannya seimbang dan bisa menyesuaikan diri, dia mulai melakukan arabesque. Berdiri dengan satu kaki, sedang kaki satunya di arahkan ke belakang. Sehingga badan dan kaki membentuk seperti huruf L dan tangan membentuk T. Sementara anggota yang bukan base, melakukan gerakan meroda ke samping. Menakjubkan.
Jujur saja, Denta sebenarnya bingung. Dirinya itu memiliki tinggi tubuh menjulang, tapi Bu Arella justru memilihnya menjadi flyer utama. Beruntung dia cepat belajar.
“Ingat, fokus sama percaya diri aja!” pekik Tsabita, saat dia merasa anak-anak cheers agak terganggu saat tim basket memantau mereka dari lapangan sebelah utara.
“Anak basket ganteng-ganteng abis sih, bikin gue gugup aja. Gue kan malu dilihatin begini,” oceh Nafa, sambil melakukan split.
“Di kompetisi, yang lihatin kita bukan cuma anak basket. Tapi banyak lagi. Pede aja, sih.” Tsabita menyahut.
Sebagai seorang kapten, Tsabita tidak memiliki trik khusus agar tim tetap kompak. Dia bersikap netral, modal utama untuk menjaga kestabilan pertemanan di dalam timnya. Saat anggota cheerleaders mulai membentuk formasi piramida dengan Denta menjadi flyer--berdiri di atas, gadis itu tersentak saat Aryan yang tengah bermain basket melemparkan senyum ke arahnya.
Denta mengerjap pelan, lalu mendelik. Itu cowok kena gangguan jiwa kali ya?
Di sudut lapangan lain, Aryan masih tersenyum memandangi salah satu anggota cheers, hingga akhirnya ia sadar bahwa bukan hanya dia saja yang memandangi tapi para anggota basket lain, termasuk Naufan sang kapten.
“Woi!” seru Aryan, membuat para temannya mengerjap tersadar. “Latihan elah, ngapain malah nonton anak cheers.”
Beberapa mengumpat, karena Aryan terlihat tidak ngaca sebelum bicara. “Itu yang namanya Dante, kan?” tanya salah satu anggota basket dari kelas 12 IPS 5, sambil menunjuk cewek cantik yang berputar di udara.
“Denta woi! Kalau yang namanya Dante mah Pak Ketos,” balas Aryan sebal, membuat cowok berwajah bule itu mendelik.
“Kenalin dong! Gue mau minta nomor HP-nya,” desak cowok itu.
Aryan mendelik. “Cih, najis banget sih lo? Udah punya Monik juga.”
***
DENTA mendongak, menatap langit yang belum mau menghentikan hujannya sejak tadi. Gadis itu mengembungkan pipinya yang bulat, berjongkok di gazebo sekolah, sendirian. Samar-samar, suara tawanya pada Oktober sore itu, kembali dalam ingatan.
Ia berhasil mendorong pemuda itu dibawah derasan hujan, lalu pemuda itu kembali menariknya, tak mau kalah. Sampai ada adegan di mana dia memeluknya, mengangkat tubuh Denta tinggi-tinggi tanpa sadar. Memori Denta seakan bergerak, menjadi lensa kamera pada kejadian-kejadian setengah tahun yang lalu.
Tidak disangka bahwa pemuda itulah menjadi patah hati terhebatnya.
“Ngapain lo jongkok di sini? Nggak mau pulang?” tanya Aryan.
Denta melongo, melihat Aryan memayungi tubuhnya dengan jaket. “Nggak lihat lo, kalau lagi hujan?”
Cowok itu merapatkan bibir, salah tingkah. “Bawa kendaraan?”
“Nggak. Mobil gue lagi dipakai sama Mama. Gue naik gojek,” balasnya.
“Ya udah, bareng gue aja. Mumpung gue bawa mobil,” seru Aryanmenarik tangan Denta. Denta mengangkat alis, memandangi Aryan. Belum sempat menjawab, dentingan ponsel membuat cewek itu tersentak, buru-buru meronggoh ponsel dari saku kemeja.
Karrel
Lo nggak niat datang ke rumah sakit? Nyokapnya Gista sakit. Apa perlu, gue jemput di sekolah lo?
Itulah sederet pesan yang dikirim Karrel kepadanya. Membuat kening Denta mengerut sebentar, sebelum akhirnya memilih untuk membalas.
Denta
Rel, gue belum siap.
Karrel
Kapan lagi nunggu lo siap Nta? Kalau lo nggak mau ketemu Gasta gue sih masih anggep wajar. Lah ini, sahabat lo lagi terpuruk, masa lo nggak datang sih? Gue nggak pernah ya, ngajarin lo jadi pecundang gin
Denta
Ya udah
Karrel
Mau gue jemput?
Denta
Jangan! Gue nggak mau kalau cewek lo tau, terus nganggep kita ada apa-apa. Gue bisa sendiri.
Karrel
Oke, alamatnya nanti gue share.
Denta
Thanks
“Woi gimana? Balik bareng gue?” seru Aryan membuat Denta mengumpat karena kaget.
“Nggak deh. Gue mau ke rumah sakit dulu soalnya,” sahutnya.
“Ya udah, sama gue aja! Gue anter.”
“Eh?” Denta melirik cowok itu dengan bingung.
“Udah sih, ayo!”
Cowok itu mulai menarik tangan kanan Denta, berlari bersama menyusuri hujan dengan payung hitamnya. Gadis itu terdiam. Dejavu, seingatnya dulu dia juga pernah melakukan hal ini dengan seseorang yang kini hanya tinggal kenangan. Denta tersenyum kecut.
Lo sendiri apa kabar Gas? Apa lo makan teratur waktu gue pergi?
Ingat pertemuannya terakhir kali dengan Gasta di Gotta Go Kafe. Denta masih terlalu ragu untuk bertanya. Dia hanya takut, jika nanti akan ada realita menyakitkan yang tidak siap didengarnya. Contohnya saja jika Gasta berpacaran dengan Melody atau gadis lain.
Tetesan air hujan kembali semakin deras, membuat keduanya segera mempercepat lari. Aryan secara naluri menyodorkan payungnya condong ke arah Denta. Melindungi kepala gadis itu.
***