Kesempatan

1540 Kata
“Emang kamu rela kalau aku ke ibu kota?” Harumi balik bertanya pada Mika. “Aku sih tidak menghalangi kamu kalau kamu mau ke ibu kota, biar sahabat aku ini gajinya bertambah dan jabatannya naik,” ujar Mika sambil tersenyum lebar. “Uhhhh… so sweet, makasih banget… tapi bukan aku kok yang dipinta Ibu Jamal untuk ke ibu kota, ada kak Indri yang satunya,” sebut Harumi. Perkataan Harumi tadi membuat Mika ingin member jitakan di kepala Haruim saat itu juga. “Astaga aku jadi pengen HIIH! In kamu,” geram Mika dengan gemasnya ia mengepalkan tangannya. “Gemesin aku ya… kan…” celetuk Harumi dengan kekehan. Tidak lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumah kontrakan mereka dan ternyata itu mobil Reina yang mengantar Yuuna pulang. Yuuna membuka sabuk pengamannya. “Makasih Rei untuk semuanya, maaf aku tidak bisa membalas kamu dengan yang sama,” ucap Yuuna. “Hey! Jangan begitu aku ini sahabatmu ok! Jadi apapun yang kamu butuhkan nanti kasih tau aku  akan akan jadi yang terdepan,” seru Reina dengan bangga. Yuuna terkekeh dengan tingkah Reina yang menggemaskan itu. “Ok, aku masuk dulu, selamat-/” baru saja Yuuna akan membuka pintu mobil untuk keluar, Reina malah kembali mencekalnya dan menghentikannya. “Ehehe… maaf aku mau ngasih ini, ini tadi aku liat lucu dan aku pikir kalau kamu pakai ini sambil main biola nanti pasti bakal keren dan pas, terima! Aku tidak menerima penolakan!” titah Reina dengan tegas dan wajah yang menunjukkan ia akan marah jika Yuuna menolak pemberiannya lagi. Yuuna menghelak nafas berat dan ia menerima paper bag yang Reina sodorkan padanya. “Terimakasih Rei galak Na…” ucap Yuuna kemudian ia keluar dengan membawa paper bag belanjaan yang dibelikan Reina tadi. “Hey! Yuuna nyebelin Jovanka!” teriak Reina dari dalam mobil, dan Yuuna yang mendengarnya hanya tertawa dari tempat ia berdiri. “Da… Hati-hati!” ucap Yuuna sambil melambaikan tangannya setelah mobil yang Reina kendarai pergi dari depan rumahnya. Yuuna masuk ke pagar rumah dan melewati halaman rumahnya dan terlihat jika Mika dan juga Harumi dari tadi memperhatikan interaksi Yuuna dan Reina. Yuuna tidak terlihat sekaku biasanya bersikap. “Aaaa… aku jadi ingin punya teman seperti Reina yang mengenggemaskan dan baik hati,” celetuk Harumi, dan mendapatkan jitakan di kepalanya dari Mika. “Maksudmu aku ini jahat!? Hah?!” marah Mika pada Harumi yang sedang mengaduh kesakitan di kepalanya sehabis diberi jitakan oleh Mika. Yuuna yang melihat pertengkaran kedua teman satu rumahnya itu pun hanya geleng-geleng kepala. “Kalian kenapa ada di luar? Di luar dingin nanti masuk angin,” tegur Yuuna kapada keduanya. “Ini bocah menunggumu dari tadi sore, sudah tau kamu pergi bersama Reina dia malah mondar mandir dan duduk di teras seperti seseorang yang sedang menunggu paketnya datang,” jelas Mika pada Yuuna. Yuuna tertawa karena penjelasan dari Mika tadi. “Ada yang ingin kamu bicarakan padakukan? Apa ada sesuatu yang terjadi?” tebak Yuuna. Tebakan Yuuna memang tepat jika Harumi ingin berbicara pada Yuuna dan sangat tidak sabaran karena bos mereka sudah memperingatkan, “tolong kabari secepatnya jawaban Yuuna pada Ibu ya Rumi,” begitu katanya tentu saja Harumi jadi kepikiran dan ia memilih untuk menunggu Yuuna dari pada ia lalai dan lupa akan pesan dari bos mereka. “Kamu benar, maka dari itu aku menunggumu dari tadi,” kata Harumi. “Maafkan aku jadi bikin kamu menunggu begini, kalau begitu kita masuk dulu dan makan, tadi aku beli malam untuk kita,” ujar Yuuna, ia merasa bersalah pada Harumi karena menunggunya begitu lama sedangkan ia sibuk berbelanja. “Ayo Rum… jangan ngeyel Yuuna udah pulang,” ejek Mika pada Harumi, ia tahu Harumi ingin menjelaskan apa yang membuat ia menunggu Yuuna begitu. Maka dari itu Mika lebih dulu menyela untuk mengajak masuk Harumi karena Yuuna sendiri menyuruh mereka untuk masuk dan makan malam terlebih dahulu. Setelah mereka makan makanan yang Yuuna bawa, Harumi mengajak Yuuna untuk duduk di ruang tengah untuk membicarakan yang bos mereka pesannya pada Harumi untuk Yuuna. Yuuna saat ini sedang duduk bersama dengan Harumi di ruang tengah kontrakan mereka. “Jadi apa yang membuat kamu nunggu aku tadi?” tanya Yuuna lebih dulu membuka pembicaraan. Harumi menatap Yuuna lekat. “Kamu direcomendasikan sama Ibu Jamal untuk ke IBU KOTA YUUNA…” tutur Yuuna dengan semangat, ia tentu saja bahagia karena temannya akan mendapatkan tempat baru. Tapi berikutny ia juga murung. “Tapi nanti kita akan berpisah juga,” ujar Harumi dengan wajah sedihnya. Yuuna mendengar penuturan Harumi tadi tentu terkejut dan membulatkan matanya dengan mulut menganga lucu. “Kam-kamu serius?” tanya Yuuna tidak percaya. Ia bingung rasa ingin  bersedih dan juga bahagia akhirnya ia ada alasan untuk pergi dari kota ini. Tapi di sisi lain ia sedih karena harus meninggalkan rekan-rekan kerjanya yang sudah sangat banyak membantunya dan juga seorang teman yang sudah menolongnya untuk bangkit dari keterpurukannya. Terlihat Harumi menganggukkan kepalanya mengatakan iya untuk pertanyaan Yuuna tadi. “Kapan Ibu Jamal mengatakannya?” tanya Yuuna lagi, kali ini dengan wajah penasarannya. Ia ingin mengetahui kenapa tiba-tiba sekali Ibu Jamal merecomendasikan ia untuk pindah ke ibu kota dan melalui pesan dari Harumi. “Jadi begini, saat kamu baru saja pergi dari rumah tadi, Ibu Jamal datang mencarimu tapi kamu baru saja pergi jadi Ibu Jamal berbicara padaku dan menitipkan pesan ini agar aku memberitaukannya padamu, aku kaget awalnya dan meminta alasan Bu Jamal menyuruhmu untuk pindah ke ibu kota. Beliau mengatakan ingin membantumu, beliau pernah mendengar jika kamu mau pergi dari kota itu karena traumamu itu, dan kebetulan saat ini Bu Jamal membuka cabang baru untuk toko di ibu kota. Dan ini kesempatanmu Yuu…”  tutur Harumi pada Yuuna sambil tangannya menggenggam tangan Yuuna yang sangat dingin. “Aku sarankan kamu menerimanya dan jangan khawatir tentang kami yang tinggal dan tetap bekerja di sini,” ujar Harumi lagi. Yuuna lalu memeluk Harumi dengan erat. Ia bersyukur Tuhan mendatangkan orang-orang yang baik padanya setelah kejadian yang menimpanya itu, orang-orang yang selalu menyokong dan memberikannya rengkuhan untuk tetap berdiri. “Aku akan mencobanya, tapi apa hanya aku sendiri yang akan pergi ke ibu kota?” tanya Yuuna lagi setelah ia melepaskan pelukannya pada Harumi. Kemudian Harumi menggelangkan kepalanya rebut. “Tidak, kamu nanti akan bersama kak Indri jadi tenang saja kamu tidak akan kesepian di sana karena aku yakin kak Indri akan sangat ribut dan semakin cerewet. Lalu yang paling bersyukur kak Indri ke ibu kota adalah Jaeyo, hahaha…!” ujar Harumi dengan tawa yang sangat khas karena mengingat Indri dan Jaeyo yang selalu cekcik jika bertemu. Yuuna tersenyum saat ia juga ingat bagaimana Indri dan juga Jaeyo yang selalu bertengkar jika bertemu, dan buruknya mereka juga harus bekerja sama. Rekan kerja mereka bahkan kadang merasa kasihan pada Jaeyo yang selalu mendapatkan kecerewetan Indri sebelum mengantar pesanan ke alamat pemesan. “Mereka akan merasa rindu satu sama lain nanti,” seru Yuuna tanpa sadar. “Iya, aku juga akan sangat merindukanmu nanti. Jika ada kesempatan kamu harus pulang ke sini, jangan lupa itu,” pesan Harumi, padahal Yuuna saja belum beranjak dari duduknya saat itu. “Iya, aku akan mengingatnya dan akan pulang jika aku punya uang untuk pulang, hihihi…” kekeh Yuuna karena mengingat biaya hidup di ibu kota jelas tidak sedikit dan uang gajinya akan sangat pas-pasan untuk kebutuhan hidup saja. “Kamu tenang saja tentang uang. Bu Jamal bilang gaji kariyawan yang dipindahkan ke ibu kota akan naik, beruntung lagi rumah di sana kamu tidak akan menyewa karena Bu Jamal punya rumah yang tidak di tinggali, beliau bilang dari pada kosong dan lapuk begitu saja, jadi beliau akan meminta kalian untuk tinggal di sana,” papar Harumi seperti yang Ibu Jamal katakan padanya siang tadi. “Syukurlah kalau begitu, aku jadi bisa menabung untuk pulang nanti,” kata Yuuna senang. “Jadi kamu benar akan menerima tawaran dari Bu Jamal itukan?” tanya Harumi dengan berbinar pada Yuuna. “Insya Allah… aku akan menerimanya, aku akan mencoba sesuatu yang baru untuk menjadi tujuanku keluar dari zona dimana aku tidak berani untuk melakukan apapun,” tutur Yuuna dengan tulus. Menurutnya pergi ke ibu kota adalah sebuah kesempatan untuk mencoba apa yang sarankan oleh Reina padanya saat mereka pergi bersama tadi. “Aku akan mendukungmu, kamu jangan lagi suka melamun aku yakin mereka sudah bahagia dengan cara mereka masing-masing tinggal kamu yang diam di tempat harusnya maju juga,” tutur Harumi memberikan semangat dengan cara mengompori Yuura.  Yuuna kembali tersenyum mendengar ucapan dari Harumi. “Baiklah, terimakasih sudah mau menerimaku menjadi temanmu, Rumi,” ucap Yuuna. Tanpa disangka Harumi malah cemberut karena ucapan Yuuna tadi. “Apa yang salah? Kamu tidak mau jadi temanku?” tanya Yuuna dengan tatapan polosnya. “Kamu ini! Aku ini sudah menjadi sahabatmu! Jangan begitu! Pokoknya kita tetap menjadi sahabat walau nanti kamu tidak tinggal bersama kami lagi, janji?” protes Harumi pada Yuuna. Lalu Yuuna tersenyum lebar hingga matanya tidak terlihat dan memiringkan kepalanya. “Baiklah-baiklah jangan marah, aku tidak sengaja. Kita sahabat aku sangat berterimakasih untuk semuanya dan aku sangat bersyukur bertemu denganmu,” sebut Yuuna lagi agar Harumi tidak marah lagi padanya. “Nah begitu, jadi tidak boleh berkata yang aneh-aneh, Ok? Oh iya jika ada sesuatu nanti kabari aku ya… jangan pelit kamu,” ucap Harumi dengan wajah cemberutnya. Yuuna mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ok!” jawab Yuuna singkat. Kemudian mereka menyudahi pembicaraan malam itu dan ikut Mika kea lam mimpi masing-masing di tempat tidur mereka masing-masing. Sebelum tidur Yuuna terlebih dulu menerawang kepada semua yang terjadi di hari itu dan ia juga mengingat sesuatu yang tidak pernah luput dari ingatannya karena memori itu tidak pernah ingin beranjak dari ingatannya. “Maafkan aku,” lirik Yuuna tanpa sadar saat ia masih menatap langit-langit kamarnya dari posisi berbaringnya. Setelah itu ia pun tertidur, melupakan sejenak tekanan yang ada di dalam dirinya. Perasaan yang membuatnya ingin menggantikan posisi orang yang sudah pergi jauh itu. Ia sangat merasa bersalah karena dirinya orang itu sakit dan calon istrinya meninggal. Jika saja pada malam itu ia tidak meminta pertolongan mungkin mereka tetap hidup dan tidak pernah bertemu. Tetapi itulah takdir yang terjawab dari waktu ke waktu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN