Aku menoleh pada bapak. Kemudian aku menghampirinya. “Pak, ayo kita pulang nanti keburu malam!” Aku kemudian melangkah ke dalam menghampiri Ibu dan Wa’ Imah yang menyaksikan dari dalam. Aku berpamitan pada Wa’ Imah dan mengajak ibu pulang. “Ayo, Bu kita pulang nanti keburu malam!” Ajakku kemudian aku berpaling pada Wa’ Imah. Kuraih tangannya dan menciumnya. Aku mengeluarkan uang dual embar seratus ribuan. “Wa’ alhamdulilah Sinta ada sedikit rejeki, bonus dari Allah! Semoga ini bisa buat berobat Mang Husen!” Netra lesu itu berkaca-kaca menerima dua lembar uang pemberianku. Dia menyeka sudut matanya yang mengembun. “Memangnya kamu punya uang, Ta? Tadi aja 'kan pastinya uang simpenanmu yang dipakai buat bayarin ke Wa’ Ikah?” tanyanya menatapku. “Alhamdulilah … 'kan Sinta bilang dapat bonus dari Allah! Uwa’ jangan khawatir. Selama Sinta bergantung pada-Nya insya Allah semua akan baik-baik saja. Sinta sangat yakin meski seluruh dunia merendahakan Sinta maka tidak ada kesulitan sedikitpun jika Dia berkehendak lain. Maafin Sinta belum bisa buat Uwa’ bangga saat ini,” ucapku sambil tersenyum. Selama ini hanya Wa’ Imah yang memang sama-sama tak punya yang baik pada keluargaku. Terkadang kami berbagi beras untuk dimasak hari ini. Yang lain mana peduli. Hidup mereka enak, rejeki berlimpah tapi mereka lupa bahkan untuk bertanya apakah Saudaranya yang susah punya beras untuk makan? Mereka tidak sadar jika roda kehidupan itu berputar. Bisa saja mereka bertinggi hati dan sombong karena sedang di atas. Namun jika kemudian putaran mereka terhenti di bawah, barulah mereka tahu siapa Saudara dan sahabat yang sesungguhnya. Seperti keluargaku yang hanya memiliki Wa’ Imah untuk saling tolongmmenolong. Aku menggandeng lengan Ibu dan berjalan keluar. Malas rasanya berpamitan pada mereka yang sejak tadi terdengar sedang menggunjingku. “Ta, kamu jual diri di mana? Gak masuk akal seorang babu bisa punya simpanan duit segitu banyak!” nyinyir Teh Selvi sambil melirik ke arahku yang hendak berpamitan pada kakek. “Teteh jangan bicara sembarangan! Bicara tanpa bukti itu fitnah! Mungkin keluarga Teteh yang terpandang itu lebih faham daripada aku yang hanya babu jika fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan! Hati-hati, Teh … lidah memang tidak bertulang tapi setiap kalimat yang diucapkannya bisa melukai bahkan lebih menyayat dari pada pedang!” Aku melirik sekilas ke arah Teh Selvi yang sedang duduk ongkang-ongkang kaki. “Kek, Sinta pamit pulang dulu!” Aku meraih tangan lelaki tua itu. Bagaimanapun dia adalah kakekku meskipun dia tidak pernah memperlakukanku seperti cucu lainnya hanya karena aku babu. Lelaki tua mengabaikan tanganku yang kusodorkan untuk bersalaman. Dengan tatapan lurus tanpa memandangku dia berkata. “Kamu sebagai Saudara yang paling muda tidak selayaknya berbicara tidak sopan seperti itu! Selvi, Rema dan Rena itu Kakak sepupumu. Sebagai adik kamu harus menghormati mereka! Kakek mau kamu minta maaf pada Selvi,” ucapnya. Seperti ada pedang terhunus ke dalam hatiku. Perih dan pedih yang terasa. Aku menarik napas panjang menahan diri. “Sinta tidak akan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah Sinta lakukan! Assalamu’alaikum!” Aku berjalan tergesa meninggalkan teras rumah besar itu. Rumah yang berdiri di atas tanah seluas seribu meter. Kakek merupakan keturunan orang kaya zaman dulu. Dia memiliki asset tanah yang luas, meski kini yang tersisa hanya di rumah yang dia tempati saja. Tanah kebun dan sawah sudah habis dijual oleh suami Wa’ Ikah dan Suami Wa’ Inah yang berasal dari kota dan mengerti bisnis. “Ta!” Kudengar ibu memanggilku. Aku menghentikan langkah dan menoleh padanya. Kulihat bapak dan ibu tergopoh-gopoh mengejarku. “Iya, Bu,” jawabku sambil menatap wajahnya yang terkena remang cahaya rembulan. “Kamu gak apa-apa, 'kan?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Gak apa-apa, Bu! Sinta baik-baik saja! Ayo, Bu!” Aku menggandeng lengannya sambil mengajaknya berjalan beriringan. Semilir angin membuat jilbab yang kukenakan melambai-lambai. Hatiku yang tersakiti oleh mereka menjadi tidak apa-apa karena ada wanita yang menjadi alasan untukku bisa bertahan. Karena ibulah aku berani memiliki tujuan hidup yakni sebuah masa depan cerah. Aku hanya ingin melihat wanita yang selama ini selalu mengalah dan direndahkan dipandang dunia. Kami berjalan menyusuri jalanan aspal yang rusak. Jarak rumahku dengan rumah kakek bisa ditempuh dengan waktu dua puluh menit berjalan kaki. Meski jarak hanya kurang dari dua kilometer tapi terasa jauh terhalang oleh perbedaan status. Rumahku terletak di pinggiran jalan kampung. Bangunan yang terdiri dari bata merah yang hanya setengah dan belum di plester. Rumah kami berlantai tanah. Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di rumah. Kami sebetulnya memiliki satu kendaraan sepeda motor tua, tetapi sejak kemarin masih di bengkel karena rusak. Bapak belum menebusnya di bengkel karena tidak punya uang. Ketika kami hendak memasuki halaman rumah. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali mobil itu. Apakah mobil itu milik suamiku? Tapi bukankah dia bilang sekitar seminggu di Singapura? Lantas kalau bukan mobil Mas Ashraf itu mobil siapa?