Maria menggeliat tak nyaman di tempat tidur. Tangan kanannya mengusap lemah perutnya yang besar, sedang tangan kiri terulur berusaha mencapai tubuh kekar yang terbaring di samping.
Dengan tenaga seadanya Maria menggoyang bahu suaminya. “Pa, bangun!”
Hendrick memegang tangan istrinya lembut dan berkata dengan mata terpejam, “Apa sih, Ma?” Mulutnya sedikit mengecap sebelum lelaki itu tertidur kembali.
Maria kembali menggoyang bahu suaminya, kali ini lebih keras.
“Pa! Ish bangun dulu napa sih!” teriak Maria frustasi. Sakit di perutnya bertambah kuat, rasanya ia ingin pingsan saja.
Melihat Hendrick yang tak kunjung bergerak membuat Maria gemas. Dengan kesal ia memukul kepala suaminya.
Plak!
“Eh, adoh!” Hendrick langsung melompat duduk karena kaget. Matanya masih setengah terpejam. Dengan malas ia menoleh pada istrinya.
“Duh, apaan sih, Ma? Ngidam lagi?”
“Sa … kit …. “ rintih Maria pelan.
Mengucek mata, Hendrick memperhatikan raut wajah sang istri.
Terlihat Maria yang sedang meringis kesakitan.
Seketika kesadaran Hendrick langsung pulih sepenuhnya. Setelah menyalakan lampu kamar, ia baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
“Oh My Lord! Ya Tuhanku! Sayang! Da-darah!” pekiknya panik.
“Rumah sakit, rumah sakit! Call ambulance!”
Dengan tangan yang sedikit gemetar Hendrick meraih ponselnya lalu memanggil ambulans.
Jam menunjukkan pukul 2 dini hari ketika mereka sampai di rumah sakit.
“Ma, bertahanlah! Mama pasti bisa!” Hendrick terus memberi semangat sambil mendorong brankar yang ditempati Maria menuju ruang bersalin.
Sang istri hanya memutar bola mata jengah. “Duh, Pa. Malu-maluin aja sih. Biasa aja kali. Gak usah lebay.”
Seorang suster yang ikut mendorong brankar tersenyum melihat interaksi di antara keduanya. “Anak pertama ya, Bu?”
“Bukan.” Maria menggeleng sekilas lalu balas tersenyum, “Yang kedua. Suami saya memang berisik. Harap maklum, ya.”
Sang suster tertawa kecil, pandangannya lalu teralih pada Hendrick, “ Bapak yang tenang ya, Pak. Kalau bapak panik nanti ibunya bisa ikut panik.”
Brankar telah sampai di depan pintu masuk ruang bersalin. Suster itu membuka pintu, lalu kembali menoleh pada Hendrick. “Bapak mau ikut masuk menemani istri anda?”
“Gak usah, ini bukan yang pertama kalinya, kok, Sus,” jawab Maria menggantikan suaminya.
Lalu, wajah Maria berubah pucat seketika.
“Pa! Irsyad, Pa! Ketinggalan di rumah!” teriak Maria panik.
“Gimana kalau dia bangun? Di rumah gak ada siapa-siapa!”
“Irsyad?!” Hendrick menepuk jidatnya dengan mata melotot. “Ya ampun, papa lupa! Ya udah papa balik dulu!” Hendrick langsung balik badan lalu berlari pulang.
Namun, belum sampai beberapa detik, ia berhenti. Dengan senyum yang mengembang di bibir, Hendrick melambai pada istrinya sambil berteriak, “I know you can do it, Ma! Jia yo! Muach!” Hendrick melayangkan ciuman mesranya sebelum kembali berlari dan menghilang di belokan lorong.
Maria menunduk malu sementara pipinya memanas. Ia bisa mendengar kekehan pelan dari orang di sampingnya.
“Suami ibu romantis, ya,” celetuk suster itu.
Sedangkan Maria hanya bisa menggeleng pasrah melihat kelakuan absurd suaminya.
Sementara itu di rumah, seorang bocah berumur 3 tahun terlihat sedang berjalan sendirian dengan baju piyama.
“Hm? Ma? Pa?” Irsyad yang terbangun karena suara sirine ambulans turun dari kamarnya di lantai dua.
Sambil mengucek mata agar terbuka, ia memperhatikan sekitar.
Tidak seperti biasanya, lampu ruangan menyala semua. Termasuk kamar orang tuanya yang pintunya sedikit terbuka.
Irsyad melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Tidak ada siapa-siapa.
Sadar bahwa ia ditinggal sendirian, Irsyad mulai terisak.
“Ma … Pa ….” Irsyad mencengkram bajunya kuat. Suasana sekitar begitu sepi dan sunyi. Ia sangat membenci situasi seperti ini.
“Ma! Pa! Hiks … hiks ….” Tangis Irsyad mulai terdengar.
“Maaaaa! Paaaa! Huweeeee!”
***
Sepasang kaki jenjang terlihat terus mondar-mandir di ruang tunggu rumah sakit.
“Pa, pusing tau liatnya. Duduk dong, Pa.” Irsyad yang melihat kelakuan papanya mulai tak tahan. Pasalnya, sudah lebih dari setengah jam Hendrick terus mondar-mandir seperti setrikaan di depan Irsyad.
Namun, sepertinya tidak ada tanda-tanda Hendrick akan diam. Dia terus bergerak gelisah tanpa mengacuhkan putranya.
Irsyad yang mengerti perasaan sang papa berusaha mengalihkan perhatiannya. “Pa, jadi Irsyad beneran bakalan punya adek, Pa?”
“Cowok ya, Pa,” celotehnya dengan ekspresi lucu.
Hendrick menoleh begitu mendengar kalimat terkahir dari anaknya. “Emangnya buat anak bisa nawar apa!? Udah diem dulu! Papa lagi tegang nih.”
Irsyad seketika memberengut kesal mendengar jawaban papanya.
“Tapi Irsyad pengen punya adek cowok!” teriak Irsyad.
Gemas karena Hendrick tak kunjung mengindahkannya, Irsyad kembali berteriak lebih keras. “Pokoknya cowok!”
“Berisik!”
“Pak! Maaf di dalam rumah sakit tidak boleh berteriak. Harap tenang!” Seorang petugas datang menegur begitu mendengar teriakan Hendrick.
“Jangan teriak! Tuh dimarahin susternya, kan,” sahut Hendrick gondok.
“Orang papa juga ikutan berisik,” timpal Irsyad.
Hendrick hanya memutar bola mata malas.
Dua jam kembali berlalu, akhirnya yang ditunggu pun tiba.
Terdengar suara tangis bayi dari dalam kamar bersalin, membuat Hendrick langsung menghambur ke dalam ruangan dengan mata berkaca-kaca.
“Anak papa udah lahir.” Hendrick menghampiri istrinya yang sedang menggendong bayi mungil di pelukan. Irysad dengan langkah pelan mengikuti ayahnya. Para petugas sudah keluar, memberi ruang bagi keluarga yang ingin melihat anggota baru mereka.
“Adek Irsyad cowok kan, Ma?” Tanya Irsyad antusias.
“Perempuan," jawab Maria singkat.
“Yaahh … kok bukan cowok, sih. Kalau gitu Irsyad gak mau adeknya. Kasih aja ke orang.” Irsyad berkata sambil memanyunkan bibirnya kecewa.
“Hush, jangan ngomong gitu! Gak baik.” Maria membiarkan Hendrick mengambil alih putri mereka, sementara Irsyad naik ke sisi ranjang, memegang tangan mamanya lembut.
“Irsyad sayang, mau perempuan atau laki-laki, dia itu adek kamu. sebagai kakak, kamu harus menyayangi dia, dan melindunginya, ya?” Maria mengusap kepala Irysad penuh kasih sayang.
“Tapi Irsyad maunya cowok, Ma,” keluh Irsyad. “Biar bisa diajak main balapan, main robot, sama main perang-perangan.”
“Adek kamu juga bisa kok main begitu,” timpal Maria.
“Ih, Mama! Ya jangan dong!” teriak Hendrick heboh. “Cukup mama aja ya yang sangar kaya cowok. Anak papa yang imut dan mungil kaya squishy ini jangan! Pokonya jangan! Pake tanda seru bukan titik!”
“Kalau kamu mau adek laki-laki, nanti papa bikin lagi deh sama mama,” imbuh Hendrick pada Irsyad setelahnya.
Plak!
“Aduh! Ma!” protes Hendrick ketika mendapat pukulan keras di lengannya.
“Ngomong sembarangan,” sungut Maria pelan.
“Ya habisnya ini anak protes mulu, sih.”
Maria memutar bola matanya malas.
“Nih, liat,” Hendrick sedikit membungkuk agar Irsyad bisa melihat adiknya dengan jelas. “Ini adek kamu. Cantik, kan?”
“Iya, cantik. Juga lucu,” angguk Irsyad polos. Tanpa sadar senyumnya terukir manis.
“Matanya bening, pipinya gembul. Tangannya kecil banget.” Pelan, Irsyad menyentuh tangan mungil sang bayi yang tak terbungkus kain.
“Lembut,” kekeh Irsyad begitu tangannya digenggam oleh tangan mungil adiknya.
Maria dan Hendrick ikut tersenyum melihat anak sulung mereka mulai menerima keberadaan si bungsu.
“Hai, adek. Ini kakak. Kakak bakal jagain kamu, tapi nanti kalau udah besar ikut kakak main perang-perangan, ya.” Irsyad mengusap pipi adiknya, merasakan sensasi lembut dan empuk di ujung jari. Ketagihan, Irsyad terus menyodok pelan pipi gembul itu sambil tertawa kecil.
“Pa, nama dedek bayinya siapa?” Tanya Irsyad begitu ia sudah puas mengusik ketenangan adiknya. Sang bayi dalam gendongan sudah tertidur di pelukan Maria, kekenyangan setelah mengisi perut kecilnya dengan ASI.
Hendrick mengusap puncak kepala Irsyad sekilas.
“Namanya, Keisya Cleopatra.”