“Gila sih! Ganteng-ganteng panitianya!” Sarah memekik girang. Caca dan Nadia yang biasa saja hanya memutar bola mata malas.
“Alay,” ucap Caca dan Nadia bersamaan.
“Fakta woy fakta!” cerca Sarah tak terima. “Pertama, Ketos kita, yaitu abang lo, udah gak diragukan lagi kegantengannya.”
Seketika Caca ingin muntah mendengarnya.
“Kedua, Ketua MPK-nya juga ganteng kaya oppa boyband korea. Gak nyesel gue batalin sekolah di akademi khusus perempuan. Untung gue ngikut lo, Ca,” ujar Sarah bangga.
“Serah lo, Sar, serah.” Caca pergi mendahului Sarah dan Nadia yang sedang berjalan di koridor.
Mereka bertiga saat ini sedang berkeliling sekolah, memburu tanda tangan dari panitia. Tadi saat upacara, panitia menugaskan semua perserta untuk meminta tanda tangan dari panitia minimal 50 buah.
Mantap kan? Apalagi batas waktunya hanya tiga hari. Kalau saja tidak ingat amukan mama, mungkin Caca sekarang sudah kabur dan mogok MOS.
Caca yang pada dasarnya memang malas ribet, mendadak mager disuruh hal yang menurutnya tidak berguna ini.
“Guys, mau minta tanda tangan siapa dulu, nih?” Sarah berkata setelah ia berhasil menyusul langkah cepat Caca. Begitupun dengan Nadia, yang diam-diam sudah menyejejerkan langkah dengan Caca.
“Kita udah dijamin dapet 3 tanda tangan. Tadi sebelum makan siang juga udah dapet 7. Sisa 40 lagi,” jelas Nadia lalu menutup booknote-nya.
“Dijamin 3? Maksud lo?” Caca yang sedang lemot bertanya bingung.
Sarah menoyor kepala Caca gemas. “Kan ada tiga abang lo, Ca.”
Caca mendadak bepikir.
“Oh, iya ya. Hehe.” Caca menyengir kuda. “Eh, tapi ogah ah kalo ketos. Lagi males gue sama dia.” Caca tiba-tiba jadi kesal mengingat kejadian tadi pagi. Pantatnya yang malang memang sudah tidak sakit lagi, tapi hatinya yang masih sakit karena mendapat perlakuan kasar dari abangnya. Oke, sepertinya penyakit alay Caca mulai kambuh.
“Lha? Panjang leher dia,” celetuk Caca tiba-tiba.
“Panjang umur!” Dengan gemas Sarah mencubit pipi Caca yang sedikit chubby. Caca menepis tangan Sarah cepat sebelum pipinya jadi tambah bengkak.
Tidak jauh di hadapan mereka, berdiri dua orang yang tadi dibicarakan si tiga serangkai. Abang Caca –Irsyad– dan sang Ketua MPK, yang di upacara tadi memperkenalkan dirinya sebagai Eugene.
Caca memandang abangnya malas. Bukan apa-apa, Caca dan temannya jadi tidak bisa lewat di koridor karena bukan hanya dua orang itu saja yang berdiri menghalangi, melainkan segerombolan cewek ribet yang saling menggusur berusaha mendapat tanda tangan mereka.
“Ca, mumpung ada orangnya. Minta gih!” sahut Sarah tiba-tiba. Seketika Caca mendelik sebal pada sahabatnya yang maniak cowok ganteng itu.
“Ogah! Lo aja sana!” tolak Caca tegas.
“Kan lo yang adiknya.”
“Gak ada hubungannya Samsul!”
“Nama gue Sarah bukan Samsul!”
“Bodo!”
“Diem.”
Suasana langsung hening. Kalau Nadia sudah bertitah, Caca dan Sarah pun tak bisa berkutik. Kebar-baran Caca yang tingkat dewa pun akan kalah dengan suara datar dan dingin Nadia.
“Ca, lo mintain sana. Sekalian punya gue sama Sarah juga.” Caca mengerang pelan begitu Nadia sama saja dengan Sarah. Dasar tidak berperike-Caca-an, begitu pikir Caca.
“Harus sekarang ya?” Nadia dan Sarah mengangguk berbarengan.
Dengan pasrah, Caca mengambil booknote milik Sarah dan Nadia lalu menghampiri kerumunan neraka itu. Caca paling tidak suka desak-desakan, kecuali saat berlomba untuk keluar kelas paling duluan setiap pulang sekolah.
“Anjirlah. Gue terus yang kena,” umpat Caca lirih agar tidak terdengar oleh kedua temannya yang no akhlak.
Setelah komat-kamit berdo’a agar tidak tergusur dengan tragis, Caca mulai melangkah mantap menembus kerumunan. Untungnya Caca masih bisa tahu di mana lokasi Irsyad dan Eugene berada, karena tinggi badan mereka yang memang seperti tiang bendera. Jangkung serta kokoh.
Susah payah Caca berjuang, tetapi karena kalah jumlah dan tekad, alhasil tubuh rampingnya terpental ke belakang. Saking kuatnya dorongan, Caca sampai limbung, beberapa detik lagi pasti pantatnya akan mendarat mulus di lantai seperti kejadian tadi pagi. Namun untungnya, belum sempat Caca merasakan sakit tiba-tiba muncul uluran tangan yang dengan dengan mudahnya menahan tubuh Caca yang memang kecil.
Caca yang sudah memejamkan mata bersiap untuk jatuh mulai membuka mata perlahan. “Elo?”
Berdiri seorang cowok jangkung, walau tak sejangkung Irsyad, di belakang Caca. Tangannya memeluk pinggang Caca protektif. Wajahnya yang putih bersih dihiasi dengan senyum manis, ditambah dengan matanya yang coklat jernih dan alis tebal seperti ulat bulu. Definisi dari cowok tampan paripurna.
“Lo gapapa?” tanyanya. Walau tersenyum, tetapi sorot matanya terlihat khawatir. “Lo ngapain coba desak-desakkan gitu. Kan bisa minta di rumah.”
Caca yang sadar sedang bersender di d**a bidang cowok itu segera menegakkan tubuh. “Bukan urusan lo,” ketus Caca.
Sarah dan Nadia yang melihat adegan hampir naas itu berlari menuju Caca. “Ya ampun, gue gak ngira ternyata mereka seganas itu.” Sarah memandang ke arah kerumunan yang seolah tidak tahu telah hampir menjatuhkan seorang korban.
“Bang Nopal bener. Nanti aja lo minta di rumah. Kita titip booknote-nya aja,” timpal Nadia. Walaupun omongannya sepedas gossip tetangga, Nadia termasuk orang yang penyayang dan setia kawan. Dia tidak mau Caca terluka hanya demi tanda tangan yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Cowok yang dipanggil Nopal itu tersenyum ramah melihat kedua teman dari sepupunya itu. Nopal –atau Nauval, nama aslinya– memang sudah kenal Sarah dan Nadia dari dulu. Sarah dari SD, dan Nadia dari SMP. Mereka bahkan pernah bermain bersama di rumah Caca yang letaknya persis di samping rumah Nauval.
“Tadi aja, lo nyuruh gue buat minta sekarang.” Caca mengerucutkan mulut sebal. Wajahnya yang cantik dan imut sungguh sangat kontras dengan kelakuannya yang liar.
“Ya, kan, gue gak tau kalo lo bakal mental gini,” cengir Sarah dengan tampang tak berdosanya.
“Sue.” u*****n Caca keluar begitu saja. Daritadi jangan dituruti sekalian. Kalau saja Nauval tidak datang tepat waktu, pantatnya yang malang akan tepos lama-kelamaan karena terus terbentur.
Melihat Caca yang memasang raut wajah kesal, tanpa diminta Nauval merebut tiga booknote di tangan Caca lalu membubuhkan tanda tangannya dengan cepat.
“Udah, nih. Lain kali kalo mau minta ttd tunggu pas sepi aja.” Nauval menyerahkan kembali booknote pada masing-masing pemiliknya. Khusus untuk Caca, ia memukulkan buku kecil tersebut ke kepala sepupunya sebelum berlari kabur.
“Awas lo ya!” teriak Caca geram. Sedang dari kejauhan Nauval tergelak puas.
***
Gara-gara terlalu serius dalam perburuannya, Caca, Nadia dan Sarah jadi pulang telat. Hari sudah hampir petang, dan mereka baru akan pulang.
“Ca, mau pulang bareng?” tawar Sarah melihat Caca yang sedang membereskan barang-barangnya di meja. Kelas sudah sepi, hanya tinggal mereka berdua yang masih di dalam. Nadia sudah keluar menunggu Caca dan Sarah di depan kelas.
Caca sempat termenung sejenak. “Boleh. Ketiga abang gue masih ada sibuk sama OSIS kayaknya.”
“Ngomong-ngomong soal abang lo, gue gak liat bang Aldi tadi.” Sarah berkata sambil mengecek jemputan di layar ponselnya.
“Bener juga, ya,” angguk Caca. Dia memang tidak melihat Reynaldi sejak pagi. Entah menghilang ke mana abang Caca yang satu itu.
Walaupun Caca hanya mempunyai abang kandung satu yaitu Irsyad, tetapi secara teknis dia memiliki tiga. Irsyad kakak kandungnya, Nauval kakak sepupunya, dan terakhir Reynaldi, yang merupakan anak dari sahabat orangtua Caca. Mereka sudah tumbuh bersama sebagai saudara. Dan dari ketiga abang, memang Reynaldi yang perlakuannya paling manis pada Caca. Jadi tidak heran jika Sarah menanyakan keberadaan sang abang yang belum nampak batang hidungnya semenjak MOS dimulai.
“Gimana, jadi? Mau bareng gue atau nunggu abang lo aja?” tanya Sarah lagi.
Setelah berpikir selama beberapa detik, Caca akhirnya memutuskan untuk menumpang mobil pada Sarah saja. Hari sudah mau malam, dan Caca tidak mau harus menunggu ketiga abang yang tidak tahu kapan selesainya.
Caca, Nadia dan Sarah berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Tepat setelah mereka melewati gerbang, tiga serangkai itu tiba-tiba dikejutkan dengan kemunculan sosok yang tak kalah tampan dari para cowok panitia tadi, yang melambai riang ke arah mereka.
Sarah hampir histeris, sedang Caca memutar bola mata malas melihat tingkah Sarah. Dan Nadia seperti biasa memasang wajah judesnya tanpa ekspresi.
“Ngapain ke sini? Lo gak ikut MOS, kan?” Sarah seketika melongo. Ternyata Nadia mengenali cowok itu.
“Pengen tahu aja nanti gue sekolahnya kayak gimana. Sekalian jemput lo juga,” timpal cowok berwajah manis itu.
Nadia lalu beralih pada Caca dan Sarah yang masih diam. “Kenalin, ini sepupu gue. Baru datang dari Amrik.”
“Nama gue Jimmy, salam kenal. Gue bakal sekolah bareng sama kalian di sini. Cuma emang gak ikut MOS.” Jimmy tersenyum lebar yang menambah kadar kemanisan di wajahnya.
Sarah tentu saja sangat girang bisa mengenal satu orang ganteng lagi. Lumayan buat cuci mata.
“Gue Sarah,” ucapnya sok anggun. Jimmy tersenyum makin lebar sebagai tanggapan. Sekilas terlihat rona pink di wajah Sarah yang hanya dipolesi bedak tipis. Terpesona oleh tatapan lembut yang diarahkan padanya.
Butuh waktu beberapa detik bagi Jimmy untuk melepaskan genggaman Sarah yang sangat erat pada tangannya. Jimmy lalu beralih pada Caca.
“Caca.” Caca menyalami Jimmy sopan walau dengan tampang yang bodo amat. Mood-nya memang sedang kurang baik karena kecapekan.
Namun, meski begitu entah kenapa Caca bisa merasakan ada yang aneh dengan senyuman Jimmy padanya, yang berbeda dengan senyumannya tadi pada Sarah.
Mungkin Cuma perasaan gue aja kali ya.