“Yang lain ada yang mau menyampaikan pendapatnya? Biar di kelas ini penghuninya tidak hanya Grace dan Malik saja. Ada?”
Kelas kembali bergeming. Para murid saling bergumam, namun tidak ada yang mengacungkan tangan.
“Kalau masih tidak ada, saya akan mengomentari pendapat sebelumnya.” Bu Ersa menyambung.
Bu Ersa baru akan membuka laptop dan menyalakan lcd. Sejurus kemudian membuka powerpoint yang menggambarkan konsep-konsep dasar dari materi yang dibahas.
“Paling tidak, kalau tidak ingin membaca buku, baca powerpoint saya. Sekaligus mendengarkan penjelasan saya. Biar kalian datang ke sini, pulang nanti sore tidak dengan otak kosong.”
Para murid mulai menggenggam alat tulis mereka masing-masing. Beberapa murid di belakang sudah mulai menguap.
“Pendapat Grace dan Malik sudah menyentuh The Feminine Mystique. Tapi saya ingin meneruskan, The Feminine Mystique itu membantu menjelaskan kenapa perkawinan dan motherhood tidaklah cukup bagi tipe perempuan tertentu, dalam pendapat para pengkritik, buku tersebut tidak mampu untuk menanggapi isu yang lebih besar daripada sekadar the problem that has no name, label yang diberikan Betty Friedan bagi ketidakpuasan perempuan ibu rumah tangga heteroseksual, kelas menengah, terdidik, berkulit putih, dan tinggal di sub-urban Amerika Serikat. Secara khusus The Feminine Mystique keliru memahami betapa rumitnya, bahkan bagi perempuan yang berada di dalam posisi yang beruntung, untuk dapat mengkombinasikan karier dengan perkawinan dan motherhood, kecuali jika dilakukan rekonseptualisasi total di dalam dan di luar rumah tangga. Seperti Wollstonecraft, Harriet, dan John Stuart sebelumnya, Betty Friedan mengirim perempuan keluar rumah ke dalam ranah publik tanpa memanggil laki-laki untuk memasuki ranah subjektif. Dalam The Second Stage¸ yang ditulis hampir seperempat abad setelah The Feminine Mystique, Betty Friedan kali ini mempertimbangkan kesulitan mengkombinasikan perkawinan, motherhood, dan karier. Mengamati cara anggota generasi anak perempuan yang wajib pontang-panting atas nama feminisme, yang mencoba menjadi perempuan karier penuh waktu, juga istri dan ibu penuh waktu, Betty Friedan menyimpulkan kalau perempuan super tahun 1980-an tidak lebih teropresi daripada ibu yang tinggal di rumah tahun 1960-an. Oleh karena itu, Betty Friedan mendorong feminis tahun delapan puluhan agar bertanya pada diri mereka sendiri, apakah perempuan bisa atau harus mencoba untuk memenuhi tidak saja satu, tetapi dua standar kesempurnaan. Satu standar yang ditentukan di tempat kerja oleh laki-laki tradisional yang mempunyai istri yang memenuhi semua kebutuhannya di luar tempat kerja, dan satu standar yang ditetapkan di rumah oleh permepuan tradisional yang keseluruhan rasa berharga, kekuasaan, dan kemampuannya datang dari posisinya sebagai istri dan ibu yang ideal.”
“Ibu?” Secara mengejutkan Enggar mengangkat tangan.
“Iya, Enggar?”
“Lalu apakah istilah perempuan tidak lantas menjadi sindrom sehingga bisa saja menjadi obsesi untuk harus dikejar dan berpotensi mengubah kelenturan dan kelembutan yang menjadi ciri lahiriah perempuan? Apakah itu tepat?”
“Pertanyaan bagus.”
Lalu reaksi Bu Ersa dibalas dengan agak kaget dari para murid kepada Enggar yang jarang-jarang Enggar bertanya saat ada kelas Bu Ersa.
“Estimasi Betty Friedan, feminis tahun delapan puluhan perlu berhenti berusaha untuk mencoba melakukan semuanya dan menjadi semuanya. Dia menegaskan, penawar yang tepat untuk sindrom perempuan super yang seperti kamu bilang adalah dengan tidak mengabaikan cinta demi pekerjaan, atau sebaliknya. Menurut Betty Friedan, perempuan yang memilih salah satu, pekerjaan atau cinta, kerap kali menceritakan penyesalannya atas keputusan tersebut. Suatu waktu, ada seorang perempuan yang meninggalkan perkawinan dan motherhood mengaku kepada Betty Friedan, dia bilang begini, perempuan itu bilang begini, saya perempuan pertama di dalam manajemen di sini. Saya memberikan segalanya bagi pekerjaan. Mula-mula terasa menyenangkan, menyusup tempat yang belum pernah dimasuki oleh perempuan-perempuan sebelumnya. Sekarang, pekerjaan itu hanyalah sekadar satu pekerjaan. Saya tidak tahan kembali ke apartemen ini sendirian tiap malam. Saya ingin mempunyai sebuah rumah, mungkin sebuah taman. Mungkin semestinya saya mempunyai seorang anak, bahkan tanpa seorang ayah sekalipun. Paling tidak, saya akan mempunyai sebuah keluarga. Seharusnya ada cara yang lebih baik untuk hidup. Dan ada seorang perempuan lain yang telah mengambil keputusan sebaliknya, meninggalkan pekerjaan untuk keluarga, juga mengaku kepada Betty Friedan, keputusan itu membuat dia marah, hal itu membuatnya seperti anak kecil, ketika dia harus meminta izin dari suami untuk memperoleh uang. Ibunya hanya selalu bergantung kepada ayahnya dan begitu ketakutan akan kehidupan. Kemudian ibunya terlihat seperti orang tersesat tanpa ayahnya. Pemikiran bahwa dia harus bergantung seperti ibunya menakutkan dirinya, meskipun dia memiliki perkawinan yang bahagia. Dia kerap kali merasa kesal dan marah, mendengarkan cerita di televisi tentang istri yang dianiaya, perempuan yang tidak mempunyai pilihan. Akan meningkatkan rasa penghargaan diri jika tidak bergantung kepada kepada suami untuk segala sesuatu dalam hidup, bila dapat memperoleh kebutuhan diri sendiri. Perempuan itu sedang berupaya untuk memperlakukan anak perempuannya secara setara dengan anak laki-lakinya. Dia tidak ingin memiliki ketakutan yang telah melumpuhkan ibunya dan dia merasa kalau itu harus dia lawan. Dia menginginkan anak perempuannya mempunyai pilihan yang sesungguhnya. Begitu…”
“Lalu setelah mendeteksi argumen itu, apa yang dilakukan Betty Friedan, Bu? Apakah dia memutar argumennya?” tanya Vina setelah mengacungkan tangannya.
“Menurut Betty Friedan, daripada berputus asa atas hal tersebut, dan atas pilihan perempuan lain, dia menggunakannya sebagai argumen untuk memberikan keyakinan pada feminis tahun delapan puluhan untuk bergerak dari apa yang dia istilahkan sebagai feminisme tahap pertama ke feminisme yang dilabelinya tahap kedua. Dia berpendapat bahwa bentuk baru feminisme ini akan menuntut perempuan untuk bekerja dengan lak-laki untuk melepaskan diri dari akses feminist mystique, yang mengabaikan substansi dari konsep humanis perempuan yang dipenuhi melalui cinta, kasih sayang dan rumah. Bersama-sama dengan laki-laki sebagai seorang istri, menurutnya, perempuan mungkin dapat mengembangkan jenis nilai-nilai sosial, gaya kepemimpinan dan struktur institusional yang akan memungkinkan kedua gender untuk mencapai pemenuhannya, baik di dunia publik maupun privat. Dan program Betty Friedan buat gerakan perempuan, seperti kita lihat, rentan terhadap beberapa serangan. Misalnya, gagasan Betty Friedan itu tidak worth it mempertanyakan asumsi kalau perempuan bertanggung jawab atas kehidupan privat dari anggota keluarganya. Ada seorang tokoh perempuan namanya Zillah Eisenstein yang mengkritisi dukungan Betty Friedan pada apa yang disebut sebagai waktu kerja fleksibel. Dia mencurigai kalau perempuan lebih banyak memanfaatkan waktu fleksibel ini dibandingkan dengan laki-laki untuk mengambil hari kerjanya, dengan menghabiskannya untuk hari-hari sekolah anaknya, Zillah Eisenstein khawatir kalau waktu fleksibel akan memberikan pengusaha tambahan alasan lagi untuk menilai rendah pekerja perempuan, dengan alasan karena mereka tidak berkomitmen kuat kepada pekerjaan seperti laki-laki.”
“Untuk menjadi adil terhadap Betty Friedan, dia secara secara terang-terangan menulis dan menyebutkan dalam The Second Stage yang mana itu ditulis setelah kritik Zillah Eisenstein terhadap Friedan, bahwa jika suatu regulasi seperti waktu fleksibel digambarkan sebagai suatu perubahan struktural yang memungkinkan para ibu untuk dapat lebih baik merawat anak-anaknya, gagasan utama yang salah dari pemikiran yang ditekankan seperti itu adalah bahwa rumah dan keluarga adalah tanggung jawab utama perempuan daripada tanggung jawab bersama perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dengan Betty Friedan dalam The Feminist Mystique, Betty Friedan dalam The Second Stage agaknya cukup menyadari kalau kecuali jika asimilasi perempuan terhadap publik diikuti oleh asimilasi simultan laki-laki terhadap dunia privat, perempuan akan selalu harus bekerja lebih keras daripada laki-laki. Meskipun Betty Friedan mengakui kalau kebanyakan laki-laki mungkin tidak siap, tidak bersedia atau mampu menyambut peran bapak rumah tangga, dia menegaskan kalau adalah sama pentingnya buat laki-laki untuk mengembangkan diri personal dan pribadinya sebagaimana penting buat perempuan untuk mengembangkan diri publik dan sosialnya. Laki-laki yang menyadari hal ini juga menyadari kalau pembebasan penting bagi perempuan adalah pembebasan bagi laki-laki. Alhasil, seorang laki-laki tidak harus mencari nafkah utama atau semata-mata melibatkan diri dalam usaha meningkatkan karier yang tidak pernah berakhir aktif dan tidak bermakna. Seperti istrinya, dia juga bisa berpartisipasi secara aktif dalam jaringan hubungan familial dan pertemanan yang kental yang dijalin bersama istrinya. Dalam beberapa hal, distingsi antara Betty Friedan dalam The Feminist Mystique dan Betty Friedan dalam The Second Stage adalah distingsi antara seorang feminis yang percaya bahwa perempuan perlu menjadi sama dengan laki-laki untuk menjadi setara dengan laki-laki, dan seorang feminis yang percaya bahwa perempuan yang dapat menjadi setara dengan laki-laki bila masyarakat sosial menghargai yang feminin dan maskulin. Secara keseluruhan, pesan dari The Feminist Mystique adalah bahwa kecuali bila perempuan menjadi laki-laki, dia tidak akan terbebaskan. Betty Friedan memenuhi halaman-halaman dalam The Feminist Mystique dengan komentar seperti ini: jika seorang perempuan Amerika yang memiliki kemampuan tidak menggunakan energi-energinya dan tidak menggunakan kemampuan di dalam usaha yang bermakna, dia akan memecah energinya dalam simptom neurotik atau dalam tindakan yang tidak produktif, atau dalam cinta yang destruktif dan barangkali laki-laki bisa hidup lebih lama di Amerika bila perempuan menanggung lebih banyak beban dari pergulatan dengan dunia itu daripada menjadi beban itu sendiri. Betty Friedan itu merasa energi yang terbuang itu akan menjadi destruktif terhadap suami mereka sendiri kecuali jika energi itu digunakan untuk perjuangan mereka sendiri dengan dunia. Menjadi manusia yang utuh, secara ringkas adalah berpikir dan bertindak seperi laki-laki.”
Bu Ersa membetulkan kaca matanya yang agak miring dan mengganti slide di layar. Para murid serius menyimak. Beberapa orang yang tidak aktif mulai menggaruk kepalanya karena tidak tahu apa yang musti direspon dari materi Bu Ersa. Bahasanya terlalu baku dan membuat isi kepala mereka sulit menerima.
Tok… Tok… Tok
“Selamat pagi.” Ada seseorang berdiri menyapa di ambang pintu.
“Yang bernama Grace dipanggil Pak Bagus di ruang guru.”
Setelah informan itu pergi, Malik memberikan kode mata padaku untuk minta izin ke Bu Elsa agar aku menemui Pak Bagus segera. Aku memprediksi kalau panggilan itu ada hubungannya dengan masalah dengan Rada sebelumnya. Tapi bisa juga karena hal lain.
Sebelum keluar kelas, Bu Ersa mengatakan agar sebelum kelasnya berakhir, aku diusahakan sudah kembali ke kelas, sebab ada yang mau diobrolkan terkait acara yang pernah dia tawarkan. Aku menganggu takzim. Aku segera menemui Pak Bagus.
“Gimana kondisi kelas? Nggak ada yang ikut ribut selain Ica, Fyora, dan Edward, kan?”
“Oh, aman kok, Pak. Memang ini inisiatif kami, khususnya Malik, buat menjaga masalah ini biar nggak merambat ke mana-mana. Takutnya, banyak dari anak-anak kelas bahkan bisa terdengar sampai di luar kalau misalnya mereka tahu nanti mereka jadi nggak simpatik ke Rada. Justru malah berbahaya buat kondisi mentalnya. Lebih baik, hanya kami yang tahu dan cukup masalah itu sampai di sini.”
“Ya sudah, bagus kalau kalian mengambil kesimpulan seperti itu. Rupanya, saya nggak harus mengkhawatirkan kalian. Biar saya yang menasehati Rada. Besok kalau dia masuk, kalian enam orang saya minta berkumpul di sini. Dan saya nggak memanggil kalian di ruang BK, kenapa? Karena saya nggak ingin kalau yang lain curiga dan bertanya yang tidak-tidak.”
“Iya, Pak. Terima kasih.” Aku mengangguk takzim.
“Lalu, bagaimana dengan kesibukanmu di ekskul? Nggak ada hal yang dibahas selain event basket?
“Sementara hanya itu, Pak. Karena satu kegiatan itu sudah menyita banyak waktu dan tenaga. Nanti setelah event itu selesai, kemungkinan saya akan menulis informasi terkait acara yang ditawarkan Bu Ersa.”
“Oh, yang soal diskursus publik, ya? Itu bagus saya rasa. Karena yang diajak dalam acara itu adalah siswa-siswi terbaik dari sekolah lain. Makanya ada reward dari acara itu. Ya sudah, kamu bisa kembali ke kelas. Terima kasih, Grace.”
Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas kembali ke kelas. Sementara aku lihat kalau diskusi masih terus berjalan. Aku dipersilakan masuk dan kembali duduk seperti semula sebelum aku dipanggil ke ruang guru tadi.
Bu Ersa terpaksa menjeda penjelasannya begitu aku masuk kelas.
“Saya akan meneruskan materi sedikit.”
Aku melirik Malik sedang menyibak buku tulisnya. Tumben sekali aku rasa.
“Bahwa tujuh tahun setelah publikasi The Feminine Mystique, pesan Betty Friedan kepada perempuan telah berubah secara substansial. Dalam pemikiran dan tindakan Betty Friedan, yang menekankan pada fluiditas, fleksibilitas dan sensitivitas interpersonal sebagai feminin secara budaya dan menggambarkan gaya pemikiran dan tindakan beta yang menekankan pada historis, otoritas, kepemimpinan yang secara tegas berorientasi berdasarkan rasionalitas instrumental dan teknologi sebagai maskulin secara budaya. Alih-alih menawarkan perempuan tahun delapan puluhan saran yang sama yang ditawarkannya pada perempuan tahun enam puluhan yaitu meminimalkan kecenderungan feminin dan beta, dan memaksimalkan kecenderungan maskulin dan alfa, saat itu Betty Friedan menasehati perempuan tahun delapan puluhan untuk merangkul gaya feminin dan beta. Setelah itu dia sendiri merasa yakin kalau perempuan nggak perlu mengabaikan perbedaannya dari laki-laki untuk mencapai kesetaraan dengan laki-laki, Betty Friedan mendorong perempuan tahun delapan puluhan untuk berhenti meniru modus alfa yang dominan dan nerima dari gerakan dan organisasi yang mapan, dan mulai menggunakan intuisi beta mereka untuk memecahkan masalah sospol, dan ekonomi yang mengancam kemanusiaan. Tantangan bagi feminisme tahap kedua menurut Betty Friedan adalah perempuan dan laki-laki harus berpikir untuk menggantikan metode menang atau kalah atau metode kerjakan atau mati ala pemburu atau ksatria dengan cara berpikir yang dikembangkan perempuan di masa lalu, sebagaimana mereka melawan masalah kecil dan masalah hubungan di dalam keluarga seharo-hari, kerap kali tanpa berpikir tentang hal itu secara abstrak. Hanya jika hal itu terwujud, maka warga negara dunia akan menyadari kalau kelangsungan hidup mereka bergantung pada penggantian strategi kompetitif dengan inisiatif kooperatif.”
Lima menit sebelum bel pergantian kelas berbunyi, para murid mulai menutup bukunya. Bu Ersa mematikan laptop dan lcd.
“Oh, iya sebelum bubar, saya ingin menyampaikan khususnya buat Grace dan Malik. Pekan depan, acaranya diselenggarakan di SMA Negeri 1 Surabaya. Kalian berdua ke rumah saya dulu, setelah itu kita berangkat sama-sama dari rumah saya. Kalau kalian bawa motor, bisa ditinggal dulu di rumah saya. Mengenai seperti apa acaranya nanti, bisa dibicarakan di luar kelas.”
“Baik, Bu.” Aku dan Malik menjawab serentak setelah saling menatap bergantian.