5

2187 Kata
Di estimasi usia tiga belas tahun, saat si anak laki-laki mulai mengenal kekerasan, saat agresivitas mereka mulai berkembang, saat mereka mulai mencintai persaingan, meledaknya hasrat mereka akan kekuasaan, di situlah justru si gadis mulai menjauhi permainan-permainan kasar. Agresivitasnya mulai menurun. Kelincahan si gadis tidak seperti waktu kecil. Olahraga masih terbuka baginya, namun olahraga yang berarti spesialisasi, juga olaraga yang mempunyai standar peraturan-peraturan buatan, sama sekali berbeda dengan suatu kebebasan dan kebiasan menggunakan kekerasan. Seorang atlet perempuan tidak pernah bisa merasakan kebanggaan laki-laki ketika menindih bahu lawannya. Terlebih di banyak negara, kaum perempuannya tidak boleh menerjuni dunia olahraga, karena berkelahi dan memanjat itu dilarang, tubuh mereka bersifat pasif dalam melakukan segala hal. Dan perempuan jauh lebih tegas dibandingkan saat masa mudanya. Dalam dunia orang dewasa, tidak disangsikan lagi, kekuatan barbar tidak memainkan peranan yang besar pada waktu normal, namun begitu, dia membayangi dunia itu. Aneka perilaku maskulin timbul dari akar yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Di setiap pojok jalanan, ada ancaman kekerasan: biasanya hal itu sering terjadi. Bagi laki-laki, menunjukkan kepalan tangan, itu sudaih cukup untuk memastikan kekuasaannya. Dengan melawan segala hinaan, laki-laki akan mengancam penghina itu dengan kepalan tangannya, untuk menunjukkan kebijakannya dalam berbagai p*********n, dia tidak akan mau diungguli oleh orang lain, dia sendiri juga berada di jantung subjektivitasnya. Kekerasan merupakan bukti valid dari setiap orang untuk menunjukkan kesetiaan pada diri sendiri terhadap orang lain. Juga pada nafsunya, dan pada kehendaknya sendiri. Memungkiri kehendak ini berarti sama saja dengan mengungkung diri seseorang salam subjektivitas yang abstrak: kemarahan atau pemberontakan yang tidak disalurkan melalui otot-otot hanyalah suatu spekulasi belaka. Adalah kefrustasian yang luar biasa, seandainya tidak mampu menunjukkan perasaan seseorang terhadap wajah dunia. Membaca perempuan dan sejarahnya, tidak bisa selesai dalam sekejap. Ketika aku memutuskan mencintai laki-laki, maka aku harus bersiap untuk membentuk aturan hidup yang baru. Meski tidak merubah tatanan yang sudah aku bangun sendiri sebelumnya. Aku berulang kali mencari tahu kekuatan mimpi. Hal yang menurutku paling bodoh yang pernah aku lakukan. Barangkali menurut banyak orang, mimpi adalah bunga tidur. Kamu bisa menerima dengan bahagia bila bunga itu wangi, sebaliknya kamu bisa membuang mimpi itu jauh-jauh bila dapat bunga bangkai. Tapi, apa betul mimpi yang secara kebetulan sangat berkaitan dengan hidup kita itu adalah pertanda? Misalnya, melalui mimpi tidur itu dengan orang yang dikenal. Aku agak lega ketika mendapat jawaban yang masuk akal dari suatu percakapan seseorang di podcast. Bahwa salah satu pembicara itu mengatakan bahwa, membicarakan relevansi mimpi yang didapatkan ketika tidur dengan dunia nyata itu akan membuang-buang waktu saja. Mengenai maknanya, tidak akan ada jawaban yang objektif tentang mimpi itu. Jawaban yang pasti adalah yang bersifat subjektif. Ketika mimpi saat tidur itu secara kebetulan terealisasi dalam kehidupan nyata, maka orang akan simpulkan bahwa mimpi saat tidur itu merupakan pertanda dalam kehidupan nyata. Tapi, ketika mimpi itu menyeramkan, maka orang tidak akan pernah mau mengambil kesimpulan yang sama. Kecuali hanya menganggap bahwa tidur mereka nggak sah, sebab tidak diawali dengan untaian doa. Jadi esensi dari mimpi saat tidur itu apakah hanya bisa ditentukan oleh keberuntungan atau bisa dicapai di dalam realitas? Aku menjadi tambah bingung ketika bunda mengatakan kalau aku sudah mendapat jawabannya. Berawal dari aku memberitahu padanya soal mimpiku dengan Malik. Padahal secara samar-samar, aku tidak merasa di kehidupan nyataku ada pertanda yang sama dengan apa yang ada di dalam mimpiku itu. Senja tengah bergerola dengan temaramnya. Burung-burung tampan mulai bersarang dan meringkup dengan telur-telurnya. Angin kian semakin menjalar ke sudut-sudut rumah. Ketenangan ini mendesak untuk dirasakan. Aku bukanlah perempuan jalang. Aku penikmat semesta. Aku tidak membenci laki-laki meski aku sedikit enggan mempedulikan mereka. Tolong mengertilah. Saat aku mulai bisa percaya bahwa laki-laki bisa menciptakan kegundahan, langkah demi langkah tidak terelakkan untuk berupaya mengabaikan. Sayangnya, aku tidak punya kemampuan. Perasaan bermetamorfosa silih berganti. Kadang menjadi kupu-kupu cantik, dan kadang menjadi kepompong yang sibuk merenung dalam rumahnya sendiri. Ketika aku sadar bahwa apa yang disampaikan ayah itu benar-benar aku rasakan, perlahan-lahan aku pun mulai mencemaskan. “Perasaan kalau sudah merasakan risau, pikiran sudah mulai kacau, bukan dalam ranah benci, tapi seperti frustasi sebab nggak tahu yang terjadi. Di situlah kita harus merasa was-was dan waspada. Tapi, mencintai seseorang tidak perlu dengan was-was. Hal itu terjadi secara tiba-tiba. Semua nggak bisa direncana.” “Cinta itu tanggungjawab. Terhadap waktu yang dikorbankan. Terhadap pikiran yang dikerjakan. Terhadap perasaan yang kadang kala merasa kesedihan. Terhadap jantung kita yang suka merasa sesak akibat bahagia terlalu kelewatan.” “Satu lagi, meskipun itu bisa dikatakan tanggung jawab. Bukan berarti itu bisa diklasifikasikan sebagai sebuah pengorbanan. Kalau sudah cinta, tidak ada yang namanya pengorbanan. Apa saja yang dilakukan, itu adalah dengan penuh keikhlasan. Dan keikhlasan bukanlah pengorbanan.” Aku merindukan petuah-petuah ayah. Aku butuh sudut pandang ayah sebagai laki-laki. *** “Mana yang lebih bagus? Buku atau internet?” “Sama-sama bagus. Buku adalah jendela dunia. Internet juga jendela dunia. Orang butuh internet untuk membuat buku, sebab internet menyediakan informasi. Tapi, internet juga perlu buku. Kalau nggak ada buku, internet nggak ada.” “Lebih dulu buku ya, daripada internet?” “Maybe.” “Lagi, mana yang lebih bagus? Perpustakaan atau Wi-Fi di sekolah?” “Perpustakaan.” “Kenapa?” “Perpustakaan itu penghasil ketenangan. Kalau Wi-Fi, isinya anak-anak sampai bapak-bapak tukang ojek pada main game.” Malik tertawa. “Pelipismu lebam?” “Eh, iya. Disengat tawon.” Sambil memegangi pelipisnya. “Di mana?” “Di sekolah.” “Di sekolah mana ada tawon?” “Ada.” “Aku inget! Tawonnya jurusan IPA, ya?” “Ha ha ha…” “Bener, kan?” Malik nyekikik. “Hebat, kan, aku?” “Hah?” “Belum sampai setahun sekolah di sini, sudah berhasil menarik perhatian. Ha ha ha…” “Hebat…” “Tapi, lebih hebat kalau menarik perhatian lewat prestasi. Bukan dengan berantem.” “Aku nggak berantem…” “Tapi?” “Diantem. Ha ha ha…” Di tribun lapangan basket, aku duduk dengan Malik. Sebenarnya tadi juga ada Nissa duduk di sini. Tapi, dia sedang pesan siomay di Mas Arif karena sebelum berangkat sekolah dia nggak sempat sarapan. “Kenapa ngelakuin hal bodoh yang bisa memancing emosi orang?” “Emosi siapa?” “Kak Tio.” “Siapa dia kok berhak emosi?” Iya juga, sih. “Aku atau dia, belum berhak emosi atas kamu.” “Apanya? Lah, kamu sering emosi waktu aku di deketin Kak Tio.” “Mana ada aku emosi. Aku hanya melindungi, tahu.” “Buat apa?” “Ya, karena aku tahu kamu nggak suka sama dia.” “Tahu dari mana?” “Eh, di sekolahku dulu, di Bandung, ada mata pelajaran meramal.” Hah? “Nggak percaya?” “Percaya.” “Kok percaya?” “Biar kamu nggak semakin jauh kalau bohongnya.” “Kok gitu?” “Kamu, kan, tukang bohong.” “Mana ada aku bohong.” “Yang waktu telat pelajarannya Bu Elsa itu. Siapa yang bohong dengan bilang habis bayar SPP, padahal habis ke kantin.” “Lah, itu emang aku habis bayar SPP. Tapi habis ke ruang TU itu aku ke kantin. Kan gurunya nanya habis dari mana, ya kujawab habis bayar SPP. Coba dia tanya lagi, habis dari bayar SPP ke mana lagi, pasti aku jawab terus ke kantin. Sementara, gurunya nggak tanya gitu, ya udah. He he he…” Detik itu, dia merasakan cubitan pertamaku. “Tahu nggak, sih? Ketika perempuan nyubit laki-laki itu artinya dia suka sama orang yang habis dia cubit.” “Mana ada filosofi kayak gitu.” “Ada. Orang nyubit itu tandanya apa?” “Gemes.” “Makasih. Ha ha ha.” Kami bersenda gurau sambil menunggu Nissa kembali dari kantin. Momen dengan Malik ini sebenarnya tidak terduga. Berawal dari aku yang duduk sendirian di tribun, sementara aku malas buat ke kantin, tiba-tiba Malik ke sini dan menemaniku duduk. Ketika Nissa sudah kembali dari kantin, bel masuk berbunyi. “Makan di kantin? Kukira dibawa ke sini.” “Iya, kalau gitu kan, aku nggak bisa minta,” sahut Malik. “Dih, nggak enak tahu. Aku makan, kalian melongo doang.” “Eh, sejak kapan di sini, Mal?” “Enak dilihat kalau sudah akur.” Nissa meringis. “Ayo, masuk, yuk. Habis ini aku ada kelas ekonomi.” “Habis makan, kenyang, tidur.” Malik mengejek. “Mana ada aku kayak gitu.” Setelah itu, aku kembali ke kelas dengan Malik. Nissa sudah melengos untuk menuju ke kelasnya sendiri. Aku agak canggung sebenarnya berjalan beriringan dengannya. Tapi, aku nggak mau dia berada di depanku. Dia juga nggak mau aku yang berjalan di depannya. Daripada terus-terusan berantem sebab ha kecil, jadinya aku berjalan di sampingnya. Sampai-sampai, ruang kelas XII yang aku lewati sama Malik, tidak sedikit siswa yang ada di situ melemparkan tatapan yang kurang nyaman. Terutama kaum perempuan. Ternyata enak juga kalau sedikit cari masalah. Toh, aku dengan Malik hanya sekadar teman biasa. “Aku hari ini pulang terlambat.” Secara tidak sengaja, suaraku keluar. Padahal awalnya aku hanya memikirkan kalau mengingat hari ini hari sabtu, aku pulang terlambat sebab harus mengurus informasi yang harus dipublikasikan di mading sekolah. “Tumben berani ngomong ke aku?” “Eh, aku ngomong sama diriku sendiri kok.” Aku mencoba mencari alasan. “Mana ada kayak gitu. Kalau ngomong sama diri sendiri itu di dalam hati.” “Ya, kan mulut-mulutku sendiri.” “Ada Bu Ema di belakang!” Malik terkesiap dan mencoba berlari. Karena refleks, aku juga ikut berlari. “Tapi bohong! Ha ha ha.” Hari itu dia menerima cubitanku yang kedua. “Gemes lagi?” serunya. “He he he. Awas aja nanti.” *** “Kenapa ekskul ini nggak sekalian jadi kayak radio sekolah gitu?” “Dulu pernah ada wacana kayak gitu, sih. Tapi nggak terealisasi. Dianggap siswa-siswa sudah terbiasa dengan mading.” “Ya, kan, lebih efektif aja. Kalau pakai konsep siaran radio gitu, yang lain nggak perlu repot-repot ke mading dan nggak harus uyel-uyelan.” “Makanya, tapi ya, gimana, udah keputusan dari kepala sekolah. Ekskul ini sebenarnya nggak terlalu diperluin juga. Makanya, tentang peningkatan dari ekskul ini semuanya hanya sebatas wacana.” Aku dan Malik sedang ada di ruangan yang biasa dipakai anggota ekskul pers berkumpul. Seperti biasa, dia sengaja pulang terlambat dengan alasan motornya dipinjamkan ke Nissa, sebab Nissa ada tugas kelompok di rumah temannya. Alhasil, Nissa juga nggak ikut nemenin aku kumpul di sini. Ada Dhea juga, anggota dari kelas sepuluh yang baru bergabung yang telah kuajari beberapa menit lalu tentang bagaimana caranya membuat konsep berita yang akan dipublikasikan. “Sebenarnya ekskul ini lumayan. Bagi mereka yang nggak punya kegiatan lain di sekolah dan pengin punya kegiatan, tapi yang kegiatannya nggak terlalu padat, ya ke sini jadinya. Antusiasnya juga lumayan.” “Tapi apa yang di dapet?” Sepertinya sudah aku jelaskan sedikit tentang ekskul pers ini. Tapi aku ingin menyinggung lagi supaya lebih spesifik. Manfaat ekskul ini bisa mengembangkan kemampuan menulis. Khususnya dalam hal menulis berita. Juga, membuat rasa ingin tahu seseorang bisa semakin produktif dan membuat seseorang bisa lebih reaktif dengan kejadian-kejadian di sekitarnya. “Kan ikut OSIS juga bisa.” OSIS identik dengan sebutan organisasi primer yang ada di sekolah. Eksistensinya benar-benar sangat dibutuhkan. Bisa dibilang, OSIS ini adalah organisasi paling sibuk dan paling produktif yang ada di sekolah. Siapapun siswa yang menjadi bagian dari OSIS, kebanyakan pasti dikenal oleh guru. Sebab, seluruh kegiatan yang dibuat oleh sekolah atau pihak luar yang melibatkan sekolah, pasti OSIS juga terlibat. OSIS menginisiasi segala hal konsep kegiatan yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Apapun itu. “Tapi kebanyakan belagu-belagu, ya? Kadang secara akademis nggak terlalu pinter, tapi semua itu ditutupi dengan keaktifannya menjadi bagian dari OSIS.” Malik menambahi. Kebanyakan memang seperti itu. Tapi, judgement ethics seperti itu jarang diluapkan terang-terangan pada anggota OSIS secara langsung. Tapi memang, rata-rata anggota OSIS itu kecerdasannya sama rata. Tidak terlalu pintar, juga tidak bodoh-bodoh amat. Dari segi bidang fokus apapun itu. Entah yang termasuk SIE Ketaqwaan—yang biasa mengurus konsep-konsep kegiatan yang berkaitan dengan kajian teologi, SIE Kenegaraan—yang mengurus kegiatan-kegiatan seperti upacara setiap hari senin, SIE Jasmani—yang mengurus konsep setiap kali ada event lomba olahraga, dan lain-lain. Kemerosotan mereka—anggota OSIS—dalam bidang akademis tidak bisa semata-mata disalahkan karena kesibukan mereka mengurus kegiatan-kegiatan di sekolah. Tapi tidak kekompakan para anggotanya juga pembina OSIS dalam mengorganisir struktur yang ada di dalamnya, juga lemahnya keterpaduan komunikasi kolektif antara anggota dan pembina. “Perwakilan dari OSIS pernah mengadu ke kami tentang keluhannya itu. Karena dianggap diperolok, bukan diperolok, sih, tapi lebih kayak dikritik oleh guru mata pelajaran yang mengatakan kalau mayoritas anggota dari OSIS kalau lagi di kelas itu nggak serius. Jadi, nilainya selalu pres dengan KKM. Apalagi, tidak satu pun di satu sekolah ini, anggota OSIS yang bisa meraih peringkat sepuluh besar di kelasnya.” “Lalu?” Lantas, atas aduan itu, kami—anggota pers—mem-publish isu itu di mading sekolah dan disampaikan— dengan bantuan anggota pers— pada pembina OSIS khususnya. “Pembina memberikan feedback langsung kepada anggota OSIS bahwa ada inkonsistensi dan motivasi yang salah dari para anggota OSIS yang menyebabkan kegaduhan itu terjadi. Pembina melayangkan kritik pedas habis-habisan karena anggota OSIS sendiri pun punya inisiatif sendiri buat mengadakan rapat pribadi yang sampai melebihi jam empat sore. Bahkan bisa hingga sampai maghrib. Padahal itu di luar ketentuan yang dicanangkan oleh Pembina. Harusnya, jam segitu mereka sudah di rumah dan mengerjakan tugas sekoalh dan belajar.” “Jadi mereka seperti mencari suaka di OSIS, ya?” “Bisa jadi begitu memang, kalau soal motivasi mereka ikut OSIS. Mencoba menutupi kelemahan akademiknya dengan bergabung di OSIS. Karena dengan ikut OSIS, menurut dia bisa terlihat oke. Padahal kalau males belajar ya, males aja.” “Jadi ekskul ini bagus, dong. Perannya juga penting banget, loh. Bisa meluruskan isu.” “Kenapa kita jadi ngomongin OSIS, ya?” Tidak tahu kenapa, ketika aku dengan Malik, pembahasan kita selalu berbobot—kuanggapnya begitu. Sampai lupa bahwa Dhea telah selesai membuat konsep berita di komputer.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN