Rutinitas ibadah di Gereja berakhir setiap jam sepuluh di minggu pagi. Kami pulang ke rumah langsung diterpa panas, suara rong-rongan angkutan dan para pengemudi bentor tua yang tak kenal lelah mengantar penumpang.
Aku selesai menyapa Nissa beserta keluarganya. Ayah Nissa yang semakin buncit dan Ibunya yang semakin cantik. Ayahnya usai naik pangkat dua bulan yang lalu. Aku mengucapkan selamat. Hebohnya, perkara buncit ayahnya itu bukan sebab sabet kanan sabet kiri. Dia bekerja keras. Selain mengerjakan tugas rutin seharian mengatur lalu lintas, dia adalah orang yang jujur. Buah dari kejujurannya itu adalah pangkat yang lumayan menjanjikan. Meski Nissa terkadang mengeluh karena uang saku sekolahnya kurang.
Ibunya sangat murah senyum, apalagi setelah dipastikan suaminya telah naik pangkat. Berulang kali menasehatiku supaya cepat lulus dan semoga cepat dapat kerja, dan biar dapat pacar. Pernyataan itu sering muncul ketika aku bertemu dengannya. Dalam suasana apapun itu. Makanya, aku senang kalau ketika bertemu dengannya, aku sambil bawa bunda, langsung di skak mat sama kalau hidup nggak semudah itu rentetannya.
Menurutku, rentetan-rentetan itu bisa berpengaruh ke mental seorang anak, bisa dianggap menjadi beban. Untungnya, dari kami—aku dan Nissa—selalu menganggap itu sebagai gurauan saja. Tapi, tetap ada upaya obsesi untuk memikirkan ke arah sana.
Hari ini juga hari bersejarah karena aku bertemu dan bersapa dengan keluarga lengkap dari Malik Adnan Pratama. Perawakan Malik dengan mata cokelat dan kulit tubuhnya meniru seperti ibunya, sama persis. Ayahnya sangat tampan. Kulitnya kuning langsat, bulu di tangannya tidak begitu lebat, dan lirikan mata dari kaca matanya cukup adem. Kami bertegur sapa secara formal. Masing-masing orang tua saling memperkenal diri dan membawa nama anaknya sebagai penambah topik pembahasan. Juga sama-sama memuji kelebihan anak dari lawan bicara masing-masing. Bunda memuji Malik yang punya kompetensi pengetahuan yang bagus, sementara pihak orang tua Malik, memuji yang cantik, manis, dan mengatakan aku punya kemampuan mengimbangi apa yang Malik bicarakan.
Aku amati dalam waktu singkat, kalau keluarga Malik bukan pemilih dalam berinteraksi sama orang. Mereka sangat ramah dengan orang-orang yang baru mereka kenal. Tidak membatasi diri dengan siapa pun. Hal itu tercermin pada sifat Malik yang tidak membatasi diri dengan berkawan sama siapa. Rendi yang notabene bukan anak satu sekolahnya, bisa jadi temannya sampai sekarang. Dia termasuk orang yang nggak memberikan klasifikasi latar belakang sosial sebagai alasannya berteman. Orang tuanya juga, entah itu adalah bunda, atau pedagang kaki lima yang dia temui dan ngobrol bersama dengan tawa, semua diajak mengobrol layaknya orang yang sudah kenal lama. Orang tua dan anak sama saja, sama-sama doyan ngomong.
Aku mulai mengenali mereka dari berbagai sisi. Di satu sisi, karakter Malik dengan pengaruh orang di sekitarnya. Kelebihan masing-masing anak yang diketahui oleh masing-masing setiap orang tua. Tentu nggak ada rasa rungkan bagi kami untuk terus berinteraksi.
Aku, Malik, semesta dengan segala macam isinya.