Memori: Dua

2179 Kata
“Bunda, aku habis maghrib nanti keluar, boleh?” “Sama Nissa?” “Bukan.” Aku menjawab dengan sedikit skeptis. Bunda yang tadinya fokus memandang layar laptop, langsung melihat ke arahku. “Sama siapa?” “Aku diajak temen, sih, bun.” Aku mendekat ke arah bunda. “Tahu saudaranya Nissa yang namanya Malik?” Bunda mesam-mesem. “Dia sih, yang ngajak. Di Kedai Mbak Devi, soalnya nanti ada pertunjukan pantomim juga ada band di sana nanti.” “Siapapun dia, kalau mau ngajak anak bunda main ke luar, harus berani jemput di rumah.” Sontak, aku terpaksa menyembunyikan keterkejutanku. Ketika janjian dengan Malik, aku hanya mengatakan kalau berangkat naik motor sendiri-sendiri—tepatnya, bisa langsung ketemu di Kedai Mbak Devi. Aku tidak memintanya menjemputku di rumah. Tapi, setelah bunda bilang begitu, aku jadi semakin ragu. Dalam hal ini, aku ragu karena aku tidak pernah dijemput anak laki-laki di rumahku. Kalau hal ini sampai terjadi, betapa beruntungnya si Malik itu. Bisa menjemput princess kesayangan bunda, sekaligus menjadi orang pertama yang melakukan itu. “Tumben malam mingguannya nggak sama Nissa?” “Iya, dia lagi sibuk ngerjain tugas karya seni membuat batik. Soalnya senin besok itu sudah harus dikumpulin.” Bunda mengangguk. Sejurus kemudian, ponselnya berdering. “Ayah telfon!” Aku menyambut. Bunda menyuruhku mengangkatnya. Aku mengobrol dengan ayah. Aku menempel di pangkuan bunda. Sesekali bunda mengejekku sebab dianggapnya aku sedang dekat dengan laki-laki. Ayah menanggapinya dengan tertawa. Aku menyangkalnya berulang-ulang. “Endak, loh, ayah! Aku pengin lihat pantomim. Nissa nggak bisa diajak keluar soalnya lagi ngerjain tugas…” Aku merengek. “Nggak apa-apa. Buat pengalaman.” Ayah tertawa dan mengejekku lagi. “Asal nggak kelewat batas aja.” “Endak lah, yah. Putri kesayangan ayah nggak selemah itu, tahu.” “Nurun siapa kalau nggak bundanya?” Bunda menyahut. “Mau ayah sewain bodyguard?” tawar ayah, tapi aku tahu ini adalah ejekan. “Tapi, buat apa ayah nyewain bodyguard, kalau laki-laki yang keluar sama kamu nggak bisa sekaligus menjadi bodyguard buat kamu. Dia nggak akan berguna jadi laki-laki kalau nggak mampu jagain perempuan yang ada di sampingnya.” Petuah ayah muncul lumayan menusuk. Sejak kapan kultur laki-laki harus menjaga perempuan? Apa karena lazimnya dianggap kalau laki-laki lebih kuat daripada perempuan? Kuat dalam hal apa? Bukankah perempuan bisa menahan rasa nyeri setiap bulan dan sangat mengganggu aktivitas karena menstruasi? Kalau laki-laki yang mengalami itu, dia akan pingsan di hari ketujuh sebab organ-organ yang ada di dalam tubuh laki-laki tidak mampu untuk menerima itu. Aku ingin segera menanyakan langsung secara ayah, tapi nggak enak juga kalau dibahas melalui telepon. Karena aku pasti mengira kalau penjelasannya bakal panjang. “Yang penting, kalau dia memang laki-laki dan niat ngajak putri ayah keluar, dia berani kalau disuruh jemput ke rumah.” Setelah itu, ayah mematikan teleponnya karena ingin melanjutkan pekerjaannya. Aku ikut menemani bunda ke kampus untuk menyerahkan berkas nilai mahasiswa yang harus di-input. *** Dari jam 10 pagi hingga jam 12 siang aku di kampus, setelah itu bunda mengajakku pulang. Begitu sampai di rumah, aku langsung ke kamar dan ingin segera tidur. Di perjalanan menuju kampus hingga pulang ke rumah, naik motor dengan suhu panas di Kota Surabaya itu sangat melelahkan. Meskipun jarak dari rumah ke kampus tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit. Aku menyalakan laptop dan menonton film yang baru saja aku download ketika aku ikut bunda di kampus tadi. Yang tadinya aku merasa kelelahan akibat cuaca panas, menonton film membuatku lupa sudah hampir mau jam tiga dan aku dalam kondisi mengantuk yang cukup akut. Aku butuh satu jam untuk tidur sebelum nanti aku harus bangun, mandi dan menuju ke Kedai Mbak Devi. Nahasnya, tidurku kebablasan dan pada jam lima sore aku baru terbangun. Aku bergegas merapikan tempat tidurku dan menuju ke kamar mandi. Sampai di depan pintu kamar mandi, ternyata di pintu kamar mandi tertutup dan bunda lebih dahulu mandi. Sambil meneriaki bunda kalau aku sedang menunggunya, aku baru teringat kalau bunda dan ayah mengatakan kalau Malik harus menjemputku di rumah dan aku lupa untuk konfirmasi ke Malik. Sementara, untuk melakukan itu, aku nggak punya cara buat mengkonfirmasi selain menyuruh Edward terlebih dahulu yang kemungkinan mempunyai nomor telepon Malik. Kalau aku berangkat sendiri, aku nggak dibolehin sama bunda. Setekah panik dan memikirkan ulang supaya nggak harus aku ambil pusing, aku tetap mandi. Setelah maghrib, aku kembali duduk di ruang tamu dan melanjutkan menonton film. “Kok nggak siap-siap? Katanya mau keluar?” tanya Bunda. Ingin aku menjelaskan kalau aku belum meminta Malik untuk menjemputku, tapi aku hanya bilang nanti saja. “Lah, itu siapa di depan?” Terdengar suara motor di depan rumah. Suara motornya seperti nggak asing terdengar. Seperti deru mesin motor Malik. Tapi masa iya dia ke rumahku? Setelah aku memastikan di depan pintu rumah, ternyata benar penunggan motor itu adalah dia dengan jaket jeans-nya. Aku mematung sekejap karena benar-benar kaget kalau dia nyamperin aku ke rumah. Padahal awalnya aku sempat mengira kalau malam mingguku sekarang, kulalui hanya dengan menonton film di rumah. Setelah bunda menyusul dari arah dan berdiri di ambang pintu untuk memastikan seperti apa penunggang motor itu, aku terkesiap dan langsung ke kamar buat ganti baju. Terdengar suara bunda yang mempersilakan Malik masuk untuk menungguku di ruang tamu. Jantungku berdegup kencang setiap kali Malik menampakkan dirinya di depanku. Tidak hanya saat di luar, tapi juga di sekolah. Itulah alasan kenapa aku sedikit terlihat jual mahal dan seperti menghindarinya. Karena merasakan intensitas jantungku yang memompa lebih cepat itu rasanya tidak biasa bagiku. Aku jadi kebingungan sendiri. Karena rasa terkejut itu, aku terlihat agak bersikap aneh dan malu-malu di depan bunda yang sedang menemani Malik di ruang tamu. Tidak ingin lama-lama berada di situasi seperti ini, aku langsung memberikan kode mata pada Malik supaya pamit ke bunda. Setelah pamit ke bunda, aku dan Malik langsung tancap gas menyusuri ruas-ruas jalan dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi aku memikirkan kenapa dia tiba-tiba di depan rumahku, di sisi lain aku penasaran apakah Malik dan bunda sempat membicarakan sesuatu di ruang tamu tadi. Dia memperlambat laju motornya. Seperti tahu kalau aku sedang mempertanyakan sesuatu padanya. “Kenapa pelan-pelan?” tegurku. “Pertunjukan pantomimnya keburu dimulai.” “Masih heran kenapa aku tiba-tiba jemput kamu?” “Heran juga kalau aku tahu alamat rumahmu?” Malik melemparkan pertanyaan bertubi-tubi. Aku merasa tersudut. Apa benar, ya, kalau di sekolahnya di Bandung dulu, ada mata pelajaran meramal? “Untuk mengetahui keadaan perasaan seseorang, sudah cukup melihat dari ekspresi di wajahnya.” Dia nyekikik. Aku semakin tersudut. “Apa keunikan pantomim menurutmu?” “Dia mampu menunjukkan bahwa keindahan di bumi tidak hanya bisa didapatkan melalui suara. Yang mana itu berguna buat penderita tuna rungu.” Setiap manusia selalu memerlukan hiburan untuk mengatasi kejenuhan yang dihadapi dalam kehidupan. Salah satu hiburan yang bisa dnikmati adalah seni pertunjukan teatrikal, yang umumnya disampaikan dengan kata-kata, gerak tubuh dan/atau kombinasi antara keduanya. Tapi, pantomim ini berbeda. Dia termasuk seni teater yang ditampilkan tanpa penggunaan bahasa verbal, melainkan hanya dengan bahasa isyarat. Di mana seorang aktor atau peraganya mencoba untuk mengungkapkan suatu adegan atau kisah hanya mengandalkan gerakan tubuh dan ekspresi wajah. Hal ini memberikan keunikan tersendiri. Imajinasi penonton lebih bermain dua kali lipat untuk menerka-nerka, apa yang coba disampaikan oleh aktor tersebut. Mungkin sebagian besar orang mengerti tentang seni pantomim ini ketika melihat film dari Charlie Chaplin. Dan karena film tersebut, seni pantomim jadi lebih banyak dikenal orang dan semakin meningkat pula mime-nya. Mime dalam Encyclopaedia Britannica adalah sebutan bagi orang yang melakukan pantomim. Dan seni pantomim ini awalnya dimainkan di Italia. “Kamu penasaran ingin tahu kenapa aku tiba-tiba ada di depan rumahmu?” Sebenarnya aku terkejut mendengar Malik seolah-olah seperti mau menjelaskan itu. Tapi, aku nggak ingin mengatakan kalau aku memang penasaran. Kok bisa dia tiba-tiba nongol di depan rumahku? Juga itu adalah hari pertama dia ke rumahku. Tahu alamatku dari mana? Dari Nissa? Malik mungkin gengsi buat nanya langsung ke Nissa. Ah, persetan. “Aku sempat ke sini sebelum jemput kamu. Tapi, setelah kupikir-pikir, nggak etis kalau laki-laki hanya menunggu.” “Lalu, tahu rumahku dari mana?” Malik tersenyum. “Nah, penasaran juga, kan?” Nadanya agak sedikit sengak dan mengejek. Ah, sial. “Aku tanya Nissa tadi,” singkatnya. “Bisa-bisanya memanfaatkan otoritas sebagai sepupu dia terus nanya-nanya tentangku.” Aku menggerutu. “Dih, nggak mudah loh, cari informasi soal kamu dari dia. Udah lama aku nanya soal rumahmu, dia cuma jawab, cari aja sendiri. Tadi itu emang aku lagi hoki aja. Si Nissa lagi repot ngerjain batiknya, terus mungkin juga agak kesel aku tanyain terus soal alamatmu.” Kami pulang jam delapan malam. Aku sudah memberitahu Malik kalau aku nggak mau pulang malam-malam. Dan nggak mau membuat bunda cemas karena malam minggu ini adalah hari pertama aku keluar dengan laki-laki. “Aku termasuk laki-laki yang beruntung, dong. Aku bangga dengan diriku sendiri,” ujarnya. Aku hanya diam dan masih merasa terheran-heran tentang sikap Malik sejauh ini. Apa maksud dia yang sebenarnya? Melakukan seperti yang dia telah lakukan padaku, nggak biasa dilakukan oleh laki-laki lain. Sampai nekat ke rumahku tanpa harus mengkonfirmasi dahulu padaku. Laki-laki pada umumnya saja, untuk datang ke rumah perempuan, harus konfirmasi dulu berulang-ulang, karena merasa takut bila yang nemuin bukan si perempuan, melainkan bapak atau ibunya. Apalagi ada yang malah janjian di gang buntu. Tapi, kali ini, aku mengakui kalau Malik memang punya nyali. Meski aku belum tahu apa yang melatarbelakangi dia melakukan itu. Nggak gampang soalnya mengalokasikan waktu untuk seseorang yang menurutku tidak ada hubungan apa-apa. Ya, aku mengambil jalan tengahnya saja, mungkin Malik lagi bosan di rumah. “Aku ada oleh-oleh buat kamu sama bunda…” Malik menepikan motornya. Menuju ke arah penjual di pinggir jalan. “Hah?” “Arum manis. Atau yang disebut dengan ar-ba-nat.” Belum sempat aku menyangkal, Malik sudah membelinya. Lalu diserahkannya makanan itu padaku dan kembali menaiki motor menuju rumahku. “Kenapa aku beli itu?” Aku diam. “Karena itu harganya lima ribuan. Kalau nantinya itu nggak kamu makan, atau bunda nggak mau. Aku bisa mengikhlaskan uang lima ribu itu dengan gampang,” tuturnya. Agak aneh makhluk ini sebenarnya. Selalu melakukan dan mengatakan hal-hal yang nggak mudah buat aku terawang. Tampilan nyentriknya; sepatu converse putih yang terlihat sudah tiga minggu tidak dicuci, jaket jeans. Tapi yang dia beli adalah makanan yang sebenarnya dia tahu kalau itu adalah makanan anak-anak. “Oh, jadi beli ini karena harganya murah?” “Nggak juga, sih. Karena aku tahu, kamu dan bunda sudah lama nggak makan itu Meskipun makanan itu habis dengan dua detik hisapan, tapi nggak bisa bohong kalau makanan itu sudah nempel di mulut, nanti pasti mau lagi dan lagi.” Aku tersenyum di belakang. “Dan oleh-oleh itu kan, identik kalau kita habis bepergian jauh.” “Bukannya kita habis dari Italia?” Aku paham maksudnya. “Ha ha ha…” Kami tiba di rumah. Sebelum Malik pergi, dia pamitan dengan bunda dan disambut ramah olehnya. Aku yang nampak agak linglung melihat pemandangan ini. Aku terlihat seperti perempuan yang sudah dewasa saja. Malam mingguan dijemput dan diantar pulang oleh laki-laki. Lebih ngerasa nodoh lagi, aku memeluk arum manis pemberian dari dia. Ketika Malik sudah tidak terlihat dari rumahku, aku masuk dengan bunda. Sambil nyekikik dengan mengejek kalau hasil dari kencanku adalah satu plastik meggembung yang isinya arum manis. “Oh, ini hasil dari malam mingguan sama Malik? Arum manis. Hem…” Bunda langsung menyerobot arum manis itu. “Sudah lama, bunda nggak makan arum manis. Pengin beli dari kemarin-kemarin selalu nggak kesampaian.” Aku merebahkan punggungku di sofa. Bunda melumat arum manis itu sampai lupa kalau itu adalah pemberian Malik buatku. Ya, walaupun Malik bilang itu buat kami berdua. “Dia beli ini nggak sambil merayu kamu?” “Merayu?” “Siapa tahu ngerayu begini, apa persamaan kamu dengan makanan ini? Sama-sama manis. He he he…” Bunda ngeledek. “Musti laporan ke ayah, nih.” “Bunda sama ayah, nih, kayak nggak pernah muda aja.” “Ya, pernah atuh. Masa begitu lahir langsung tua?” Bunda sambil makan arum manis itu dan menyisakan hampir nggak ada setengahnya. Ternyata asumsi Malik salah kalau kami berdua nggak suka. Justru apa yang dia bawakan, menambah kehangatan di antara kami. “Tapi, pacarmu tadi…” “Temen, Bunda!” Aku menyangkal. “Iya, temenmu tadi itu… Dia termasuk berani dan paham tentang tanggung jawab laki-laki,” ujar Bunda sambil menjangkau remote televisi yang ada di meja depannya. “Kenapa bunda?” “Bunda tadi kan, ngobrol sedikit sama dia di sini sebelum kalian berangkat.” Oh, iya. Aku lupa tanya langsung ke Malik kalau dia habis ngobrol dengan bunda. “Kalian nggak saling simpan nomor telepon, kan?” “Enggak.” “Terus kenapa dia tiba-tiba ada di depan rumah, padahal kalian nggak janjian ketemu di sini? Lagian, dia termasuk baru loh, di sini.” “Kata dia tadi, nggak etis kalau laki-laki cuma bisa nunggu.” Bunda diam, mematung. Matanya menerawang ke langit-langit. “Persis sama yang dibilang ayahmu dulu ke bunda, waktu pertama kali jalan berdua.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN