Kerap kali aku mencoba untuk memutuskan agar diriku tidak terlibat dalam suatu hal yang riskan. Memang benar, semakin sering seseorang berada dalam zona nyamannya, semakin sensitif pula keadaan jiwa dan perasaannya.
Aku yang memutuskan untuk sendiri.
Aku yang memutuskan untuk menyendiri.
Aku yang memutuskan untuk lebih baik tidak ditemani.
Aku yang memutuskan untuk melawan seorang diri.
Aku sadar mustinya aku memang tidak harus lari dalam berbagai persoalan baru-baru ini. Ya, aku memang tidak lari. Bahkan aku berdiri di kakiku sendiri. Lebih tahu gemetarnya, hingga aku lebih kuat. Aku berpikir dua kali kalau melibatkan diri dengan laki-laki itu tidak sepenuhnya rumit, hanya saja musti benar-benar memilih laki-laki yang tepat saja.
Memang ada benarnya, hal ini sama seperti adrenalin perempuan pada umumnya. Perasaan bosan yang sempat aku rasakan sebelumnya, aku cenderung dengan cepat merasa lelah. Perempuan tidak sepenuhnya menyatu dengan penjara yang mereka buat sendiri, dan ini adalah salah satu alasan kenapa pertemanan dengan laki-laki merupakan hal penting bagi perempuan. Sebenarnya juga, ketidakmampuan independen ini menimbulkan sikap takut yang selalu berlanjut pada keseluruhan hidup perempuan, bahkan berpengaruh juga dalam aktivitas sehari-hari.
Di sisi lain, aku atau kebanyakan perempuan awalnya beranggapan bahwa keberhasilan diperuntukkan hanya untuk laki-laki: seperti yang kutahu, laki-laki kebanyakan tidak takut untuk bermimpi atau bercita-cita terlalu tinggi. Aku juga mengamati keadaan-keadaan sosial di sekitar—juga di berita-berita media sosial—gadis-gadis yang menginjak usia empat belas tahun mulai membandingkan diri dengan anak laki-laki, yang menyatakan kalau anak laki-laki relatif lebih baik—mungkin saja bukan relatif, tapi keseluruhan. Aku tahu bahwa hal ini adalah suatu penarikan kesimpulan yang dapat melumpuhkan semangat. Justru hanya akan membawa rasa malas dan mediokritas. Seorang gadis muda, yang tidak mempunyai rasa hormat eksklusif terhadap jenis kelamin yang lebih kuat, mencela seorang laki-laki atas kepengecutannya—padahal hal itu sendiri menandakan kalau dia sendiri adalah seorang pengecut.
“Bukan kah kau yang mengurung diri dalam kamar tidak ada bedanya dengan mereka yang berkoar-koar tanpa akal?”
“Oh, perempuan itu berbeda. Dia istimewa!” tegas seorang gadis, membela diri.
Alasan mendasar untuk pemakluman sejenis itu adalah gadis muda tidak berpikir bahwa dia yang betanggung jawab atas masa depannya sendiri. Dia tidak melihat fungsi dari menuntut terlalu banyak dari dirinya karena nasibnya, pada akhirnya hal itu tidak bergantung pada upaya-upaya dia sendiri. Dia merendahkan dirinya pada seorang laki-laki bukan karena seorang gadis menyadari inferioritasnya, tetapi karena seorang gadis menerima inferioritasnya sehingga menjadikannya sebagai kebenaran.
Lalu sebetulnya, bukan dengan mengembangkan kualitas sebagai manusia, maka dia akan memperoleh nilai di mata laki-laki: itu lebih dengan membentuk diri dia linier dengan apa yang mereka impikan. Saat masih belum cukup punya pengalaman, dia tidak bisa selalu mawas terhadap realitas ini. Dia mungkin seagresif anak laki-laki, juga mungkin berupaya membuat penaklukan mereka dengan suatu keterkaitan yang keras, sebuah kebanggaan yang terang-terangan, namun sikap ini hampir pasti akan menjatuhkannya pada ketidakberhasilan. Seluruh gadis, mulai dari yang paling nurut sampai yang paling suka membantah, belajar dari waktu bahwa untuk menyenangkan mereka harus menyerah. Ibu-ibu mereka memerintahkan agar memperlakukan seluruh anak laki-laki tidak lagi sebagai kolega atau rekan, tidak melakukan hal-hal yang lebih jauh dan mengambil tugas pasif. Jika mereka berharap memulai suatu persahabatan atau pacaran, maka mereka harus bisa bersikap dengan hati-hati agar menghindari kesan inisiatif di dalamnya: laki-laki tidak menyukai perempuan yang mempunyai minat akan ilmu pengetahuan, atau perempuan berotak, terlalu berani, berbudaya, pintar, terlalu banyak karakter, yang mana hal itu akan mengancam atau menakuti, mereka. Di dalam banyak n****+, seperti yang pernah dibilang George Eliot, adalah si pirang dan si t***l yang akhirnya menang atas si rambut cokelat yang sifatnya lebih mirip dan dalam The Mill on the Floss of the Mohicans, Alice dengan hambar memperoleh hati si pahlawan, bukannya Clara yang gagah berani, sedangkan dalam Little Women, si Jo yang menyenangkan hanya teman bermain masa kanak-kanak bagi Laurie: cintanya diperuntukkan bagi si keriting Amy yang tawar.
Menjadi feminin adalah menjadi tampak lemah, gagal, dan patuh. Dan untuk menjadi feminin, mustinya aku tidak hanya pandai berdandan saja, atau membuat diriku siap, tetapi juga mengekang spontanitas, dan menggantikan dengan sikap anggun dan pesona terlatih yang diajarkan kepadaku oleh bunda atau para tokoh dalam riwayat sejarah feminisme yang pernah aku pelajari.
“Bunda, bagaimana untuk menjadi perempuan seutuhnya?”
“Susah, Sayang. Kadang bunda itu juga marah, sedikit keras kepala dan arogan. Sementara sifat-sifat itu adalah sifat kelaki-lakian.”
Setiap penonjolan diri akan melenyapkan feminitas dan daya tarik. Petualangan seorang laki-laki muda di dalam eksistensi dibuat relatif mudah oleh kenyataan bahwa tak ada kontradiksi antara pekerjaan sebagai seorang manusia dan sebagai laki-laki: dan keuntungan ini sudah terlihat bahkan di usia kanak-kanak. Melalui penonjolan diri dalam independensi dan kebebasan, dia mendapatkan social value dan sekaligus prestisenya sebagai laki-laki.
Akan tetapi buatku atau gadis muda pada umumnya, hal itu justru sebaliknyha, ada pertentangan antara status sebagai manusia dan keberadaan sebagai perempuan. Dan di sinilah ditemukan alasan kenapa masa remaja bagi perempuan begitu rumit dan merupakan momen yang menentukan. Hingga saat itu, aku atau seorang gadis pada umumnya masih menjadi individu yang otonom: kemudian secara eklektik, aku mulai melepaskan kebebasanku. Aku tidak hanya tercabik-cabik, seperti seorang laki-laki, meski lebih menyakitkan, antara masa lalu dan masa depan, juga dalam sebuah problem yang meledak antara klaim orisinal sebagai subjek, yang aktif, bebas, dan di sisi lain, desakan e****s dan tekanan sosial untuk menerima diriku sebagai objek yang pasif. Kecenderungan spontanitasku adalah untuk memperlakukan diriku sendiri sebagai yang esensial: lantas, apakah bisa aku mengubah pikiranku untuk menjadi yang tidak esensial? Seandainya aku mampu menerima takdirku sebagai entitas yang lain, lalu apakah saya harus mengesampingkan ego saya?
Hal seperti ini merupakan dilema menyakitkan yang harus diperangi seorang perempuan. Terombang-ambing antara hasrat dan perasaan muak, antara harapan dan kecemasan, ini bisa berdampak pada pelemahan tujuan masing-masing perempuan, aku hidup dalam antara kebebasan masa kanak-kanak dan kepatuhan seorang perempuan dewasa. Dalam ketidaktentuan yang seperti ini, sebagaimana aku muncul dari usia canggung, memberi aroma tajam dari buah yang masih hijau.
Reaksi para gadis berjenis-jenis, bergantung pada keadaan yang sesuai dengan berbagai kecenderungan awal. “Seorang ibu kecil, dia akan menjadi ibu, dapat dengan mudah menyerahkan dirinya pada perubahan dan perkembangannya, namun dia bisa saja mengecap seperti ‘si ibu kecil’, suatu perasaan otoritas yang membawanya memberontak melawan penindasan kelaki-lakian. Dia sudah siap untuk mendirikan sebuah matriarkat—sistem kepimpinan yang diprakarsarai oleh perempuan atau ibu—namun tidak untuk menjadi objek e****s dan pelayan.
Biasanya, meski dengan berbagai penentangan, aku menerima feminitasku, aku sudah mengetahui pesona pasivitas, pada peran genit di masa kanak-kanak bersama ayah dan dalam lamunan erotisku: aku menyadari kekuatan feminitas: keangkuhan segera berbaur dengan munculnya perasaan malu akan dagingnya. Tangan itu, tatapan yang menggelorakan perasaannya, ialah daya tarik, sebuah syair teologi: tubuhku tampak diberkahi denan sifat-sifat kebaikan yang gaib: tubuhku adalah harta tak ternilai, sebuah amunisi: aku bangga akan hal itu. Kegenitanku yang kerap tidak muncul selama bertahun-tahun, kebebasan masa kanak-kanak, kini bangkit lagi. Aku mencoba berbagai rias wajah yang tidak biasa dan tata rambut yang berbeda: bukan bermaksud untuk menyembunyikan sembulan p******a, aku memilih memijit-mijitnya agar membesar, aku mempelajari senyumanku di depan cermin.
Hubungan antara perasaan seksual dan daya tarik sangat dekat, sehingga ketika kepekaan e****s tidak b*******h, nihilnya hasrat untuk memuaskan menghinggapi seseorang. Penelitian menunjukkan kalau pasien-pasien yang menderita defisiensi tiroid—dan karena hal itu seseorang menjadi apatis serta suka marah-marah—dapat disembuhkan dengan injeksi ekstrak kelenjar. Mereka mulai tersenyum dan berubah periang, hangat dan ramah. Para psikolog yang terlalu materialistik dengan menyatakan kegenitan merupakan suatu insting yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid: namun penjelasan yang meragukan ini tidak lagi layak di sini daripada di awal masa kanak-kanak. Nyatanya, di semua kasus defisiensi organik—seperti anemia—tubuh tidak berubah menjadi beban: datang sebuah rasa kebencian yang aneh, bukan harapan atau janji apa pun. Saat dia memulihkan keseimbangan dan vitalitasnya, seseorang segera menyadarinya sebagai miliknya dan melewatinya, kemudian mencari transendendi atas yang lain.
Bagiku sendiri, transendensi e****s berarti menjadi mangsa demi mencapai tujuan-tujuannya yang aku buat sendiri. Aku menjadi suatu objek, dan aku melihat diriku sebagai objek. Aku melihat aspek baru dari eksistensiku dengan terkesiap: kulihat kalau aku setelah digandakan, bukannya menyesuaikan secara pas dengan diriku, aku sekarang malah kalah eksis di luar.
Pernah aku baca dalam sebuah literatur yang pernah dikasih bunda ketika aku masih SMP kelas tiga kalau tidak salah ingat. Yaitu karya Rosamond Lehmann, Invitation to the Waltz, membaca itu aku mengerti bahwa Olivia melihat sosok yang nggak dikenal di depan cermin: itu adalah dirinya sebagai objek yang tiba-tiba menentang dirinya. Hal ini menyebabkan suatu emosi yang berlangsung sementara tetapi merumitkan.
“Kini suatu emosi aneh mengiringi ketika memandang ke cermin. Aku tercenung, muncul wujud yang asing, sebuah diri yang baru. Hal ini sudah kedua atau ketiga kalinya terjadi. Aku melihat ke kaca dan memandang diriku sendiri. Apa itu? Tapi ini sesuatu yang lain. Ini adalah wajah yang misterius, gelap sekaligus bercahaya, rambut terurai ke bawah, terdorong ke belakang dan agak naik, seolah-olah tengah berada dalam arus energi yang sangat kuat. Apakah rok ini yang menyebabkan hal ini? Tubuhku tampak tersusun sendiri secara harmonik di dalamnya, untuk kemudian menjadi sentral, meluas, dalam satu waktu statis, dan ada kalanya dinamis, hidup. Itu adalah refleksi seorang gadis muda bergaun merah muda. Semua yang ada di ruangan mencipratkan objek yang tampak terbingkai, menghadirkannya, berbisik, itulah kau…”
Apa yang mengejutkan Olivia merupakan janji yang dia pikir dia baca dalam refleksi atau bayangan itu, bayangan yang dia kenali dalam impian kanak-kanaknya dan itu adalah dirinya sendiri. Namun, gadis muda ini juga menyukai aktualitas jasmaniah dari tubuh ini yang mempesona layaknya yang lain. Lalu, dia memeluk dirinya sendiri, mencium bahunya yang montok, lekukan tangannya, dia memandang dadanya, betisnya, kepuasan diam-diam ini menjadi alasan untuk melamun, dengan ini dia mencari perwujudan cinta kasih pada dirinya sendiri.
Di dunia remaja ada kontradiksi antara cinta pada diri sendiri dan suatu dorongan e****s yang membuatnya menjadi objek untuk dimiliki, narsismenya, sebagai suatu aturan, lenyap saat kedewasaan seksual tiba. Meski makhluk perempuan menjadi target pasif bagi kekasihnya sebagaimana dirinya sendiri, ada kebingungan mendasar dalam erotisismenya. Pada suatu sokongan yang kompleks, dia mencuatkan keelokan tubuhnya sebagai penghormatan terhadap laki-laki kepada siapa tubuh itu ditujukan, dan akan menjadi peringkas yang berlebih untuk mengucapkan bahwa dia ingin terlihat cantik agar mempesona, atau bahwa dia ingin tampak mempesona demi meraih jaminan akan kecantikannya, di dalam keheningan kamar riasnya, di ruang tamu tempat dia berupaya buat mencari perhatian. Dia tidak membedakan hasrat laki-laki dengan obsesi terhadap egonya sendiri. Kerancuan ini terwujud dalam Marie Bashkirtsev. Aku dan kamu sama-sama telah melihat kalau penyapihan yang terlambat menentukan dirinya lebih dari anak-anak yang lain, yang berharap dianggap dan diberi nilai oleh yang lainnya: dari usia lima tahu sampai akhir masa remaja, dia melimpahkan semua cintanya pada khayalannya, dia tergila-gila pada tangan, wajah, dan keanggunannya. Dia menulis:
“Aku adalah pahlawan bagi diriku sendiri.”
Dia ingin menjadi penyanyi agar dilihat oleh publik yang terperangah dan agar beralih memandang mereka dengan pandangan bangga, tetapi autisme ini diterjemahkan dalam mimpi-mimpi romantis, mulai dari usia dua belas tahun dia jatuh cinta. Maka, dia ingin dicintai, dan dalam cinta yang mendalam itu, dia hanya mencari penegasan akan cinta yang dia berikan pada dirinya sendiri. Dia memimpikan Duke of H., yang dia cintai tanpa sekali pun pernah mengobrol dengannya, membuatnya berlutut di kakinya.
“Kamu akan terpesona oleh keagunganku dan kau akan mencintaiku… Kamu hanya berharga bagi perempuan seperti yang aku idamkan.” Lagi-lagi kamu menemukan ambivalensi yang sama pada diri Natasha dalam War and Peace.
Pagi itu dia kembali pada perasaan hati yang disukainya—cinta, dan bahagia dengan dirinya sendiri. “Betapa mempesonanya Natasha!” dia berseru lagi, berbicara seolah-olah ada laki-laki ketiga. “Cantik, bersuara lembut, muda, dan tidak mungkin seorang pun akan meninggalkannya dalam kedamaian.”
Pemujaan diri sendiri tidak hanya diekspresikan dalam diri seorang gadis melalui kekaguman pada bentuk fisik semata, melainkan berharap juga untuk mempunyai sekaligus mengagungkan dirinya secara keseluruhan. Hal seperti ini adalah tujuan dari keintiman buku diary di mana dia dapat bebas menuangkan isi hatinya. Buku diary Marie Bashkirtsev sangat terkenal dan barangkali menjadi model dari genre tersebut. Seorang gadis berbicara kepada buku kecilnya seperti sebelumnya dia berbicara dengan boneka mainannya, dia adalah teman dan orang kepercayaan, dia menanyainya seolah-olah buku tersebut adalah seorang manusia. Di halaman-halamannya, tergoreskan buah kebenaran yang tersembunyi dari kerabat, kawan-kawan, guru-guru, sebuah kebenaran di mana penulisnya tergairahkan dalam kesunyian. Seorang gadis kecil berusia dua belas tahun yang menjaga buku diary sampai dia berusia dua puluh tahun, membukanya dengan tulisan seperti ini:
Aku adalah buku kecilmu Manis, cantik, dan bijaksana
Ceritakan padaku semua rahasiamu
Aku adalah buku kecilmu.
Yang lain memperingatkan: “Dibaca hanya setelah kematianku” atau “Dibakar setelah kematianku.” Perasaan suka berahasia yang berkembang pada diri seorang gadis pada masa sebelum pubertas kemudian menjadi semakin meningkat. Dia membalut dirinya dalam suatu keheningan yang suram: dia tidak akan membuktikan kepada orang-orang tentang ego tersembunyinya yang dia anggap sebagai kebenaran sejati dan faktanya merupakan personifikasi imajiner belaka. Dia mungkin saja berperan sebagai penari seperi Natasha-nya Tolstoy atau semata-mata sebagai sosok yang betul-betul tidak tertandingi yang sebetulnya adalah dirinya sendiri. Selalu ada perbedaan besar antara tokoh ini dengan sosok objektif yang dikenal baik oleh saudara-saudara dan teman-temannya. Dia juga merasa diyakinkan kalau dia tidak mengerti: hubungannya dengan dirinya sendiri lalu bertambah semangat. Dia mabuk oleh kesendiriannya, dia merasa dirinya berbeda, superior, luar biasa, dia berjanji pada dirinya sendiri kalau masa depan akan menjadi ajang pembalasan atas keadaan tak terlalu menggemberikan dari kehidupannya sekarang.
Dari eksistensi yang kecil dan tidak berharga ini, dia melampiaskannya dengan mimpi-mimpi. Dia akan selalu tertarik untuk bermimpi, dan kini dia mencurahkan dirinya pada ikatan ini lebih dari sebelumnya, dia bersembunyi dari dunia yang menakutkan ini dengan ungkapan-ungkapan yang terkesan puitis, dia melimpahkan lingkaran cahaya bulan, awan merah muda, dan malam-malam beledu kepada laki-laki. Dia membuat tubuhnya menjadi kuil pualam, batu mulia berwarna-warni, dan indung mutiara, dia berkisah kepada dirinya sendiri di dongeng yang tak masuk akal. Dia begitu sering tenggelam dalam ketololan seperti itu disebabkan dia tidak mempunyai genggaman atas dunia. Seandainya dia harus melakukan sesuatu dia akan melihatnya dengan jelas terlebih dahulu, namun dia bisa menanti dalam kabut. Laki-laki muda bermimpi juga, petualangan di mana dia berperan aktif. Seorang gadis lebih menyukai sesuatu yang indah daripada petualangan. Dia memancarkan secara samar-samar cahaya sihir kepada semua benda dan seluruh orang. Sihir melibatkan pemikiran tentang sebuah kekuatan pasif, karena dia terpuruk pada pasivitas tetapi juga menghendaki kekuasan. Seorang gadis harus percaya pada sihir, tubuhnya akan membuat kaum laki-laki berlutut di hadapannya. Keseluruhan nasib akan memanifestasikan hasrat-hasratnya tanpa harus melakukan apapun. Sebagaimana dengan dunia nyata, dia berusaha untuk melupakannya.
“Cukup jelas? Akankah kita nanti punya banyak waktu untuk berbicara sepanjang itu?”
“Entahlah. Aku bisa tetap interest untuk berdiskusi, tapi memahami diriku terlibat dalam persaingan dengan seorang gadis, menurutku nggak. Itu sifat laki-laki. Sesama perempuan mustinya fokus untuk membentuk keanggunannya sendiri. Justru dengan itu, dia akan mendapatkan orang yang tepat. Bukan malah dengan persaingan yang sebetulnya menjadi ciri khas laki-laki.”
“Iya, sepeti aku dengan Tio.”
“Oh, iya, bagaimana dengan pelipismu?”
“Lebamnya pelipisku berasal dari kolaborasi antara Rada dengan Tio. Rada menemukanku sedang menculik perempuan cantik dan memaksanya menonton pantomim.” Malik nyekikik.
“Oh, jadi karena Kak Tio membuat semacam kesepakatan agar tidak boleh di antara kalian bertemu denganku di luar, maka pukulan yang dia layangkan ke kamu adalah suatu bentuk hukuman karena kamu melanggar perintah? Dan Rada yang menjadi informannya? Oh iya, paham-paham.”
“Meskipun aku menyetujui kesepakatan itu, memang peraturan ada untuk dilanggar, kan? Dan kalau pun dia marah, dia tidak punya alasan. Sebab siapa dia?”
Aku manggut-manggut.
“Lalu, bagaimana kamu membawa Ica, Fyora, dan Edward?”
“He he he… Rada habis-habisan dimaki oleh mereka bertiga. Dan soal Rada, tenang saja, dia akan mendapatkan sanksi dari Wali Kelas. Mungkin tidak sampai di blacklist. Sebab takut akan ada upaya yang lebih, karena dengan menghukum Rada dengan mengeluarkannya dari sekolah, itu bisa menimbulkan dendam berlebih. Masalah hati seperti ini, tentunya tidak sampai mempengaruhi masa depan dia. Aku bukan peduli dengannya, tapi aku iba bila orang tua dia mengetahui sebodoh apa anaknya.”