Kurang lebih sekitar seratus tahun kemudian, John Stuart Mill dan Harriet Taylor, menulis dan mengikuti arus pemikiran Wollstonecraft dalam hal mengkonsepsikan nalar. Tapi, mereka—John Stuart Mill dan Harrie Taylor—memandang nalar tidak utuh secara moral dan sebagai pengaruh pengambilan keputusan mutlak saja, melainkan juga melalui pemikiran yang hati-hati, sebagai pemenuhan diri atau penggunaan akal untuk mendapatkan apa yang dianggap sebagai tujuan. Bahwa menurutku memang perbedaan klasifikasi mereka dengan Wollstonecraft agaknya tidak begitu mengejutkan. Berbeda dengan Wollstonecraft, John Stuart Mill dan Harriet Taylor mengklaim bahwa cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan maksimal—kebahagiaan atau kenikmatan adalah dengan membiarkan inidividu melakukan dan/atau mengerjar yang dia inginkan, selama mereka tidak saling membatasi satu sama lain dalam pencapaian tersebut.
Aku menganggap bahwa, secara sekilas, pemikiran keduanya bisa mengeksplorasi konsep nalar dari Wollstonecraft secara lebih liberal dan membuka ruang sempit tentang konsep rasionalitas agar terbaca dan terlihat lebih luas. John Stuart Mill dan Harriet Taylor juga berangkat dari Wollstonecraft dalam keyakinan mereka, bahwa jika suatu masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual dan keadilan gender, maka masyarakat semestinya mulai harus memberikan kaum perempuan untuk bisa mengakses hak politiknya, serta membuka akses pendidikan buat perempuan seperti yang didapatkan oleh laki-laki.
Mary Wollstonecraft yang pernah mencoba bunuh diri sebanyak dua kali, menolak untuk menikah hingga usia yang terbilang lebih lanjut dan memiliki anak di luar perkawinan. Di kehidupan yang lain, John Stuart Mill dan Harriet Taylor menjalani hidupnya dengan agak tidak biasa. Keduanya bertemu pada tahuun 1830, saat Harriet Taylor sudah menikah dengan John Taylor, sekaligus merupakan ibu dari dua anak laki-laki—anak ketiga yaitu Helen, lahir belakangan. John Stuart Mill dan Harriet Taylor segera saling tertarik satu sama lain, baik secara emosional maupun secara intelektual. Mereka mempunyai hubungan yang sangat dekat, selama dua puluh tahun, hingga meninggalnya John Taylor, ketika keduanya sudah menikah. Selama bertahun-tahun sebelum kematian suaminya, Harrie Taylor dan John Stuart Mill secara rutin bertemu untuk makan malam, dan dari waktu ke waktu menghabiskan waktu menghabiskan akhir pekan bersama di sepanjang gaungan pantai Inggris. John Taylor menyetujui pengaturan seperti ini sebagai imbalan atas formalitas eksternal yang diberikan Harriet untuk tetap menjadi istri di dalam rumahnya. Makna dari itu, ada toleransi yang diberikan oleh John Taylor kepada Harriet karena dia tetap melaksanakan tugas formal sebagai seorang istri di dalam rumah.
Karena tawar-menawar yang tidak ortodoks ini dengan John Taylor, Harriet Taylor dan John Stuart Mill memiliki waktu untuk menulis, secara terpisah juga kadang bersama, kolaborasi keduanya menghasilkan beberapa esai tentang kesetaraan seksual. Debat akademik tentang siapa yang lebih berhak mendapatkan penghargaan atas gagasan spesifik tertentu dalam esai yang dihasilkan keduanya secara individu bahkan bersama, terus berlanjut. Bagaimanapun, secara general, diakui bahwa Harriet Taylor dan John Stuart Milll secara bersama menulis Early Essays on Marriage and Divorce (1832), bahwa Harriet menulis Enfranchisement of Woman (1851) dan John Stuart menulis The Subjection of Women. Sebagaimana dapat kita lihat nanti, pertanyaan atas siapa yang menulis dengan signifikan, sebab pandangan Harriet dan John Stuart sering kali berbeda.
Mengatasnamakan alasan situasi pribadi mereka, fokus John Stuart dan Harriet tentang subjek seperti pernikahan dan perceraian tidak begitu mengherankan. Jauh dari menyetujui satu pemikiran bersama, John Stuart dan Harriet, keduanya seringkali berpandangan berbeda tentang cara terbaik untuk memenuhi kepentingan perempuan dan anak-anak. Sebab Harriet menerima pandangan tradisional bahwa ikatan ibu dan anak, atau yang istilahnya itu ikatan maternal adalah lebih kuat daripada ikatan bapak dan anak—paternal. Harriet Taylor segera berasumsi bahwa ibu adalah orang yang mustinya mengasuh anak-anak jika terjadi perceraian. Oleh karena itu, memperingatkan perempuan untuk hanya mempunyai sedikit anak. Sebaliknya, John Stuart mendorong pasangan untuk menikah dan mempunyai anak pada usia lebih matang, serta hidup di dalam keluarga besar atau di dalam situasi seperti pada sebuah komunitas, sehingga akan meminimalkan efek yang mengganggu kehidupan anak-anak jika terjadi perceraian. Tentu saja, John Stuart melihat bahwa entah itu laki-laki maupun perempuan yang bercerai harus memainkan peranan dalam kehidupan anak-anaknya.
Walaupun Harriet tidaklah seperti John Stuart, yang mana tidak melawan asumsi dalam masyarakat tentang peran pengasuhan anak pada perempuan maupun laki-laki, namun dia menentang asumsi di dalam masyarakat tentang obsesi perempuan untuk lebih memilih perkawinan dan tugas sebagai ibu daripada karier dan/atau pekerjaan. John Stuart berpendapat bahwa bahkan setelah perempuan mendapat pendidikan penuh dan hak pilih, kebanyakan perempuan akan memilih untuk tetap berada di dalam ranah pribadi, tempat paling rpivat sekaligus yang paling primer dari perempuan adalah untuk memperindah sekaligus mempercantik diri, daripada mendukung kehidupan. Sebaliknya, Harriet berpendapat Enfranchisement of Woman bahwa tugas perempuan dan laki-laki adalah untuk mendukung kehidupan. Perempuan, menurutnya, seharusnya tidak hanya mencari kesempatan untuk membaca buku dan memasukkan suara dalam pemilu. Mereka juga harus mencari kesempatan untuk menjadi partner laki-laki dalam usaha dan keuntungan, risiko dan pendapatan dari industri produktif. Oleh sebab itu, Harriet mengestimasikan bahwa bila masyarakat memberikan perempuan pilihan yang bonafide antara mengorientasikan kehidupannya untuk satu fungsi k**********n dan konsekuensinya di satu sisi, dan menulis buku yang hebat, menemukan dunia baru dan membangun kerajaan yang besar, di sisi lain hanya sedikit perempuan yang akan merasa puas dengan apa yang didapatnya di rumah atau apa yang dapat ditawarkan oleh rumah yang elok.
***
“Kenapa bunda seperti memperhitungkan Malik? Padahal baru saja kenal.”
“Justru karena baru saja. Anak seusia dia, kebanyakan takut untuk bertemu dengan orang tua dari perempuan yang hendak didekatinya.”
“Dekat? Siapa juga yang dekat, bun.”
“Lalu apa yang kamu rasain?”
“I don’t know, Mom.”
“Pernah ngobrolin apa aja sama dia?”
“n****+ John Grisham, pantomim, dan perpustakaan.”
“Topik apa itu?!”
“Kok apa sih, bun?”
“Ya, bunda sedang memposisikan diri menjadi anak muda zaman sekarang yang mungkin cukup tabu dengan topik bahasan kalian. Segelintir bahkan yang tahu dan membaca John Grisham. Apalagi tentang pantomim. Anak muda zaman sekarang lebih menikmati game dan film p***o daripada seni teatrikal yang mampu membangun daya imajinasi dan naluri.”
“Entahlah. Aku hanya merasa nyaman bercakap-cakap dengannya. Padahal dulu, awal-awal dia masuk sekolah, dialah makhluk paling menjengkelkan yang pernah kutemui di sekolah."
“Oh, iya? Murid baru sudah mampu dipercaya jadi ketua kelas, bukankah itu hebat?”
“Yah, itu keberuntungan aja. Atau yang memilih dia pada iseng karena maunya dapet ketua kelas yang nggak over.”
Kami baru pulang dari gereja. Cuaca secara kebetulan sangat berpihak hari ini. Ketika aku sedang di perjalanan pulang, cuaca masih cerah, matahari masih terlihat menjadi puing-puing dekorasi cakrawala, begitu aku sudah sampai di rumah, hujan turun sangat deras.
“Tapi, aku masih penasaran, kenapa bunda seperti nggak merasa khawatir aku berurusan dengan Malik?”
“Ibu mana di seluruh bumi yang nggak khawatir ketika seorang anak perempuan satu-satunya dekat dengan laki-laki, apalagi mereka masih muda di mana sedang semestinya fokus mengejar masa depannya. Tentu bunda khawatir.”
“Lalu kenapa bunda seolah-olah tenang menanggapi aku yang berurusan dengan Malik? Kenapa ada perbedaan kalau dengan Kak Tio. Sedang aku bunda suruh buat nggak berurusan dengan dia.”
“Karena bunda percaya sama Sima. Kita sudah belajar bagaimana perempuan sejak era abad 18 punya prinsip teguh pada dirinya. Dan kamu sudah menyerap itu. Apa yang kamu lakukan, bunda percaya kalau kamu selalu memakai akal sehat untuk memikirkan segala sesuatunya baik-baik. Belajar feminisme, tidak hanya untuk melengkapi kapasitas pengetahuan sejarah saja, melainkan juga berfungsi sebagai metodologi yang bisa kita gunakan dalam kehidupan. Kita sudah pernah belajar tentang Wollstonecraft, yang kritiknya tentang Emile dari Rousseau sangat menarik, bahwa perempuan nggak bisa diwajibkan selalu dalam kondisi emosional saja. Sebab Wollstonecraft tahu bahwa itu berbahaya. Juga kita pernah belajar tentang Audre Lorde, yang menganggap laki-laki itu berbahaya. Tapi, bunda tahu kalau kamu bisa menemukan feel yang positif dengan laki-laki untuk bisa menjadi tempat bertukar pikiran dan mampu menghargai kamu sebagai perempuan. Dan bunda tahu kalau Malik bisa mengimbangi itu.”
Bunda menyeruput teh hangat dan menyandarkan punggungnya.
“Aku tidak pernah berhati-hati kalau dengan laki-laki. Sebab hati-hati itu artinya ragu, bahkan bisa mengarah pada takut. Perempuan tidak ditakdirkan untuk mendapat tekanan itu dari laki-laki.”
“Anak bunda memang pinter…”
“Karena bundanya pinter juga.” Aku gelendotan di paha bunda. Lalu menyeruput the bunda yang sudah tinggal setengah.
“Tadi dibikinin nggak mau.”
“He he he.”
“Oh iya, bunda, ngomong-ngomong kalau tulisan dari Enfranchisement itu isinya kayak apa, ya? Bukannya ada bias dari pendapatnya Harriet tentang opsi menjadi ibu dan seorang pekerja?
“Em, sebagian tulisan dari Enfranchisement mengisyaratkan keyakinan Harriet, bahwa seorang perempuan harus memilih antara fungsi sebagai istri dan ibu, di sisi lain harus bekerja di luar rumah. Keyakinan Harriet lainnya itu bahwa dia percaya setiap perempuan mempunyai pilihan ketiga, yaitu: menambahkan pekerjaan ke dalam peran serta tugas domestik dan maternalnya. Atau artinya, perempuan bisa membawa semacam pekerjaan, sekaligus menuntaskan tugas dan perannya menjadi seorang istri dan seorang ibu. Bahkan, Harriet pun menegaskan kalau perempuan yang sudah menikah tidak dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh setara dengan suaminya, kecuali kalau dia mempunyai kepercayaan diri dan rasa kalau dia berhak soal kesetaraan itu yang sebetulnya muncul dari kontribusi material untuk menopang keluarga. Tapi sebaliknya, apa yang dituturkan oleh Harriet itu sangat tidak relevan dengan John Stuart. Pada tahun 1832, dia berargumentasi bahwa kesetaraan ekonomi perempuan akan menekan perekonomian, dan akan menekan upah menjadi lebih rendah. Harriet bersikukuh kalau secara psikologis sangat penting bagi perempuan untuk bekerja, tidak masalah apakah pekerjaan yang dilakukan itu memaksimalkan entitasnya. Juga Harriet menulis bahkan jika setiap perempuan dapat bergantung kepada laki-laki untuk menopang hidupnya, adalah sangat lebih disukai bila sebagian penghasilan itu datang dari penghasilan perempuan itu sendiri, bahkan jika jumlah total penghasilan hanya sedikit bertambah oleh penghasilan perempuan itu, daripada perempuan diharuskan untuk mengesampingkan diri agar laki-laki dapat menjadi satu-satunya penopang hidup. Singkatnya, untuk menjadi partner, dan bukan menjadi b***k dari suami, istri harus mempunyai penghasilan dari pekerjaannnya di luar rumah.”
Aku mengangguk takzim, sambil menerawang ke langit-langit.
“Bukankah pendapat Harriet mengkhianati bias kelasnya tentang pandangan perempuan yang sudah menikah dan perempuan yang belum menikah tapi sudah bekerja itu gimana ya, bun?"
“Ketika membahas lebih jauh pandangannya bahwa baik perempuan yang sudah menikah maupun yang belum dan harus bekerja, Harriet memang mengkhianati bias kelasnya. Menyadari bahwa tidak ada seorang perempuan pun dapat menjadi istri dan ibu sekaligus pekerja yang hebat, tanpa bantuan yang signifikan dari pihak lain. Harriet pula mengatakan kalau perempuan pekerja atau perempuan karier istilahnya yang mempunyai anak, dia akan membutuhkan asisten rumah tangga untuk meringankan bebannya. Hal ini mengindikasikan bahwa dia atau Harriet itu merupakan sosok yang beruntung. Sebelum tahun 1850-an, hanya permepuan kelas menengah atas, sepertinya yang cukup mampu untuk mempekerjakan asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan domestik bagi dirinya. Oleh sebab itu, Harriet yang disebut sebagai produk keberuntungan kelas, hanya memberikan cara bagi perempuan kaya untuk mendapatkan semuanya tanpa dapat memberikan saran bagi perempuan miskin untuk dapat menjalani kehidupan yang sama utuhnya.”
“Jadi, bisa disimpulkan, sama seperti Wollstonecraft, kalau Harriet menulis bukan untuk perempuan dari berbagai latar belakang ya, bun?” tanyaku.
“Betul, Sayang. Dia menulis diklasifikasikan hanya pada kelas tertentu, yang diuntungkan statusnya atau yang memungkinkan perempuan bekerja di luar rumah tanpa mengganggu ketentraman kehidupan rumah tangga. Yang mana hal itu tidak berlaku secara signifikan terhadap perempuan yang statusnya kurang menguntungkan, atau perempuan miskin. Tapi bagaimanapun juga, tulisan dia membantu memuluskan jalan terjal bagi perempuan miskin, seperti juga bagi perempuan kaya, untuk mendapatkan akses yang sama untuk masuk ke ruang publik. Begitu juga tulisan John Stuart, dia mencoba menggagas dalam The Subjection of Women, kalau kebebasan sipil, serta kesempatan ekonomi layaknya laki-laki, masyarakat akan ikut merasakan utilitasnya. Seorang warga negara yang mempunyai semangat terhadap publik, seorang pasangan yang mempunyai kapasitas untuk menjadi stimulasi intelektual bagi suaminya, suatu penggandaan masa dari kekuatan mental yang tersedia untuk pelayanan yang lebih tinggi bagi kemanusiaan, dan sejumlah besar perempuan yang bahagia. Tidak selayaknya Wollstonecraft, yang cenderung menafikkan dengan tidak memberikan penekanan pada contoh dari sedikit perempuan yang telah menerima pendidikan maskulin sehingga memperoleh keberanian dan ketetapan hati. John Stuart menggunakan apa yang disebut sebagai perempuan luar biasa untuk menguatkan pendapatnya, bahwa semua distingsi yang diyakini ada antara perempuan dan laki-laki adalah semata-mata perbedaan average. Menurut John Stuart, tidak seorang pun yang mengetahui sejarah manusia dapat berpendapat bahwa seluruh laki-laki adalah lebih kuat dan lebih pintar daripada seluruh perempuan. Sebab perempuan kebanyakan nggak bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan seperti oleh laki-laki kebanyakan.”
“Jadi intinya, ada distingsi yang sangat besar antara Wollstonecraft dengan John Stuart terhadap kehidupan intelektual. Tentang obsesi laki-laki terhadap kestabilan istrinya yang memandang antara pekerjaan di luar dengan pekerjaan domestik atau pekerjaan di rumah. Ya, bun?”
“Iya, Sayang.”