Baik John Stuart dan Harriet Taylor meyakini bahwa setiap perempuan harus mempunyai hak pilih agar eksistensinya menjadi egaliter dengan setiap laki-laki. Bisa memilih, untuk itu, kedua entitas itu tidak hanya berfungsi untuk menguraikan pandangan politiknya semata, melainkan juga punya hak untuk mengubah sistem, struktur, dan sikap yang memberikan penetrasi atau kontribusi terhadap opresi orang lain, atau opresi untuk diri sendiri. Oleh sebab itu, seperti yang diamati oleh Angela Davis tentang karyanya Women, Race and Class, bukanlah kebetulan bahwa di Amerika Serikat secara kompleks gerakan perempuan abad 19, juga meliputi gerakan perempuan untuk memperoleh hak pilih, secara sangat signifikan bertaloan dengan gerakan abolisi (penghapusan diskriminasi/p********n terhadap suatu ras tertentu, atau dalam hal ini adalah ras kulit hitam).
Saat perempuan dan laki-laki kulit putih memulai aktivitas atau suatu pekerjaan dengan serius demi penghapusan p********n, mulailah tampak menjadi jelas kalau bagi abolisionis perempuan, juga kalau abolisionis laki-laki tidak mau untuk menghubungkan gerakan hak-hak perempuan dengan hak-hak b***k. Mendapati bahwa suatu hal yang rumit buat kulit putih untuk melihat perempuan sebagai kelompok yang teropresi, abolisionis, laki-laki merayu abolisionis perempuan untuk memisahkan perjuangan freedom of women dari perjuangan kebebasan kulit hitam. Maka dari itu, demi alasan ini, abolisionis Lucy Stone misalnya, menyetujui agar memberikan ceramah tentang abolisi pada akhir pekan dan tentang hak perempuan pada setiap hari kerja.
Sebab tuntas diyakinkan kalau kolega laki-laki akan menghadiahi mereka atas perbuatan kolektif, perempuan di Amerika Serikat yang menghadiri Konvensi Anti p********n di London tahun 1840 percaya kalau mereka akan memainkan peran yang signifikan pada pertemuan tersebut. Terlihat nihil yang mampu membuktikan lebih jauh tentang ketidakbenaran janji tersebut. Nggak ada seorang perempuan pun, bahkan tidak Lucretia Mott atau Elizabeth Cady Stanton, dua dari pemimpin utama dalam gerakan-gerakan hak perempuan di Amerika Serikat, bahkan diperbolehkan untuk berbicara dalam sebuah pertemuan. Sebab sangat marah dengan cara bersumpah akan menyelenggarakan konvensi hak perempuan setelah pulangnya mereka ke Amerika Serikat. Kemudian, delapan tahun setelahnya di tahun 1848, tiga ratus perempuan dan laki-laki bertemu di Seneca Falls, New York, dan menghasilkan satu Deklarasi Pernyataan Sikap dan dua belas resolusi. Meniru entitas Deklarasi Kemerdekaan, Deklarasi Pernyataan Sikap ini menekankan isu yang telah digagas oleh John Stuart dan Harriet di Inggris, yang paling utama adalah kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak. Kedua belas resolusi menegaskan bahwa hak-hak perempuan untuk menguraikan pendapatnya di depan publik—buat mengucapkan suatu isu yang sedang berkembang, paling utama dalam hubungannya dengan subjek besar seperti moral dan agama, yang semestinya perempuan lebih punya kapasitas untuk mengimplementasikan daripada laki-laki. Satu-satunya dari resolusi Seneca Falls yang tidak mendapatkan dukungan penuh adalah mengenai resolusi dari Susan B. Anthony tentang resolusi soal hak pilih.
Angela Davis memperlihatkan kalau konvensi Seneca Falls, layaknya pula gerakan hak perempuan abad 19, pada dasarnya adalah urusan perempuan terdidik, kelas menengah dan putih. Kecuali resolusi yang diberikan dengan tergesa-gesa oleh Lucretia Mott buat memastikan perempuan bisa berpartisipasi secara egaliter dengan laki-laki dalam pelbagai perniagaan, profesi, dan bisnis, konvensi ini nggak menyentuh kepentingan perempuan kulit putih pekerja pabrik dan penggilingan yang melakukan pekerjaan lebih dari yang seharusnya dan dibayar dengan sangat rendah, yang terlalu letih buat memikirkan hak pilih, apalagi berbicara tentang moral dan agama. Juga lebih daripada itu, konvensi ini menganggap perempuan kulit hitam tidak terlihat atau tidak ada. Dengan konsep yang sama, gerakan abolisionis lebih berfokus kepada hak laki-laki kulit hitam. Gerakan penyuaraan hak perempuan lebih berkosentrasi terhadap hak perempuan kulit putih. Tidak seorang pun yang tampak peduli pada perempuan kulit hitam.
Meskipun begitu, perempuan kulit hitam menjadi orator yang efisien bagi hak-hak perempuan, meskipun perempuan kulit putih cenderung tidak mempedulikan atau mengecilkan kontribusi perempuan kulit hitam ini. Pada konvensi hak-hak perempuan tahun 1851 di Akron, seorang feminis abolisionis kulit hitam—Sojourney Truth—mengucapkan pidato yang sangat kuat atas nama perempuan.
Menanggapi sekelompok laki-laki pencela, yang mem-bully atau mengolok-olok kalau tidak masuk akal bagi perempuan untuk mengasumsikan hak pilih diperuntukkan buat mereka, sebab perempuan bahkan dianggap tidak punya kemampuan untuk melangkahi seekor anjing atau naik kereta kuda tanpa dibantu oleh laki-laki, Sojourney Truth memperlihatkan kalau nggak ada seorang laki-laki bisa membantunya melakukan hal tersebut. Sojourney Truth lalu menuntut peserta audiens untuk melihat tubuhnya dan mengatakan bahwa keperempuannya, sekaligus sifat-sifat keperempuannya tidak pernah bisa dijadikan alasan sebagai hambatan untuk bekerja, berakting dan, ya, berbicara layaknya laki-laki.
Sojourney Truth pernah bertutur, “Saya pernah membajak dan bercocok tanam, lalu mengumpulkan hasilnya ke dalam lumbung dan nggak ada seorang laki-laki pun yang dapat mendahului saya. Juga bukanlah saya seorang perempuan? Saya juga bisa bekerja keras dan makan selahap serta sebanyak porsi laki-laki. Lagipula saya bisa mengandung seorang anak. Dan bukankah saya seorang perempuan? Saya usai melahirkan tiga belas anak dan melihat hampir semuanya dijual dalam p********n, dan ketika saya menangis dengan kesedihan ibu saya, maka tak ada yang dapat mendengar rintihan saya kecuali Yesus! Dan bukanlah saya seorang perempuan?”
Ketika gerakan menyuarakan hak-hak perempuan mulai mendapatkan peluangnya, nahasnya perang saudara dimulai. Menemukan adanya kesempatan dalam pertempuran yang tragis ini, setidaknya untuk membebaskan b***k, abolisionis laki-laki, sekali lagi, meminta feminis untuk mengesampingkan dulu isu-isu perempuan, dan dengan amat enggan para feminis itu sekali lagi memenuhinya. Tetapi akhir perang saudara tidak memberikan kebebasan bagi perempuan, dan feminis kerap kali harus berhadapan dengan konflik terhadap laki-laki kulit hitam, yang lekas saja diemansipasikan. Berkepentingan kalau hak-hak perempuan mustinya satu kali lagi dikalahkan dalam usaha untuk memastikan hak—laki-laki kulita hitam, delegasi laki-laki dan perempuan untuk Konvensi Hak-hak Perempuan Nasional tahun 1866 memutuskan untuk mendirikan Asosiasi Kesetaraan Hak. Diketuai secara bersama oleh Frederick Douglass dan Elizabeth Cady Stanton, asosiasi ini mengumumkan tujuan organisasinya, yaitu unifikasi perjuangan laki-laki kulit hitam dan perempuan dalam mendapatkan hak pilihnya.
Ada banyak testi yang bisa memperlihatkan kalau Elizabeth Santon dan beberapa dari orang yang bekerja dengannya secara kolektif, sebenarnya melihat asosiasi ini hanyalah sebagai alat buat memastikan kalau laki-laki kulit hitam tidak akan menerima hak pilih kecuali, dan hanya, sampai perempuan kulit putih pun menerima hak tersebut. Merenung dengan pengamatan Frederick Douglass dan Sojourney Truth, kalau dengan mempertimbangkan sensivitasnya yang luar biasa, laki-laki kulit hitam lebih memerlukan hak pilih dibandingkan perempuan. Anthony dan Stanton merupakan dua di antara mereka yang sukses mengajukan pendapat bagi pembubaran Asosiasi Kesetaraan Hak, saat mulai ada tanda-tanda kalau asosiasi itu akan mendukung bagian dari Amandemen Kelima Belas, yang akan memberikan hak pilih buat laki-laki kulit hitam, tapi tidak untuk perempuan.
Saat meninggalkan Asosiasi Kesetaraan Hak, Anthony dan Elizabeth Stanton mendirikan Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Nasional. Dalam kurang lebih waktu yang sama, Lucy Stone, yang memiliki pandangan filosofis yang berbeda dengan Elizabeth Santon, dan terutama dengan Anthony tentang peran agama yang terorganisir dalam opresi terhadap perempuan, dia membentuk Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika. Mulai saat itu, gerakan hak perempuan di Amerika terpecah menjadi dua.
Dalam pelbagai upaya, Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Nasional menuturkan agenda feminis yang revolusioner dan radikal, di lain pihak, Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika menyokong agenda yang reformis dan liberal. Mayoritas perempuan Amerika lebih cenderung kepada Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika yang dianggap lebih moderat. Saat kedua asosiasi ini memutuskan membuat unifikasi pada tahun 1890 untuk mendirikan Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika Nasional, gerakan perempuan yang memiliki varian fokus dan bersuara lantang di mula abad 19, ditransformasikan menjadi gerakan perempuan untuk mendapatkan hak pilih yang relatif jinak, dan hanya berkonsentrasi pada satu isu saja. Dari tahun 1890 sampai tahun 1920, saat Amandemen Kesembilan Belas diloloskan, Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika Nasional melimitasi semua kegiatannya agar mencapai hak pilih untuk perempuan. Setelah sukses mendapatkan hak pilih selama lima puluh dua tahun, mayoritas dari para suffragis memilih untuk percaya, kalau hanya dengan memperoleh hak pilih, perempuan tekah serius menjadi setara dengan laki-laki.
Kemudian kita akan berjalan sebentar di gerakan feminis liberal abad 20. Selama hampir empat puluh tahun sejak pemberlakuan Amandemen Sembilan Belas, feminisme tidak menunjukkan aktivitas yang begitu krusial di Amerika Serikat. Lalu, pada tahun 1960, ketika generasi baru feminis memperlihatkan sebagai suatu realitas yang sebenarnya, apa yang selama ini dicurigai suffragis Elizabeth Stanton dan Anthony: untuk memperoleh pembebasan yang seutuhnya, perempuan memerlukan peluang ekonomi dan kebebasan sipil. Seperti pendahulunya, beberapa dari perempuan muda itu mendorong suatu konsep liberal, sementara yang lainnya menyokong dengan mengajukan agenda suatu tindakan yang lebih radikal. Di pertengahan tahun 1960-an, feminis liberal berkumpul dalam salah satu dari beberapa kelompok yang disebut sebagai kelompok hak-hak perempuan—Organisasi Perempuan Nasional, Kaukus Politik Para Perempuan Nasional, dan Liga Aksi Kesetaraan Perempuan. Tujuan primer dari hal tersebut adalah untuk meningkatkan status perempuan dengan mengimplementasikan tekanan legal, sosial, dan lain-lain terhadap berbagai lembaga mulai dari Bell Telephone Company sampai jaringan televisi dan beberapa partai politik paling utama. Bertentangan dengan gerakan feminis liberal di tahun 1960-an, feminis radikal tahun 1960-an berkumpul di salah satu dari pelbagai kelompok yang disebut dengan kelompok pembebasan perempuan.
Lebih kecil dari dan lebih berkonsentrasi daripada beberapa kelompok hak perempuan, kelompok pembebasan perempuan ini, bertujuan agar meningkatkan kesadaran perempuan mengenai opresi terhadap perempuan. Kobaran semangat yang mereka punya merupakan semangat revolusioner kiri, yang tujuannya bukanlah untuk mereformasi apa yang dianggap mereka sebagai sistem elitis, kapitalis, kompetitif, dan individual, melainkan untuk menggantikannya dengan sistem yang setara, sosialistis, kooperatif, komuniter, dan berdasarkan terhadap gagasan persaudaraan perempuan adalah kuat. Di antara kelompok pembebasan perempuan, yang paling kuat adalah Women’s International Terrorist Conspiracy from Hell, the Redstockings, the Feminist, and the Ney York Radical Feminist. Meskipun Maren Lockwood Carden secara benar mencatat dalam bukunya, The New York Feminist Movement, bahwa perbedaan ideologis antara kelompok hak-hak perempuan dan kelompok pembebasan perempuan menjadi kabur pada tahun 1960-an, bahkan pada akhir tahun 1990-an, kelompok hak perempuan masing terbatas, dan daya konsep revolusionernya masih kurang dibandingkan dengan kelompok pembebasan perempuan.
Sebab dalam pembahasan kali ini, aku sekuat mungkin untuk memfokuskan kepada feminis liberal, agar kamu tahu sejarah dari kelompok hak perempuan dan kegiatan mereka, yang mayoritas bergerak di bidang legislasi. Karena di tengah penetapan Amandemen Sembilan Belas dan timbulnya gelombang kedua feminisme di Amerika Serikat selama 1960-an, hanya dua kelompok: the National Women’s Party and the National Federation of Business and Professional Women’s Club—yang mengkampanyekan hak-hak perempuan belum juga berakhir, terutama karena keperluan hak-hak perempuan yang belum menjadi kesadaran dari mayoritas populasi Amerika Serikat. Hal ini berganti dengan meledaknya gerakan hak-hak sipil. Ditekankan dengan berbagai upaya yang dijadikan jalan untuk sistem, struktur, dan hukum Amerika Serikat agar mengopresi kulit hitam, mereka yang aktif di dalam atau paling tidak, berempati terhadap gerakan hak-hak sipil dapat melihat perumpamaan antara diskriminasi terhadap kulit hitam dan diskriminasi terhadap perempuan. Pada tahun 1961, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy membentuk Komisi mengenai Status Perempuan yang membuahkan banyak data baru tentang perempuan dan menghasilkan pembentukan Dewan Pertimbangan Warga Negara, berbagai komisi mengenai status perempuan, juga pemberlakuan Kebijakan Kesetaraan Pengupahan. Saat kongres meloloskan Kebijakan Hak-hak Sipil sekitar 1964—yang diamandemen dengan provisi Title VII agar mencegah diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan juga ras, warna kulit, agama, atau asal negara oleh pemilik perusahaan, agen tenaga kerja, dan serikat-serikat—seorang perempuan berteriak dari galeri buat menyaksikan kongres. Nahasnya, kemenangan perempuan itu, dan perempuan kebanyakan, hanya bertahan sebentar: pengadilan tidak mau agar memberlakukan Title VII menjadi apa yang disebut sebagai amandemen seks. Oleh karena merasa dikhianati oleh sistem, kebahagiaan perempuan berubah menjadi kemarahan. Amarah yang dipakai oleh aktivis feminis buat memobilisasi perempuan agar berupaya demi memperoleh hak-hak sipilnya, dengan tekad kuat yang sama, seperti yang usai dilakukan oleh orang kulit hitam agar memperoleh hak mereka secara keseluruhan.
Di antara para feminis ini adalah Betty Friedan, salah satu dari pendiri dan presiden pertama Organisasi Perempuan Nasional. Merefleksi bagaimana dia dan beberapa partnernya telah merespons terhadap penolakan pengadilan agar mempertimbangkan Title VII sebagai amandemen seks secara serius, dia menulis: “Keperluan absolut agar suatu gerakan hak sipil untuk perempuan usai mencapai titik kronis, yang dapat meletus kapan saja sebelum tahun 1966. Hanya dibutuhkan sedikit dari kami untuk berkumpul bersama dengan menyalakan apinya—dan itu kemudian akan menyebar layaknya reaksi rangkaian bom.
Api yang dipicu oleh Friedan mengacu pada pendirian NOW—kelompok pertama yang secara terang-terangan mendefinisikan diri sebagai feminis di Amerika Serikat di abad 20—untuk menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi dan personal. Setelah penetrasi di belakang panggung, Friedan—yang pada waktu itu dilihat sebagai figur yang sangat kontrovesi, sebab bukunya The Feminine Mystique yang terbit pada tahun 1963—dipilih sebagai presiden pertama NOW di tahun 1966 oleh kurang lebih tiga ratus anggota, pengurusnya laki-laki dan perempuan.
Meskipun para member pertama NOW, termasuk feminis radikal dan konservatif serta juga liberal, dalam waktu yang singkat menjadi jelas bahwa identitas esensial dan acara NOW merupakan liberal. Misalnya, tujuan undang-undang Hak Perempuan tahun 1967 adalah untuk memastikan perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Tuntutan NOW bagi perempuan yaitu:
“Bahwa Kongres Amerika Serikat harus segera meloloskan Amandemen Hak-Hak yang Egaliter pada Konstitusi, agar memastikan bahwa Kesetaraan Hak berdasarkan Hukum tidak akan diabaikan atau direduksi oleh Amerika Serikat atau oleh Amerika Serikat, atau oleh Negara Bagian mana pun berdasarkan jenis kelamin dan bahwa Amandemen ini harus segera diratifikasi oleh beberapa Negara Bagian Tertentu. Kedua, bahwa kesempatan kerja yang egaliter musti dijamin bagi seluruh perempuan, sama seperti halnya untuk seluruh laki-laki dengan mendesak kalau Komisi Kesempatan Kerja yang egaliter menerapkan larangan terhadap diskriminasi ras. Ketiga, bahwa perempuan harus dilindungi oleh hukum untuk memastikan hak mereka demi bisa kembali dalam pekerjaan mereka dalam waktu tertentu, yang layak setelah melahirkan tanpa kehilangan senioritas atau keuntungan lain yang dijamin, dan harus mendapat upah atas cuti hamilnya sebagai entitas dari jaminan sosial dan/atau keuntungan sebagai pekerja. Keempat, revisi secepatnya atas hukum perpajakan untuk memungkinkan pengurangan pengeluaran atas rumah dan pengasuhan anak bagi orangtua yang bekerja. Kelima, bahwa fasilitas pengasuhan anak harus diselenggarakan oleh hukum dengan dasar hukum yang sama seperti taman, perpustakaan, dan sekolah negeri yang layak bagi kebutuhan anak-anak dari tahun-tahun sebelum sekolah hingga anak remaja, sebagai sumber komunitas yang akan digunakan oleh seluruh warga negara pada seluruh tingkat pendidikan. Keenam, bahwa hak perempuan untuk memperoleh pendidikan demi mengembangkan segala potensinya secara penuh setara dengan laki-laki harus dipastikan oleh perundangan Federal dan Negara Bagian, dengan menghilangkan seluruh diskriminasi dan pemisahan berdasarkan jenis kelamin, tertulis di semua tingkat pendidikan, termasuk perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah profesional, pinjaman atau beasiswa dan program pelatihan Federal ataupun Negara Bagian. Ketujuh hak perempuan miskin untuk memperoleh pelatihan kerja, perumahan dan tunjangan keluarga adalah harus egalier dengan laki-laki tetapi tanpa prasangka hak orang tua agar diam di rumah untuk mengasuh anak-anaknya: revisi perundang-undangan tentang kesejahteraan dan program kemiskinan yang mengabaikan perempuan dalam hal harga diri, privasi, dan penghormatan terhadap diri sendiri. Kedelapan,hak perempuan untuk menguasai reproduktifnya dengan menghapuskan hukum yang bersifat menghukum yang melimitasi akses terhadap informasi dan a**************i, dan dengan meniadakan hukum yang bersifat menghukum atas aborsi.”
Daftar tuntutan NOW menyenangkan anggota NOW yang liberal, tetapi mencuatkan kemarahan bagi anggota yang konservatif dan radikal, untuk alasan berbeda. Ketika anggota konservatif keberatan dengan desakan NOW bagi hukum yang lebih permisif terhadap kontrasepsi dan aborsi, anggota yang radikal merasa marah oleh kegagalan NOW untuk mendukung hak-hak seksual perempuan, terutama hak untuk memilih gaya hidup heteroseksual, biseksual, atau lesbian.
Mengakui bahwa debat atas peran seks tidak terhindarkan bila kesempatan yang setara didalam pekerjaan, pendidikan dan hak-hak sipil tidak pernah lebih dari sekadar hak-hak di atas kertas. Friedan, bagaimanapun juga memperlihatkan dirinya sebagai feminis liberal ketika dia menyatakan, “Kalau isu-isu keras dari revolusi ini melibatkan pekerjaan dan pendidikan, dan lembaga sosial yang baru, bukannya fantasi seksual. Khawatir kalau NOW akan berubah fokus liberal tradisionalnya menjadi lebih radikal, Friedan adalah salah satu yang sangat kuat menentang dukungan publik NOW terhadap lesbiasnisme. Ada tuduhan kalau Friedan melabeli anggota NOW yang lesbian sebagai ancaman lavender karena, menurut pendapatnya, anggota lesbian ini telah mengalienasi masyarakat arus utama dengan feminis pada umumnya.
Alih-alih penolakan NOW atas tuduhan homofobia dalam Resolusi NOW tahun 1971 yang menyadari adanya opresi ganda terhadap lesbian, agenda NOW secara fundamental tetap liberal. NOW menegaskan kalau tujuan mereka yaitu untuk melayani tidak hanya perempuan yang sangat mungkin dapat bertahan dan berhasil dalam sistem, tetapi setiap perempuan yang mempercayai kalau hak perempuan harus egaliter dengan laki-laki. Diawali dengan kepemimpinan Arlein Hernandez di tahun 1971, seorang perempuan Hispanik, pelbagai varietas minor dan perempuan lesbi telah menjalankan peran sebagai puncak pimpinan, dan juga sebagai anggota dalam NOW. Perhatian yang lebih besar dari organisasi ini kepada perbedaan perempuan berarti bahwa anggotanya tidak lagi dapat mengklaim untuk mengetahui apa yang semua perempuan perlu dan inginkan, melainkan hanya sekelompok perempuan tertentu—misalnya perempuan heteroseksual, hispanik, dan perempuan miskin—inginkan.
Kekuatan intelektual NOW, yang juga terjadi pada sekelompok hak-hak perempuan untuk semakin berkonsentrasi pada apa yang disebut sebagai debat kesamaan-perbedaan: Apakah kesetaraan gender paling baik dicapai dengan menekankan unifikasi perempuan sebagai gender, atau dalam keragaman mereka sebagai individual, kesamaan antara perempuan dan laki-laki atau perbedaan di antara keduanya?
Aku juga belum tahu pasti.
***
“Kita udah bahas soal konsep terakhir dari John Stuart, juga udah sedikit nyinggung arus feminisme abad dua puluh. Apa yang mau kamu ceritain? Aku nggak akan tersinggung dan sebisa mungkin sikapku nggak akan berubah ke orang yang bertanggung jawab atas penculikanku kemarin. I mean, itu termasuk perbuatan kriminal, loh. Aku bisa tuntut dia. Tapi, kalau dia adalah orang terdekatku dan terpaksa melakukan itu, pasti ada sesuatu yang bener-bener membuat dia kecewa, yang mungkin karena aku juga.”
“Okay, let me tell you something.”