31

3243 Kata
“Kita akan melihat betapa rumit hubungan antara ibu dan anak perempuannya: bagi si ibu dan anak perempuannya: bagi sang ibu, anak perempuan adalah duplikasi dirinya sekaligus juga orang lain, si ibu begitu menyayanginya sekaligus juga memusuhinya, dia membebani anak dengan nasibnya sendiri: dan itu adalah suatu cara untuk merasa bangga atas klaim feminitasnya dan juga suatu cara balas dendam pada dirinya sendiri. Proses yang sama ditemui pada seorang laki-laki dewasa dan anak laki-laki yang tengah menjalankan hubungan seksual, para penjudi dan pecandu obat, misalnya, semua merasa bangga sebab mempunyai persaudaraan tertentu sekaligus merasa dipermalukan oleh itu. Mereka bekerja keras dengan kepercayaan agama yang menggebu-gebu untuk mendapatkan pengikut. Akibatnya, ketika seorang anak berada di bawah asuhan mereka, para perempuan menerapkan diri mereka sendiri untuk mengubahnya menjadi seorang perempuan seperti mereka dan menunjukkan semangat besar di mana arogansi dan kemarahan menjadi satu: bahkan seorang ibu yang baik, yang dengan tulus berusaha memberikan kebahagiaan pada anaknya, sebagai seorang penguasa akan berpikir kalau lebih bijaksana menjadikannya seorang perempuan sejati, sebab masyarakat akan lebih siap menerimanya bila hal ini dilakukan. Oleh sebab itu, dia diperkenalkan kepada anak-anak perempuan lain sebagai teman bermain, dia dipercayakan pada guru-guru perempuan, dia tinggal di antara para perempuan yang lebih tua, sebagaimana pada masa Yunani, banyak buku dan permainan dipilihkan untuknya yang mendorongnya masuk ke dalam lingkungan yang diinginkan. Berbagai kearifan feminin didesakkan padanya, dia diajari memasak, menjahit, mengurus rumah, bersamaan dengan perhatian terhadap kepribadiannya, daya tarik serta kesopanan: dia diberi pakaian yang tidak nyaman dan penuh hiasan dengannya, dia harus berhati-hati memakainya, rambutnya ditata dengan gaya elegan, dia diajari tata cara berperilaku: berdiri tegak dan tidak boleh berjalan seperti bebek, hal ini untuk mengembangkan keanggunan, juga dia harus menahan gerakan-gerakan spontannya: dia diberitahu untuk tidak bersikap seperti anak laki-laki, dia dilarang melakukan kegiatan-kegiatan yang kasar, dia tidak boleh berkelahi. Spesifikasi ini tidak terpikirkan Wollstonecraft, Harriet, dan John Stuart. Mereka hanya bicara tentang konsep hak yang ada pada diri laki-laki, tidak menjelaskan sifat dan ketidakadilan yang menempel di tubuh perempuan. Bagaimana bisa anda hanya habis-habisan menjelaskan tentang argumen para tokoh feminis liberal?” Malik menggencarkan kritiknya. Ini respons pertama kali setelah sebelumnya beberapa pembicaranya hanya fokus menyiapkan materi-materi yang akan disampaikan. Tapi, Malik sudah langsung gerak cepat dengan menimbulkan kontroversi. Granada dan Puyu—panggilan dari Putri Ayu—mereka mulai menggigit bolpoinnya, mengetuk-ngetuk kepalanya dengan bolpoin, dan mereka mulai berdiskusi. Para audiens yang lain menunggu-nunggu jawaban dari pembicara pertama. Ada yang sambil bermain ponsel, dan ada sebagian yang berdiskusi sendiri. “Baik. Silakan dari delegasi Smanembaya. Saudara Rafly dan saudari Ira.” Moderator mempersilakan dua delegasi Smanembaya yang sebelumnya telah memegang microphone untuk hendak berbicara. “Saya Ira Kusmara dari delegasi SMA Negeri 6 Surabaya. Saya akan memberikan simulasi terhadap pernyataan-pernyataan sebelumnya. Setiap penonjolan diri akan melenyapkan feminitas dan daya tarik. Petualangan seorang laki-laki muda di dalam eksistensi dibuat relatif mudah oleh kenyataan bahwa tak ada kontradiksi antara pekerjaan sebagai seorang manusia dan sebagai laki-laki: dan keuntungan ini sudah terlihat bahkan di usia kanak-kanak. Melalui penonjolan diri dalam independensi dan kebebasan, dia mendapatkan social value dan sekaligus prestisenya sebagai laki-laki. Akan tetapi buat saya atau gadis muda pada umumnya, hal itu justru sebaliknya, ada pertentangan antara status sebagai manusia dan keberadaan sebagai perempuan. Dan di sinilah ditemukan alasan kenapa masa remaja bagi perempuan begitu rumit dan merupakan momen yang menentukan. Hingga saat itu, saya atau seorang gadis pada umumnya masih menjadi individu yang otonom: kemudian secara eklektik, saya mulai melepaskan kebebasan saya. Saya tidak hanya tercabik-cabik, seperti seorang laki-laki, meski lebih menyakitkan, antara masa lalu dan masa depan, juga dalam sebuah problem yang meledak antara klaim orisinal sebagai subjek, yang aktif, bebas, dan di sisi lain, desakan e****s dan tekanan sosial untuk menerima diri saya sebagai objek yang pasif. Kecenderungan spontanitas saya adalah untuk memperlakukan diri saya sendiri sebagai yang esensial: lantas, apakah bisa saya mengubah pikiran saya untuk menjadi yang tidak esensial? Seandainya saya mampu menerima takdir saya sebagai entitas yang lain, lalu apakah saya harus mengesampingkan ego saya? Hal seperti ini merupakan dilema menyakitkan yang harus diperangi seorang perempuan. Terombang-ambing antara hasrat dan perasaan muak, antara harapan dan kecemasan, ini bisa berdampak pada pelemahan tujuan masing-masing perempuan, saya hidup dalam antara kebebasan masa kanak-kanak dan kepatuhan seorang perempuan dewasa. Dalam ketidaktentuan yang seperti ini, sebagaimana saya muncul dari usia canggung, memberi aroma tajam dari buah yang masih hijau. Reaksi para gadis berjenis-jenis, bergantung pada keadaan yang sesuai dengan berbagai kecenderungan awal. “Seorang ibu kecil, dia akan menjadi ibu, dapat dengan mudah menyerahkan dirinya pada perubahan dan perkembangannya, namun dia bisa saja mengecap seperti ‘si ibu kecil’, suatu perasaan otoritas yang membawanya memberontak melawan penindasan kelaki-lakian. Dia sudah siap untuk mendirikan sebuah matriarkat—sistem kepimpinan yang diprakarsarai oleh perempuan atau ibu—namun tidak untuk menjadi objek e****s dan pelayan. Biasanya, meski dengan berbagai penentangan, saya menerima feminitas saya, saya sudah mengetahui pesona pasivitas, pada peran genit di masa kanak-kanak bersama ayah dan dalam lamunan e****s saya: saya menyadari kekuatan feminitas: keangkuhan segera berbaur dengan munculnya perasaan malu akan dagingnya. Tangan itu, tatapan yang menggelorakan perasaannya, ialah daya tarik, sebuah syair teologi: tubuh saya tampak diberkahi denan sifat-sifat kebaikan yang gaib: tubuh saya adalah harta tak ternilai, sebuah amunisi: saya bangga akan hal itu. Kegenitan saya yang kerap tidak muncul selama bertahun-tahun, kebebasan masa kanak-kanak, kini bangkit lagi. Saya mencoba berbagai rias wajah yang tidak biasa dan tata rambut yang berbeda: bukan bermaksud untuk menyembunyikan sembulan p******a, saya memilih memijit-mijitnya agar membesar, saya mempelajari senyuman saya di depan cermin. Hubungan antara perasaan seksual dan daya tarik sangat dekat, sehingga ketika kepekaan e****s tidak b*******h, nihilnya hasrat untuk memuaskan menghinggapi seseorang. Penelitian menunjukkan kalau pasien-pasien yang menderita defisiensi tiroid—dan karena hal itu seseorang menjadi apatis serta suka marah-marah—dapat disembuhkan dengan injeksi ekstrak kelenjar. Mereka mulai tersenyum dan berubah periang, hangat dan ramah. Para psikolog yang terlalu materialistik dengan menyatakan kegenitan merupakan suatu insting yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid: namun penjelasan yang meragukan ini tidak lagi layak di sini daripada di awal masa kanak-kanak. Nyatanya, di semua kasus defisiensi organik—seperti anemia—tubuh tidak berubah menjadi beban: datang sebuah rasa kebencian yang aneh, bukan harapan atau janji apa pun. Saat dia memulihkan keseimbangan dan vitalitasnya, seseorang segera menyadarinya sebagai miliknya dan melewatinya, kemudian mencari transendendi atas yang lain. Bagi saya sendiri, transendensi e****s berarti menjadi mangsa demi mencapai tujuan-tujuannya yang saya buat sendiri. Saya menjadi suatu objek, dan saya melihat diri saya sebagai objek. Saya melihat aspek baru dari eksistensi saya dengan terkesiap: kulihat kalau saya setelah digandakan, bukannya menyesuaikan secara pas dengan diri saya, saya sekarang malah kalah eksis di luar.Pernah saya baca dalam sebuah literatur yang pernah dikasih bunda ketika saya masih SMP kelas tiga kalau tidak salah ingat. Yaitu karya Rosamond Lehmann, Invitation to the Waltz, membaca itu saya mengerti bahwa Olivia melihat sosok yang nggak dikenal di depan cermin: itu adalah dirinya sebagai objek yang tiba-tiba menentang dirinya. Hal ini menyebabkan suatu emosi yang berlangsung sementara tetapi merumitkan.” Ira telah menghempaskan napas beratnya dan menghentikan pemaparannya. Semua audiens seakan teralihkan perhatian padanya. “Wow! Simone?!” Malik spontan mengatakan itu pada Ira. Ira yang terkejut hanya menganggukkan kepalanya dengan canggung. “Saya Rafly Permana, delegasi SMA Negeri 6 Surabaya. Dalam pandangan Betty Friedan, kesalahan dalam mistik feminin bukan karena mistik feminin menghargai perkawinan dan motherhood, tetapi sebab mistik feminin terlalu tinggi menghargai dua lembaga itu, dan melihat bahwa keduanya adalah jawaban dan seluruh kebutuhan dan keinginan perempuan. Berpikir dengan cara yang telah dilakukan John Stuart dan Wollstonecraft, menurut Betty Friedan, adalah cara berpikir yang menempatkan seorang perempuan sebagai seorang istri dan seorang ibu serta tidak memiliki waktu untuk berkarier, adalah melimitasi perkembangannya sebagai manusia yang utuh. Begitu perempuan melihat pekerjaan rumah sebagaimana adanya dan melihat perkawinan dan motherhood sebagaimana adanya, dia akan menemukan banyak waktu dan tenaga untuk mengembangkan dirinya secara maksimal dalam pekerjaan kreatif di luar rumah. Hanya dengan sedikit pertolongan, setiap perempuan seperti juga setiap laki-laki, dapat memenuhi kewajiban subjektifnya, dan membuat perempuan menjadi bebas untuk menjadi peran dan tanggung jawab yang signifikan di dunia publik. Dan satu hal terkait distingsi perlakuan budaya antara laki-laki dan perempuan, tapi ini saya agak menyimpang dari tuturnya Betty Friedan. Estimasi Betty Friedan, feminis tahun delapan puluhan perlu berhenti berusaha untuk mencoba melakukan semuanya dan menjadi semuanya. Dia menegaskan, penawar yang tepat untuk sindrom perempuan super yang seperti kamu bilang adalah dengan tidak mengabaikan cinta demi pekerjaan, atau sebaliknya. Menurut Betty Friedan, perempuan yang memilih salah satu, pekerjaan atau cinta, kerap kali menceritakan penyesalannya atas keputusan tersebut. Suatu waktu, ada seorang perempuan yang meninggalkan perkawinan dan motherhood mengaku kepada Betty Friedan, dia bilang begini, perempuan itu bilang begini, saya perempuan pertama di dalam manajemen di sini. Saya memberikan segalanya bagi pekerjaan. Mula-mula terasa menyenangkan, menyusup tempat yang belum pernah dimasuki oleh perempuan-perempuan sebelumnya. Sekarang, pekerjaan itu hanyalah sekadar satu pekerjaan. Saya tidak tahan kembali ke apartemen ini sendirian tiap malam. Saya ingin mempunyai sebuah rumah, mungkin sebuah taman. Mungkin semestinya saya mempunyai seorang anak, bahkan tanpa seorang ayah sekalipun. Paling tidak, saya akan mempunyai sebuah keluarga. Seharusnya ada cara yang lebih baik untuk hidup. Dan ada seorang perempuan lain yang telah mengambil keputusan sebaliknya, meninggalkan pekerjaan untuk keluarga, juga mengaku kepada Betty Friedan, keputusan itu membuat dia marah, hal itu membuatnya seperti anak kecil, ketika dia harus meminta izin dari suami untuk memperoleh uang. Ibunya hanya selalu bergantung kepada ayahnya dan begitu ketakutan akan kehidupan. Kemudian ibunya terlihat seperti orang tersesat tanpa ayahnya. Pemikiran bahwa dia harus bergantung seperti ibunya menakutkan dirinya, meskipun dia memiliki perkawinan yang bahagia. Dia kerap kali merasa kesal dan marah, mendengarkan cerita di televisi tentang istri yang dianiaya, perempuan yang tidak mempunyai pilihan. Akan meningkatkan rasa penghargaan diri jika tidak bergantung kepada kepada suami untuk segala sesuatu dalam hidup, bila dapat memperoleh kebutuhan diri sendiri. Perempuan itu sedang berupaya untuk memperlakukan anak perempuannya secara setara dengan anak laki-lakinya. Dia tidak ingin memiliki ketakutan yang telah melumpuhkan ibunya dan dia merasa kalau itu harus dia lawan. Dia menginginkan anak perempuannya mempunyai pilihan yang sesungguhnya. Dalam buku terakhirnya Betty Friedan, The Fountain of Age, Friedan mengingatkan kembali dukungannya untuk androgini. Dia mendorong laki-laki alfa yang mulai tua untuk mengembangkan kualitas feminin mereka yang pasif, penuh keinginan untuk merawat, dan kontemplatif, dan perempuan beta yang mulai tua untuk mengembangkan kualitas maskulin mereka yang tegas, asertif, bernada perintah atau penuh petualangan. Dia yakin kalau hal itu adalah buat kepentingan orang-orang di atas lima puluh tahun untuk mengeksplorasi sisi lain dirinya, entah dalam sisi maskulin atau feminin. Betty Friedan juga nyatat, misalnya, kalau perempuan di atas lima puluh tahun yang kembali ke sekolah, atau bekerja, atau menjadi sangat aktif dalam dunia publik, melaporkan kalau usia di atas lima puluh tahun merupakan tahun-tahun terbaik dalam kehidupan mereka. Demikian juga halnya, laki-laki di atas lima puluh tahun yang mulai memfokuskan diri terhadap kualitas hubungan personal dan kehidupan interior mereka melaporkan kepuasan yang sama pada usia tuanya. Nahasnya, jumlah laki-laki yang berumur panjang lebih sedikit daripada jumlah perempuan yang berumur panjang. Di dalam masyarakat Amerika Serikat, Grace, ada lebih banyak kesempatan bagi perempuan senior untuk mengembangkan sifat-sifat maskulin mereka daripada bagi laki-laki senior untuk mengembangkan sifat-sifat feminin mereka. Kalau seorang laki-laki telah mengabaikan istri dan anak-anaknya selama bertahun-tahun, karena dia telah menempatkan pekerjaan sebagai prioritas utamanya, ketika dia benar-benar siap untuk memperhatikan hubungan personalnya, dan hubungan personalnya itu mungkin sudah sangat terganggu atau nggak bisa lagi diperbaiki. Akibatnya, dia mungkin akan memutuskan buat mencari istri yang baru yang akan membangun keluarga kedua dengannya, dengan mengulangi apa yang dilakukannya di masa mudanya dan berharap dia dapat melakukannya dengan benar kali ini. Berempati dengan istri tua dan keluarga pertama yang ditinggalkan, Betty Friedan mendorong laki-laki yang sedang bertambah tua untuk menemukan cara mencintai dan bekerja di usia lima puluh tahunnya yang berbeda dengan cara mereka mencintai dan bekerja di usia tiga puluh tahun atau empat puluh tahunnya. Dengan analisis dari Betty Friedan, juga kamu udah tahu soal itu, memang tidak mengherankan kalau dia mengklaim bahwa hukum yang spesifik gender itu lebih baik daripdaa hukum yang netral gender dalam memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin. Poin yang ini, tahun delapan puluh enam, Betty Friedan bergabung dengan suatu koalisi yang mendukung hukum di California yang menuntut pengusaha untuk memberikan empat bulan cuti yang tidak dibayar kepada perempuan karena dia dalam keadaan tidak bekerja sebab dalam kondisi hamil. Dengan mengambil posisi ini, Betty Friedan mengalienasi anggota NOW yang percaya kalau memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara berarti memperlakukan keduanya dengan cara atau sikap yang sama. Jika laki-laki tidak seharusnya menerima perlakuan khusus karena jenis kelaminnya, maka perempuan pun tidak seharusnya menerima perlakuan khusus. Menurut Betty Friedan , penalaran ini yang juga dia dukung sendiri pada tahun enam puluhan adalah keliru. Cara bernalar ini meminta hukum untuk memperlakukan perempuan sama halnya sebagai klon laki-laki ketika sebenarnya musti ada konsep kesetaraan yang mempertimbangkan kenyataan bahwa perempuan lah orang yang hamil dan melahirkan. Revolusi terakhir yang dibuat oleh Betty Friedan dalam The Foundation of Age adalah bahwa puncak karakter seseorang adalah pembauran sifat maskulin dan feminin pada diri setiap orang. Singkatnya, laki-laki dan perempuan yang potensial untuk berbahagia adalah orang-orang yang androgini. Dan semakin fia berkonsentrasi pada gagasan androgin, semakin terlihat jelas bahwa dia masuk pada konsep humanisme, dan menjauh dari sisi feminisme. Dia mengawali dengan mengilustrasikan semcam politik seksual feminis sebagai pengorbanan yang tidak akan dimenangkan oleh perempuan sebagai satu jenis kelamin, dan korban yang teropresi. Akhirnya, dia mengklaim kalau sebab keutuhan entitas manusia adalah janji feminisme, feminis harus bergerak di luar fokus isu perempuan untuk bisa bekerja dengan laki-laki di masalah yang konkret dan praktis dari hidup, bekerja, dan mencintai sebagai manusia yang setara. Pada perubahan yang terlihat tidak sekadar kebetulan saja, fokus NOW sudah bergerak menuju konsep manusia yang diinginkan oleh Betty Friedan, suatu kecenderungan yang sudah membawa NOW, dan juga sekaligus presiden pertama organisasi ini, dalam suatu posisi yang mengalami p*********n, terutama oleh feminis radikal. Berlawanan dengan Betty Friedan dan kebanyakan anggota liberal NOW, feminis radikal merasa skeptis kalau feminisme dapat bergerak di luar isu perempuan dan masih merupakan feminisme. Mereka mengklaim kalau selama pemahaman budaya tentang apa yang dimaksud sebagai manusia tetap androsentris atau berpusat pada laki-laki, merupakan prematur buat seorang feminis untuk menjadi humanis. Jelashlah bahwa Betty Friedan bukan feminis liberal pertama yang tertarik soal humanisme. Dengan cara dia sendiri yang berbeda, Wollstonecraft. Harriet dan John Stuart masing-masing menginginkan kemanusiaan, keanggotaan penuh dari komunitas manusia buat perempuan. Penelitian yang beranggapan kalau ujung dan tujuan feminisme mungkin pada akhirnya adalah identik dengan ujung dan tujuan humanisme, mungkin adalah hal yang kontroversi, namun layak untuk diingat saat memulai membahas kecenderungan akhir dari feminisme liberal. Betty Friedan hanyalah salah satu dari ribuan perempuan yang bisa diklasifikasikan sebagai feminis liberal. Seperti yang diungkapkan oleh Zillah Eisenstein, Elizabeth Holtzma, Bella Abzug, Eleanor Smeal, Pat Schroeder, dan Patsy Mink adalah feminis liberal, demikian juga beragam pemimpin dan anggota lain di NOW dan WEAL. Meskipun beberapa perempuan ini kadang terbagi, mereka tidak menyetujui kalau satu tujuan yang paling utama dari pembebasan perempuan adalah kesetaraan seksual, atau sering diistilahkan sebagai keadilan gender. Feminis liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu dari peran-perang yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar. Mereka menekankan kalau masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks dan gender, dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan. Oleh sebab itu, di Amerika Serikat, contohnya perempuan didorong untuk melakukan pekerjaan kayak perawat, guru, dan pengasuh anak, dan undang-undang yang secara khusus melarang perempuan dari pekerjaan-pekerjaan maskulin, misalnya pertambangan dan bartending atau menghambat perempuan untuk bekerja pada shift malam atau lembur dapat dengan mudah diloloskan. Meskipun secara de jure bahwa diskriminasi gender lebih merupakan sebuah kenangan sekarang, tetapi secara de facto diskriminasi gender tetap ada. Dihadapkan dengan pilihan antara kandidat laki-laki dan perempuan, misalnya, banyak pemilih tanpa berpikir ulang akan memilih laki-laki berdasarkan alasan bahwa perempuan terlalu emosional, penggugup, mudah terganggu perasaannya, dan gampang tegang untuk memimpin suatu organisasi dan/atau negara. Buat alasan yang sama, kalau perasaan berani bisa dijadikan alasan, para pengusaha lebih cenderung untuk mempekerjakan laki-laki untuk posisi tertentu, bahkan kalau perempuan, paling tidak, sama kualitasnya. Dalam pembahasan mengenai hambatan sikap dan struktural yang menghalangi kemajuan perempuan, feminis liberal kontemporer kerap kali tidak setuju tentang langkah mengatasi kerumitan ini. Feminis liberal klasik yakin kalau seusai hukum dan kebijakan yang diskriminatif dihilangkan, sejak itu secara formal perempuan dimampukan untuk bersaing secara setara dengan laki-laki, tidak banyak hal lain yang dapat dilakukan tenang burung yang berbulu sama akan berkumpul bersama, tentang profesor senior laki-laki, misalnya yang akan cenderung dengan kandidat laki-laki daripada terhadap kandidat perempuan dengan kualifikasi yang sama. Kita mungkin berpendapat kalau satu-satunya pendekatan feminis liberal untuk melawan diskriminasi gender adalah pendekatan yang klasik dan berorientasi kepada kesejahteraan, yang keduanya sangat bergantung kepada penyelesaian legal. Tetapi, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, feminis liberal seperti Betty Friedan menawarkan pendekatan lain yang menggunakan ide androgini untuk melawan kecenderungan tradisional masyarakat agar menghargai secara tinggi sifat maskulin, dan merendahkan sifat feminin. Jika masyarakat mendorong untuk mengembangkan baik sifat positif maskulin dan feminin, maka orang tidak akan lagi mempunyai alasan untuk lebih merendahkan sisi feminin dirinya daripada sisi maskulinnya. Diskriminasi berdasarkan gender dan jenis kelamin biologis akan berakhir. Untuk membebaskan permepuan dan laki-laki dari kandang maskulinitas dan feminitas yang dikonstruksikan secara budaya, banyak feminis liberal selain Betty Friedan mengadvokasikan pembentukan kepribadian androgin. Beberapa feminis liberal lebih cenderung kepada monoandrogini, pengembangan tipe kepribadian yang ideal yang menubuhi sifat gender maskulin dan feminin yang paling baik. Menurut psikolog Sandra Bem, seseorang yang monoandrogin mempunyai kualitas tradisional perempuan yang penuh, penyayang, pengasih, lembut, sensitif, berkemampuan untuk berhubugan dengan yang lain, dan mampu bekerja sama, dan pada saat yang sama juga, memiliki kualitas laki-laki tradisional, agresif, berkemampuan memimpin, berinisiatif, dan mampu bersaing. Feminis liberal yang meresistensi monoandrogini dan sebaliknya, mengadvokasikan poliandrogini, pengembangan tipe kepribadian yang banyak, yang mana di antaranya adalah benar-benar maskulin dan yang lainnya benar-benar feminin dan bagian yang lainnya lagi adalah campuran. Apa pun yang diajukan oleh feminis liberal, baik monoandrogini maupun poliandrogini, feminis liberal cenderung untuk setuju kalau jenis kelamin biologis dari seseorang tidak semestinya menjadi alat untuk menentukan gender psikologis maupun sosialnya.” “Amazing! You’ve read Putnam?” Malik kembali menegur delegasi Smanembaya yang usai memaparkan opininya. “Dengar? Kenapa pembahasan mereka sama persis dengan materi kita?!” Aku menggertak. Sejurus kemudian aku melirik ke arah Bu Ersa yang masih saja tidak menampakkan wajah cemasnya. Mustinya dia ingat kalau pemaparan yang disampaikan oleh pembicara adalah materi yang sama persis yang pernah dibahas di kelas. “Ha ha ha! Kamu lihat? Apa kubilang? Dia pasti punya pengetahuan luas!” Malik malah tertawa. Sementara aku bingung dengan para pembicara sebelumnya yang memaparkan opini yang sama persis yang pernah aku dan Malik pelajari dan bahas sebelumnya. Entah ini kebetulan atau tidak. Begitulah Malik. Selalu senang jika bertemu dengan seseorang yang punya pengetahuan tentang sejarah. Cekikikan yang ditunjukkan oleh Malik itu menjadi sorotan sebagian audiens termasuk para guru dari sekolah lain. “Beberapa tokoh yang dipaparkan tadi, tidak memberikan argumentasi yang telak terhadap eksistensi perempuan sebagai manusia juga civil society…” Malik mengubah tawanya menjadi nada yang serius dan terkesan mendalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN