22

1404 Kata
“Baca Sparta dari mana?” “Bertrand Russel, The History of Western Philosophy.” “Oh, yang bukunya tebal banget itu, ya? Bagus itu kayaknya. Mau beli, tapi nyari yang terjemahannya aja.” “Bukunya ada di rumah kalau mau baca.” “Kamu?” “Belum selesai, sih. Cuapek…” “Tumben tadi nyatet di buku?” “Nulisin buat kamu, waktu kamu dipanggil ke ruang guru tadi.” “Eh?” “Nih, lihat…” Malik menyibak buku catatannya. Tulisannya sangat rapi. Poin-poin yang ditulis sangat jelas. Walaupun aku belum paham tentang isi poin itu karena tidak ada narasinya. “Sekarang aku jelasin soal poin-poin ini.” “Jadi hari ini, spesifikasi materi mengarah total ke Betty Friedan. Beberapa hal menyangkut Zilla Eisenstein, sih, karena dia salah satu pengkritik Friedan. Tapi coba lihat…” Malik mulai serius menerangkan. Sambil sesekali menggaruk kepalanya dengan harap dia bisa menjelaskan poin-poin itu dengan jelas sesuai yang dia dapatkan di kelas. “Dengan analisis dari Betty Friedan, juga kamu udah tahu soal itu, memang tidak mengherankan kalau dia mengklaim bahwa hukum yang spesifik gender itu lebih baik daripdaa hukum yang netral gender dalam memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin. Poin yang ini, tahun delapan puluh enam, Betty Friedan bergabung dengan suatu koalisi yang mendukung hukum di California yang menuntut pengusaha untuk memberikan empat bulan cuti yang tidak dibayar kepada perempuan karena dia dalam keadaan tidak bekerja sebab dalam kondisi hamil. Dengan mengambil posisi ini, Betty Friedan mengalienasi anggota NOW yang percaya kalau memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara berarti memperlakukan keduanya dengan cara atau sikap yang sama. Jika laki-laki tidak seharusnya menerima perlakuan khusus karena jenis kelaminnya, maka perempuan pun tidak seharusnya menerima perlakuan khusus. Menurut Betty Friedan , penalaran ini yang juga dia dukung sendiri pada tahun enam puluhan adalah keliru. Cara bernalar ini meminta hukum untuk memperlakukan perempuan sama halnya sebagai klon laki-laki ketika sebenarnya musti ada konsep kesetaraan yang mempertimbangkan kenyataan bahwa perempuan lah orang yang hamil dan melahirkan.” “Lalu dielaborasi lagi di tahun delapan puluhan?” Aku menyergah. “Iya, kali ini dia nggak bisa untuk secara total menyelamatkan pendapatnya sendiri. Karena kalau Betty Friedan tahun delapan puluhan benar, maka merupakan tugas feminis liberal tidak untuk menentukan kebebasan dan kesetaraan itu bagi orang yang rasional dan abstrak, melainkan kebebasan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan yang konkret.” “Antara lain, ada seorang Sejarawan dari Amerika Serikat, namanya Rosalind Rosenberg. Dia mengatakan bila perempuan sebagai suatu kelompok dimungkinkan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan istimewa, kita membuka kemungkinan bagi kelompok itu untuk dianggap inferior. Tetapi, kalau kita tidak mempedulikan semua perbedaan, sebagaimana yang terjadi pada gerakan perempuan selama ini, kita mengalihkan perhatian dari kerugian yang diterima perempuan atas fungsi khususnya itu.” “Itu bukannya termasuk disclaimer nggak, sih?” tanyaku. Angin berhembus menyibak rambutku. “Bener. Jadi, kata-kata peringatan dari Rosalind Rosenberg itu memunculkan banyak pertanyaan juga. Kayak, ada nggak cara tertentu buat memperlakukan perempuan dan laki-laki secara berbeda, tetapi setara tanpa terjebak ke dalam versi destruktif dari pendekatan terpisah tetapi setara yang mana itu merupakan karakter dari hubungan antar ras di Amerika Serikat sampai awal tahun enam puluhan? Kayak gitu. Lalu ada lagi, atau haruskah feminis liberal bekerja untuk pencapaian penghapusan perbedaan sebagai langkah awal menuju kesetaraan yang sesungguhnya? Kalau begitu, haruskah perempuan menjadi seperti laki-laki untuk menjadi setara dengan laki-laki? Atau haruskah laki-laki menjadi seperti perempuan untuk menjadi setara dengan perempuan? Atau pada akhirnya, haruskah entah itu laki-laki atau perempuan menjadi androgin, setiap orang menggabungkan sifat-sifat yang benar dari karakteristik positif dari maskulin dan feminin untuk menjadi setara dengan setiap orang lain?” “Oke, Malik. Aku menangkap penjelasan kamu. Aku sedikit menjelaskan ulang, kalau salah silakan dikoreksi. The Feminine Mystique menyarankan agar perempuan untuk menjadi seperti laki-laki. Sementara The Second Stage, mendorong perempuan untuk menjadi perempuan. Buku itu sebetuknya juga mendorong, laki-laki atau perempuan untuk bekerja menuju masa depan yang androgini.” “Iya, betul, Grace. Androgini, setiap orang mengkombinasikan di dalam dirinya sifat mental dan perilaku yang maskulin dan feminin.” “Iya, perpaduan. Betul, kan? Nah, dalam buku terakhirnya Betty Friedan, The Fountain of Age, Friedan mengingatkan kembali dukungannya untuk androgini. Dia mendorong laki-laki alfa yang mulai tua untuk mengembangkan kualitas feminin mereka yang pasif, penuh keinginan untuk merawat, dan kontemplatif, dan perempuan beta yang mulai tua untuk mengembangkan kualitas maskulin mereka yang tegas, asertif, bernada perintah atau penuh petualangan. Dia yakin kalau hal itu adalah buat kepentingan orang-orang di atas lima puluh tahun untuk mengeksplorasi sisi lain dirinya, entah dalam sisi maskulin atau feminin. Betty Friedan juga nyatat, misalnya, kalau perempuan di atas lima pukuh tahun yang kembali ke sekolah, atau bekerja, atau menjadi sangat aktif dalam dunia publik, melaporkan kalau usia di atas lima puluh tahun merupakan tahun-tahun terbaik dalam kehidupan mereka. Demikian juga halnya, laki-laki di atas lima puluh tahun yang mulai memfokuskan diri terhadap kualitas hubungan personal dan kehidupan interior mereka melaporkan kepuasan yang sama pada usia tuanya. Nahasnya, jumlah laki-laki yang berumur panjang lebih sedikit daripada jumlah perempuan yang berumur panjang. Di dalam masyarakat Amerika Serikat, Grace, ada lebih banyak kesempatan bagi perempuan senior untuk mengembangkan sifat-sifat maskulin mereka daripada bagi laki-laki senior untuk mengembangkan sifat-sifat feminin mereka. Kalau seorang laki-laki telah mengabaikan istri dan anak-anaknya selama bertahun-tahun, karena dia telah menempatkan pekerjaan sebagai prioritas utamanya, ketika dia benar-benar siap untuk memperhatikan hubungan personalnya, dan hubungan personalnya itu mungkin sudah sangat terganggu atau nggak bisa lagi diperbaiki. Akibatnya, dia mungkin akan memutuskan buat mencari istri yang baru yang akan membangun keluarga kedua dengannya, dengan mengulangi apa yang dilakukannya di masa mudanya dan berharap dia dapat melakukannya dengan benar kali ini. Berempati dengan istri tua dan keluarga pertama yang ditinggalkan, Betty Friedan mendorong laki-laki yang sedang bertambah tua untuk menemukan cara mencintai dan bekerja di usia lima puluh tahunnya yang berbeda dengan cara mereka mencintai dan bekerja di usia tiga puluh tahun atau empat puluh tahunnya.” Aku menghentikan Malik yang tampaknya ingin terus mengoceh. Dia nyekikik seperti biasa. Rupanya, dia memang punya kapasitas soal materi ini. Dan kemungkinan, dia punya kapasitas pengetahuan yang lebih tinggi daripada aku. “Sekarang ganti aku yang ngomong tentang pesan The Foundation Age. Kalau manusia yang akan sangat mungkin buat tumbuh, berubah dan lebih menjadi dirinya sendiri ketika mereka bertambah tua, adalah mereka yang mampu bergerak di luar peran jenis kelamin yang terpolarisasi dan secara kreatif mengembangkan sisi dirinya yang diabaikan untuk dikembangkan ketika mereka masih muda, In short, laki-laki dan perempuan senior yang paling bahagia dan paling hidup adalah orang-orang yang androgini.” Nissa datang dengan wajah sumringah sambil menenteng tas di punggungnya. Wajah yang sangat biasa aku temukan ketika kelasnya dibubarkan. “Ayook pulaang!!!” rengeknya. “Kamu habis ini mau pulang atau ke mana?” “Aku ke rumah Rendi dulu. Mau mampir makan. He he he…” “Bi Asih udah masak kok jam segini. Sekalian aja, Nissa habis ini juga makan di rumah.” “Iya, habis makan di rumah Nissa, di rumah aku makan lagi.” “Dasar perut karet!” “Besok aja, deh. Aku sekalian sambang ke ibunya Rendi.” “Hati-hati aja pokoknya,” pintaku. “Cieee.. Kayaknya makin deket aja, nih.” Aku melengos. Selama Malik masuk di sekolah ini, hal yang biasa aku lakukan sendiri, sekarang menjadi berbeda. Menunggu Nissa keluar kelas, misalnya. Yang sebelum-sebelumnya aku hanya duduk sendiri, sekarang Malik selalu cari-cari alasan untuk bisa menemaniku menunggu sampai Nissa keluar kelas. *** “Ngomong-ngomong, Grace, bahas apa aja kalau ngobrol sama Malik?” “Em, kebanyakan ngobrolin soal yang ada kaitannya sama pelajaran, sih.” “Emang nggak pernah ngobrolin sesuatu di luar itu?” “Em, ya ada. Sesekali nyeletuk dia.” “Soal?” “Soal cinta. Ya, walaupun kalau kita lagi bahasa sejarah, memang ada konsep cinta, tapi sesekali dia ngobrolin sesuatu yang subjektif, bukan soal konsep cinta orang lain.” “Kamu nyaut?” “Ya, nyaut. Tapi nggak bener-bener detail banget, sih.” “Tahu nggak, Grace?” “Enggak.” “Ish! Belum selesai ngomong aku, mah.” “Apaa?” tanyaku sambil melepas sepatu. “Kalau laki-laki sudah ngomongin soal cinta dan itu kesannya adalah subjektif, bisa jadi dia memberi kode ke lawan bicaranya, kalau dia sedang ngerasain itu. Dan, apalagi kalian berdua sama-sama nggak punya atau bahkan nggak pernah saling suka dengan lawan jenis. Tapi, begitu nemuin yang sefrekuensi, langsung ngerasa kalau cinta itu benar-benar ada buat manusia. Mungkin selama ini, kamu nggak pernah mempercayai itu.” “Aku percaya. Menurutku, cinta itu bukan tentang satu frekuensi. Cinta itu ada karena memang waktunya ada. Kalau nunggu sefrekuensi ya, susah. Sama aja mengkategorikan orang.” “Iya juga, sih. Lalu menurutmu, apa yang kamu rasain sama Malik?” “Sejauh ini asyik-asyik aja, sih, menurutku.” Nissa menyembunyikan nyengirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN