Aku Bukan Siapa-Siapamu!

1759 Kata
“Kak Tama nggak masuk hari ini,” tutur Dhea. “Wakil kaptennya siapa?” “Kak Tio.” “Aku kenal dia. Biar aku saja yang gali informasi.” Aku dan anggota pers yang lain sedang membicarakan terkait turnamen basket yang akan diselenggarakan pekan depan oleh sekolah kami. Sudah tugas kami untuk mencari informasi apa saja yang sekiranya perlu untuk dipublikasi. Informasi tersebut nantinya akan dipaparkan di mading dalam berita eksklusif sampai menjelang pertandingan berakhir. Juga informasi yang didapatkan akan dibuat dalam bentuk dokumentasi yang nantinya bisa menjadi memoar kolektif khususnya buat anggota basket yang terlibat, dan bisa dipakai buat bahan promosi oleh pihak sekolah untuk memasarkan keunggulan sekolah dalam bidang olahraga. Serta untuk mendapatkan kelengkapan itu, maka kami membutuhkan narasumber dari perwakilan tim ekskul basket yang bisa diwawancarai. Rencananya, hari ini kami akan mewawancarai kapten tim ekskul basket yaitu Mahesa Tama Dirgantara yang saat ini merupakan siswa kelas XII. Tuntutan dari pembina ekskul pers adalah bahwa informasi tersebut harus siap dipublikasi besok pagi. Sementara, narasumber yang bersangkutan tidak masuk sekolah hari ini, maka kami harus mencari narasumber lain yang mampu menjadi wakil suara dari tim ekskul basket. Risa menyarankan untuk menjadikan wakil kapten tim ekskul basket sebagai narasumber menggantikan kapten yang tidak masuk sekolah hari ini. Dan kebetulan wakil kapten tersebut adalah seseorang yang telah aku kenal, maka aku dengan bantuan Dhea dan Vina— keduanya anggota pers kelas sepuluh—untuk menemaniku mewawancarai Kak Tio saat istirahat nanti. “Seriusan kamu mau terlibat dengan dia lagi?” “Mungkin bisa dibilang terpaksa, Nis. Toh, sekarang mumpung ada kesempatan, karena adanya kegiatan ini aku bisa sekaligus tanya ke dia soal lain. Aku nggak mau dia kepedean aja, tiba-tiba aku mau nemuin dia terus ngajak dia ngobrol. Yah, berhubung aku bisa jadiin ini sebagai alasan kenapa aku ngobrol sama dia. Lagian, aku juga nggak sendiri. Ada Dhea sama Vina yang bisa mencairkan suasana nanti.” “Ya udah, kelas dulu, yuk. Nanti aku nggak bisa nemenin, soalnya ada pengecekan tugas batik dan istirahatku jadi diganti ke kelas berikutnya.” “Enak, dong. Kantin jadi sepi. Yang lain masuk, kelasmu istirahat sendiri.” Setelah itu, kami masuk ke kelas masing-masing. *** Guru sejarah cantik yang bermata empat itu mendongeng tentang sejarah feminisme liberal yang menjadi arus pemikiran utama feminis. Arus pemikiran utama feminis sebenarnya ada beragam: ada feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural, dan ekofeminisme. “Kajian Feminisme Liberal itu berlangsung sengit antara abad 19 sampai abad 20, mencakup pemikiran Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill, dan Jean Bethke Elshtain.” Bu Elsa menulis para penggagas Feminisme Liberal di papan tulis dan menyertakan garis besar pemikiran masing-masing tokoh. “Mary Wollstonecraft menulis pada saat kondisi sosial dan ekonomi di Eropa sedang terpuruk. Sekitar tahun 1759 hingga 1799. Hingga abad ke-18, pekerjaan produktif telah dilakukan, yang mana pekerjaan produktif itu adalah pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menghidupi sebuah keluarga, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tetapi kemudian, kekuatan industri kapitalisme mulai menarik keluar tenaga kerja keluar rumah dan kemudian memasuki ruang kerja publik. Awalnya, proses industrialisasi ini bergerak perlahan dan tidak teratur, dan meninggalkan dampak besar kepada perempuan borjuis yang sudah menikah. Dan perempuan dalam kelompok ini merupakan perempuan-perempuan yang pertama-tama merasakan tinggal di rumah dan tidak mempunyai pekerjaan produktif yang harus dilakukan. Sebab mereka, perempuan-perempuan itu menikahi para profesional dan pengusaha yang relatif kaya. Jadi perempuan ini tidak mempunyai intensif untuk kerja di luar rumah atau melakukan pekerjaan produktif di dalam rumah, jika mereka mempunyai beberapa pelayan. “Hari ini kita eksklusif hanya membahas tentang arus feminisme liberal, karena jam-nya tidak mencukup kalau membahas keseluruhan. Mungkin hanya poin-poin kecil saja.” “Bukankah kalau begitu, kedudukan perempuan pada waktu itu nggak ada beda dengan peliharaan yang dikurung di dalam sangkar saja, Bu?” Seseorang mengajukan kuriositas. “Kemarin kita menyinggung sedikit tentang literatur yang judulnya A Vindication of the Right of Woman, kita bisa melihat bahwa kalau kekayaan itu berdampak buruh buat perempuan borjuis abad 18 yang sudah menikah. Nah, Wollstonecraft membandingkan antara perempuan yang beruntung dengan anggota ras bersayap.” “Perempuan yang beruntung dan anggota ras bersayap itu maksudnya apa, Bu?” Yang dimaksud oleh Wollstonecraft tentang perempuan-perempuan yang “beruntung” itu adalah yang diharapkan dapat terinspirasi untuk mencapai cara bereksistensi yang lebih manusiawi. Jika seperti yang dibicarakan oleh guruku itu, tentang perbandingannya dengan anggota “ras bersayap”, bahwa istilah tersebut adalah perumpamaan dari kondisi perempuan pada waktu itu dengan burung yang disimpan dalam sangkar, yang tidak mempunyai pekerjaan lain untuk dilakukan, kecuali hanya memamerkan sayapnya dan berjalan dengan keagungan yang penuh kepalsuan dari tonggak kayu satu ke tonggak kayu yang lain. “Nah, terkait yang ditanyakan tadi bahwa apakah kalau gitu kedudukan perempuan nggak lebih dari sekadar peliharaan? Ya, perempuan kelas menengah menurut Wollstonecraft adalah perempuan peliharan yang telah mengorbankan kebebasan, kesehatan, dan moralitasnya hanya demi prestise, kenikmatan dan kekuasaan yang disediakan suaminya. Juga karena perempuan kelas menengah ini tidak diizinkan oleh suaminya untuk berolahraga di luar rumah, karena khawatir hal itu akan menggelapkan kulit putihnya dan menjadi seperti bunga lily. Dianggap menjadikan tubuh tidak sehat. Karena perempuan itu tidak dibiarkan mengambil keputusan sendiri, sebab mereka sudah tidak punya kebebasan.” Begini sepengetahuanku, Wollstonecraft menyangkal bahwa perempuan secara alamiah, lebih cenderung bersifat sebagai pemburu dan pemberi kenikmatan daripada laki-laki. Dia berpendapat bahwa bila laki-laki disimpan di dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seprti perempuan. “Karena diabaikan kekuatan nalarnya, untuk menjadi manusia bermoral penuh perhatian, motif, dan komitmen yang lebih dari sekadar kenikmatan pribadi, dia akan menjadi sangat emosional. Nah, istilah ini yang seringkali dihubungankan Wollstonecraft dengan hipersensitivitas, narsisme yang ekstrim dan pemanjaan diri yang berlebih-lebihan. Karena secara umum penilaiannya yang negatif atas emosi dan penilaian yang tinggi atas nalar, sebagai kapasitas yang membedakan antara manusia dari binatang, nggak mengherankan bila Wollstonecraft sangat membenci Emile, karya dari Jean-Jacques Rousseau. Dalam buku itu, Rousseau menggambarkan perkembangan rasionalitas sebagai tujuan pendidikan paling penting bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Rousseau berkomitmen terhadap dimorfisme seksual, suatu pandangan yang berpendapat bahwa laki-laki yang rasional adalah pasangan yang tepat bagi perempuan yang emosional. Juga menurut pandangannya, laki-laki harus dididik dalam nilai-nilai. Misalnya, keberanian, pengendalian diri, keadilan, dan kekuatan mental. Sementara perempuan harus dididik dalam nilai-nilai, misalnya kesabaran, kepatuhan, temperamen yang baik dan kelenturan. Karena itu, murid laki-laki yang idel bagi Rousseau adalah yang seperti Emile, yang akan mempelajari tentang kajian kemanusiaan, ilmu sosial dan juga ilmu alam. Sementara, murid perempuan yang ideal bagi Rousseau adalah seperti Sophie, yang menyibukkan diri dengan musik, kesenian, fiksi, dan puisi sembari mengasah keterampilannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Rousseau mengharapkan bahwa dengan mengasah kapasitas mental Emile, dan membatasi kapasitas mental Shopie, akan menjadikan Emile sebagai warga negara yang dapat menentukan nasibnya sendiri, serta menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab dan menjadikan Shopie sebagai istri yang penuh pengertian dan tanggap.” Para murid perempuan di kelas menyimak dengan anggun dan serius sampai bel istirahat berbunyi dan mengakhiri kelas Bu Elsa. Sementara, para murid laki-laki yang menganggap kalau materi feminis ini hanya untuk kaum perempuan, lebih banyak yang ngobrol sendiri dan beberapa ada tidur. “Pembahasan tentang pemikiran Mary Wollstonecraft saya akhiri sampai di sini. Tugas kalian nanti adalah membuat konsep tentang arus pemikiran John Stuart Mill yang akan kita bahas hari Sabtu besok. Sekian terima kasih,” ujar Bu Elsa yang sejurus kemudian sosoknya sudah tidak ada di dalam kelas. “Mau ke kantin?” ajak Malik. “Eh…” Aku terkesiap. “Aku habis ini ada urusan sama anak pers buat bikin dokumentasi, soalnya mau ada event di sekolah.” Setelah Malik berganti mengajak Edward untuk ke kantin, aku segera menuju ke ruang pers. Di sana sudah ada beberapa anggota kelas sepuluh dan sebelas yang sudah berkumpul. *** “Kita sudah nanyain soal kesiapan tim, para pendukung, motivasi, dan potensi anggota baru yang nantinya bakal diikutkan dalam turnamen nanti. Apa ada yang lain, Kak Grace?” ujar Dhea. Ingin aku segera menanyakan tentang masalah pribadi. Tapi aku mikir berulang kali, nggak enak kalau misalnya aku terlihat seperti punya dendam kesumat dengan narasumber di hadapan adik kelas. “Sudah cukup, nanti kita bikin konsepnya dengan memberi beberapa gambar dari tim ekskul basket. Kalian bisa duluan ke kantin habis ini.” Dhea dan Vina meninggalkan kami di tribun lapangan basket. Aku ingin melayangkan beberapa pertanyaan langsung pada Kak Tio. Di sisi lain, Kak Tio terlihat seperti biasa-biasa saja, cengengesan tidak jelas. “Ada untungnya buat aku karena adanya kegiatan ini. Aku bisa secara langsung nanyain soal, ada masalah apa sama Malik?” ketusku. Sementara, mengingat aku yang belum pernah memasang wajah ketus padanya, reaksinya menjadi berbeda. “Kalau pun kamu marah atau tersinggung sebab Malik megang aku, kamu nggak punya hak buat marah-marah seperti itu! Aku bukan siapa-siapamu!” Aku semakin emosi. “Lagi, aku tahu Malik selama ini menyembunyikan lebam di pelipisnya, karena nggak mau masalah ini jadi panjang. Dia juga nggak mau terlalu melibatkan aku lebih jauh dalam masalah ini. Untuk itu, selama ini dia diam menyembunyikan sakitnya. Sikap kamu sebagai kakak kelas itu menjijikkan.” Kata-kataku semakin tidak terkontrol. Dia seperti tidak ingin membantah kata-kataku yang aku layangkan secara ketus padanya. Dia mematung. Menatapku tidak henti-hentinya. “Kalau kamu ingin tim ekskul basket bisa sukses menjuarai turnamen tahun ini, kamu butuh Malik di lapangan. Kamu nggak bisa membawa masalah pribadi dalam basket. Aku tahu orangtua kamu punya otoritas di sekolah ini sebagai salah satu donatur, tapi melihat karaktermu yang menjijikkan itu, aku nggak akan respect sama sekali. Denganmu juga dengan siapa ayahmu!” Misiku untuk tidak terlalu terlihat di sekolah, mungkin kali ini sudah gagal. Aku tidak apa-apa, kalau dengan adanya masalah ini, ada jaminan untukku bisa menjadi dewasa. Setelah puas menyampaikan uneg-uneg yang selama ini aku tahan. Aku pergi setelah mengucapkan terima kasih sebab dia telah mau meluangkan waktu untuk menjadi narasumber. Dia tidak menahan seperti biasanya. Masih duduk di tribun dengan posisi yang sama. Lalu, aku pergi ke kantin menyusul Dhea dan Vina. Sambil menuju ke sana, aku mencoba sekuat tenaga untuk mengubah ekspresi kesalku tadi. Dan sesampainya di kantin, aku menjumpai pemandangan yang nggak biasa. “Kamu sudah selesai? Ayo kembali ke kelas,” tutur Malik begitu melihatku. “Aku duluan ya, Grace,” sahut Rada yang mengekor di belakang Malik dengan mesam-mesem seolah-olah sedang memanas-manasiku. Anehnya, tiba-tiba tubuhku terkujur kaku dan aku diam membisu. “Kak Grace!” Suara Vina membuyarkan lamunanku. “Kak, bukannya cowok tadi temennya kakak yang kemarin ikut nimbrung? Kenapa dia jalan sama cewek lain? Oh, apa mereka paca…” “Tadi gimana? Sudah ngasih tahu yang lain soal hasil wawancaranya?” Aku sengaja memotong ucapan Dhea. Sejak kapan? Sejak kapan Malik kenal dekat bahkan sampai ke kantin berdua dengan Rada? Inginku tidak peduli. Tapi melakukan itu sulitnya sudah setengah mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN