Cuaca Kota Surabaya pukul dua belas siang sudah nggak terlihat teriknya. Angin menderu ribut seperti akan membuka pintu hujan. Beberapa murid di kelas sudah siap mendengarkan dongeng pengantar tidur siang. Kepala mereka sudah tersungkur di salah satu lengan tangan. Ada yang sambil melirik-lirik bangku guru, takut ketahuan kalau sampai kebablasan tidur.
“Baik, saya lanjutkan materi yang kemarin. Terkait konstelasi John Stuart dan Hariiet. Menurut John Stuart, jika semua perempuan adalah lebih buruk daripada semua laki-laki pada suatu hal tertentu, tetap hal itu tidak bisa membenarkan pelarangan bagi perempuan untuk melakukan sesuatu seperti yang diinginan.”
Bu Ersa mulai membuka laptopnya, setelah mengucapkan pengantar.
“Ada suatu hal yang bisa dilakukan oleh perempuan dan sangat berpotensi menghancurkan d******i laki-laki. Maka terbukalah ruang persaingan antara laki-laki dan perempuan. Persaingan itu sendiri telah dianggap layak untuk mengesampingkan perempuan. Meskipun John Stuart meyakini kalau perempuan akan berhasil dengan baik dalam setiap dan semua persaingan dengan laki-laki, dia mengaku bahwa pada waktu-waktu tertentu, perbedaan jenis kelamin biologis akan memberikan peluang dan keuntungan besar bagi laki-laki. Seperti Wollstonecraft, John Stuart menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan perempuan. Dia menyatakan, saya tidak mengetahui contoh yang lebih jelas dari ketidakpedulian yang dinafikkan oleh dunia, termasuk oleh kelompok laki-laki yang terpelajar dan diturunkan bersama dengan pengaruh lingkungan sosial, daripada penghargaan bodoh mereka yang rendah terhadap intelektualitas dan pujian bodoh mereka atas moral dan karakteristik perempuan.”
Beberapa murid sudah serius menyimak. Ada yang tetap kuat duduk dengan tegak, ada yang kepalanya sudah selonjoran seperti kebiasaan kucing demam. Yang duduk paling depan berusaha tetap terlihat bugar, meski kedua mata mereka semakin sering mengerjap.
Bu Ersa sekali lagi, Guru Sejarah lulusan strata satu dari kampus Universitas Diponegoro. Memori kepalanya sangat kuat ketika mengajarkan feminisme. Sangat sabar. Mempersilakan muridnya tidur bila mengantuk saat pelajarannya. Tapi, pada akhir perjalanan, konsekuensinya adalah menjelaskan poin-poin yang telah dia paparkan. Selama ini belum ada korban. Lebih baik seolah-olah mendengarkan meskipun nggak terlalu menempel di kepala. Daripada memilih tidur dan akhirnya kencing di celana karena disuruh menjelaskan ulang, namun nggak bisa. Selama ini, murid-murid lain hanya main aman. Hanya menyandarkan kepalanya ke bangku. Tidak terlalu berani menutup mata lama-lama. Itu bisa saja tetap dilakukan, tapi harus mengorbankan temannya sebagai penutup.
“Dalam konsep tertentu, John Stuart sama seperti Wollstonecraft, mengklaim bahwa standar ganda etis masyarakat telah melukai perempuan. Sebagian besar nilai yang dipuja-puja dalam diri perempuan adalah karakter negatif yang dapat menghalangi kemajuan perempuan untuk mencapai kondisi manusia yang seutuhnya. Hal itu berlaku entah bagi sifat yang negatif seperti ketidakberdayaan, maupun bagi sifat yang positif, seperti ketidakegoisan. John Stuart berpendapat bahwa konsentrasi perempuan dilimitasi hanya pada soal ranah pribadi, perempuan yang lebih terobsesi pada kepentingan yang bersifat pragmatis, kepentingan keluarganya, dan menganggap kebutuhan dan keinginan keluarga sebagai sesuatu yang primer, namun merendahkan keinginan dan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Akibatnya, ketidakegoisannya tumbuh dalam bentuk yang secara pas dapat diilustrasikan sebagai egoisme yang lebih luas.”
Aku ingin memastikan penjelasan dia dengan dialektika yang pernah aku lakukan dengan bunda. Tentang prinsip dari perempuan untuk mendorong karier suaminya.
“Ibu, maaf saya mau bertanya. Lalu tentang prinsip perempuan dalam mendorong karier suaminya bagaimana?”
“Tugas perempuan lebih dari itu. Tidak sekadar mendorong karier suaminya saja. Permepuan berusaha sekuat tenaganya untuk mendukung karier suaminya dan menempatkan anak-anaknya di sekolah yang baik dan mengupayakan agar rumah tangganya berada dalam kondisi yang nyaman dan menyenangkan. Itu adalah khas kedermawanan seorang istri dan ibu yang tipikial berawal dan berakhir di rumah.”
“Berawal dan berakhir di rumah?”
“Berawal dan berakhir artinya perempuan tetap mengerjakan tugas domestik sebagai seorang istri sekaligus ibu. Tapi tetap punya hak untuk bekerja di luar rumah. Begitu dia selesai dalam pekerjaan, dia kembali menjadi seorang istri dan ibu. Maka dari itu, John Stuart yakin kalau bila perempuan diberikan pendidikan yang sama seperti yang diterima oleh laki-laki, tentang kebaikan kolektif dan kebaikan individual, maka perempuan akan mengembangkan ketidakegoisan yang sebenarnya. Nah, keyakinan ini menjelaskan dorongan yang kuat dari John Stuart terhadap gerakan perempuan untuk memperoleh hak pilih. Lalu, menyadari kalau dalam hal mendukung kebijakan publik, kebaikan bersama mempunyai kepentingan yang sangat besar. Pemilih memahami kalau kebaikan kepada orang lain tidak seharusnya berakhir di rumah bila kebaikan itu dimulai dari rumah.”
Seorang murid yang tadinya kuperhatiin seperti tidur dan tidak terlihat memperhatikan, tiba-tiba mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan yang relevan dengan substansi materi yang disampaikan oleh Bu Ersa.
“Iya, Malik?”
“Setahu saya, John Stuart lebih agresif dalam menentang klaim sewenang-wenang tentang superioritas intelektual laki-laki daripada Wollstonecraft, ya?”
Murid-murid yang lain—termasuk yang tadi menikmati tidurnya—serentak menoleh ke arah Malik. Mereka mungkin berpikir bahwa begitu Malik bertanya, mereka merasa kalau Malik sepertinya juga paham tentang sejarah. Hal yang sering nafikkan murid-murid yang lain karena membahas masa lalu menurut mereka membosankan.
“Betul, Malik. Memang John Stuart lebih tajam dibanding Wollstonecraft dalam menentang asumsi tak berdasar terhadap superioritas laki-laki. Dengan mempertajam bahwa kapasitas intelektual laki-laki dan perempuan adalah sama jenisnya. Wollstonecraft bagaimana pun menerima pemikiran kalau perempuan kemungkinan tidak punya daya tahan intelektual untuk mengimbangi bahkan mengungguli tingkat pengetahuan laki-laki. John Stuart menyampaikan pendapatnya ini tidak ada pengecualian sama sekali. Dia beranggapan bahwa distingsi yang signifikan tentang kapasitas intelektual laki-laki yang cenderung lebih tinggi itu karena laki-laki memperoleh tingkat pendidikan yang lebih lengkap daripada perempuan.”
“Jadi, apakah Harriet memberikan status ideal bagi perempuan yang mustinya memilih keluarga daripada karier itu karena pendapat dari John Stuart?” Malik menimpali. Tangannya dikalungkan di leher Edward yang juga ikut terbangun dari tidurnya ketika Malik bertanya.
Serius, kali ini aku benar-benar tertawa sekaligus kasihan melihat Edward. Rambutnya sedikit acak-acakan karena usai kepalanya ditaruh di meja. Juga matanya yang terlihat berat untuk tetap bertahan terbuka.
“Iya. Tulisan Harriet dan John Stuart, keduanya sering kali berlawanan. Tapi tetap bisa ditemukan relevansi untuk bisa membedakan poin-poin kritis yang unggul. Memang betul yang dikatakan Malik, alih-alih penilaian yang tinggi terhadap kemampuan intelektual perempuan, John Stuart berbeda dengan Harriet, mengasumsikan kalau kebanyakan perempuan akan tetap memilih keluarga daripada karier, bahkan dalam situasi ideal sekalipun. Ideal dalam hal ini, perempuan atau seorang istri juga seorang ibu, mempunyai kemampuan finansial yang cukup untuk menyewa asisten rumah tangga, sedang perempuan bisa tetap bekerja di luar rumah. Tapi, Harriet tidak begitu. Sedangkan John Stuart mengasumsikan begini, kalau dengan memilih keluarga di atas karier, para perempuan lantas mengindikasikan kalau dia menyetujui untuk mengorbankan kepentingannya sampai keluarganya tumbuh. John Stuart pernah menulis, seperti saat seorang laki-laki memilih suatu profesi, begitu juga kalau saat seorang perempuan menikah, secara general dapat dipahami kalau perempuan membuat keputusan daalam regulasi rumah tangga, dan dalam menumbuhkembangkan keluarga, sebagai panggilan pertama dalam bertindak dan sepanjang hidupnya hal itu diperlukan. Serta dia akan menafikkan tidak semata-mata semua objek dan pekerjaan, tetapi seluruh objek yang tidak konsisten dengan kebutuhan ini.”
“Kata-kata John Stuart membuktikan keyakinan yang jelas-jelas kalau perempuan pada akhirnya adalah penanggung jawab utama. Bukan saja untuk pembentukan suatu keluarga, melainkan juga dalam memelihara keluarga itu sendiri. Betapa pun cerahnya gagasan yang lain tentang perempuan sebagai orang yang mengandung adalah orang yang paling tepat untuk membesarkan anak-anak.”
“Harriet meragukan bahwa istri dan ibu yang terbebaskan akan bersedia untuk tinggal di rumah, dia seperti juga John Stuart, adalah seorang reformis dan bukan seorang yang revolusioner. Tentu saja dengan mengundang perempuan yang telah menikah dan memiliki anak, serta perempuan-perempuan lajang untuk bekerja di luar rumah. Harriet benar-benar telah menantang pembagian kerja konvensional di dalam keluarga, yang mana dalam hal ini berarti laki-laki menghasilkan uang seperti perempuan mengatur pengeluarannya. Tetapi tantangan Harriet terhadap aspek status quo tidak dapat bertindak lebih jauh. Misalnya, tidak terpikirkan olehnya bahwa jika suami menjalankan pengasuhan terhadap anak-anak bersama dengan istri, dan bila tugas-tugas domestik dibagi secara merata, maka entah suami atau istri dapat bekerja di luar rumah secara full time, dan istri yang bekerja dan telah memilih anak, tidak lagi harus bekerja dalam shift ganda, atau membayar seorang asisten rumah tangga perempuan untuk melakukan pekerjaan rumah dan pengasuhan anak.”
Teett!!! Teett!!!
Bel pulang sekolah membuyarkan dongeng dari Bu Ersa. Para murid yang tadinya letih, lesu dan mengantuk, berubah menjadi bugar seperti anak kecil melihat permen di pasar malam saat menyambut bel pulang.
“Dengar anak-anak! Itu materi arus pemikiran Wollstonecraft, John Stuart Mill, dan Harriet Taylor yang terakhir sebelum pertemuan selanjutnya kita akan memasuki alam pemikiran Angela Davis, Lucy Stone, dan kawan-kawan.”
Pemberitahuan itu tidak terlalu diperhatikan oleh para murid. Mereka lebih sigap untuk membereskan buku-buku pelajaran dan alat-alat tulis agar bisa segera pulang.
“Dan terakhir yang ingin saya informasikan. Bahwa Grace dan Malik akan mengikuti acara public discourse yang ibu selenggarakan dengan beberapa guru di sekolah lain bersama delegasi sekolah mereka untuk membicarakan kajian feminisme yang telah kita pelajari selama dua minggu terakhir.”
Aku yang mendengar itu tiba-tiba kaget. Acara apa itu? Dan kenapa harus aku?
“Bu, kenapa harus saya?” Aku mengeluarkan pertanyaan.
Para murid lain yang tadinya sibuk sendiri dengan barang-barang di ranselnya, mendadak jadi menyimak. Malik yang sepertinya ingin menanyakan sesuatu yang sama, juga turut menunggu jawaban.
“Saya mengamati beberapa murid saya di kelas. Saya memilih kalian berdua karena kalian aktif menanggapi dan mengikuti materi saya. Dan tidak hanya itu, kerelaan kalian untuk menyimak materi saya, akan mendapatkan price setelah acara tersebut selesai. Karena acara tersebut bukan hanya berasal dari inisiatif beberapa guru SMA di Surabaya, melainkan juga ada dukungan dan apresiasi dari Pemkot Surabaya terhadap delegasi yang dipilih oleh setiap guru sejarah dari sekolah yang turut berpartisipasi.”
“Wuhu!!!” Edward berteriak paling kencang.
“Bukan kamu yang dipilih, Ward!”
“Tenang sebentar. Kenapa saya memberitahukan ini di akhir? Karena kalau saya umumkan di awal, kalian semua dipastikan menyimak materi saya, tetapi bukan demi asupan pengetahuan, melainkan karena mengejar hadiah. Jadi ucapkan selamat kepada Malik dan Grace yang terpilih menjadi delegasi sekolah ini. Dari seluruh kelas sebelas yang saya ajar, entah itu dari IPA atau IPS, yang paling menonjol adalah Cuma mereka berdua. Dan untuk Malik dan Grace, persiapkan diri kalian pekan depan. Jangan lupa untuk tetap membaca dan berdiskusi. Karena setiap dari kita menolak kebodohan. Sekian, terima kasih.”
Aku pulang dengan wajah sumringah sekaligus ketar-ketir—apa yang akan dibahas dalam acara itu nanti. Sementara, ucapan selamat, dihaturkan bertubi-tubi dari teman-teman sekelas. Ica dan Fyora yang paling antusias. Saking terkejutnya menyambut keterpilihan ini, aku sampai lupa untuk mendengarkan cerita Malik. Tapi aku telanjur jalan ke kelas Nissa untuk menjemputnya pulang. Mungkin Malik juga ikut segera pulang dan bisa mengobrol denganku dan melanjutkan ceritanya ketika nanti aku ajak dia diskusi di rumah.
Kelas Nissa masih belum bubar. Aku menunggunya di tangga. Di mana tangga itu biasa dijadikan tempat langganan para murid ketika sedang menunggu jemputan atau sedang menunggu temannya.
“Grace!!!” Nissa berteriak dari arah kelasnya. Langsung turun menuju tangga dan hendak ke parkiran.
“Ayo pulang, udah laper” Nissa merengek.
“Kelasmu selalu pulang lebih lambat dari kelasku.”
“Ye, karena itu tadi gurunya lagi ngejar materi. Udah mau pecah tahu nggak sih, Grace, kepalaku.”
Setelah itu kita pulang. Jalanan penuh sesak oleh pelajar, angkotan umum, ojek online, dan para karyawan yang sedang pulang kerja. Aku mengantarkan Nissa ke rumah terlebih dahulu karena dia tidak menjemputku hari ini.
“Grace! Itu tadi bukannya teman sekelasmu?”
“Mana?”
“Barusan yang lewat tadi. Pakai motor matic, jaket hitam. Pakai helm wara merah. Kelihatan jelas wajahnya, dan aku tahu dia waktu ke kelasmu kemarin.”
“Yang mana? Yang waktu dia sama Malik itu?”
“Ah, iya, dia.”
“Masa iya, sih? Hari ini dia nggak masuk loh, padahal.”
“Nggak tahu, tapi beneran dia tadi. Kalau nggak salah lihat juga, sih.”
“Ish! Udah ah, mau pulang dulu. Masakannya Bi Asih udah kecium sampai sini. He he he.”
Setelah itu, aku pulang menuju rumah. Rumahku termasuk berada di wilayah perumahan yang ramai. Tapi untuk menuju jalan raya, aku harus melewati gang yang sedikit sepi. Biasanya ada satpam yang lalu lalang di situ, tapi nggak tahu waktu itu satpamnya lagi nggak ada. Mungkin sedang keliling ke tempat lain, atau baru makan siang.
Sampai di gang, ada dua pemuda bertubuh kekar menahan laju motorku. Kebetulan tidak ada yang lewat searah denganku. Akhirnya aku terpaksa berhenti.
“Saya menawarkan produk kesehatan buat mbak.” Salah satu dari mereka memperlihatkan brosur sebuah produk kesehatan. Dan satu orang lagi, berjalan ke belakangku. Aku sambil meliriknya, tapi perhatianku teralihkan oleh pemuda yang seolah-olah sedang menawarkan produk tadi.
“Kalau memang mau promosi, jangan di tengah jalan, Mas!” Aku sedikit menggertak.
Dan secara tiba-tiba, aku merasa ada yang membekapku dari belakang. Aku yang tidak sigap mengetahui itu, lantas aku mengambil napas sekuat-kuatnya dan ingin segera aku teriak. Tapi tubuhku mendadak lemas dan kedua mataku perlahan-lahan mengerjap.