40

2116 Kata
dan ini “Duduk di sini aja, nggak apa-apa.” “Grace!” Ica menggertak ketika aku membiarkan Rada tetap duduk di sebelahku. “Nggak apa-apa, aku duduk di bangku yang kosong aja.” Setelah mendapati Ica yang keberatan, Rada melengos. Aku menahannya. “Udah, kamu duduk di sini aja.” Aku mencengkeram tubuhnya dan merebahkan Rada duduk di kursi sebelahku. Ica membuang muka. Fyora lebih memilih mengabaikan. Aku kembali duduk. Beberapa murid baru mulai masuk kelas. Khususnya Malik dan kawan-kawan. Setelah Malik melewati pintu kelas, dia spontan melihat ke arahku dan kemudian membuang muka begitu melihat Rada yang sudah ada di sebelahku. Aku melirik Rada yang diam menunduk, seraya mengeluarkan alat-alat tulis dan buku-bukunya. Situasi ini sangat canggung. Aku masih nggak menyangka, kalau sudah terjadi masalah seperti ini antara aku dan Rada. Padahal sebelum-sebelumnya kami baik-baik saja. Dia bukan tipe pengganggu di kelas, juga bukan tipe murid yang suka ramai sendiri. Tapi, aku sudah tidak menganggap itu sebagai masalah. Tapi sayangnya, yang tahu kejadian ini bukan hanya aku. Tapi ada lima orang lagi yang tahu. Yang aku perkirakan mereka lah yang masih suka mengingat-ingat kejadian yang sebelumnya terjadi. “Aku pindah aja, ya.” Tiba-tiba Rada berdiri dari duduknya dan hendak menerobos aku yang ada di sebelah kirinya. Sementara sebelah kanannya adalah tembok—nggak ada jalan lain selain harus menerobos aku. “Loh, kenapa? Udah di sini aja gapapa.” “Nggak apa-apa, sedikit kurang nyaman.” “Biarin, deh, Grace. Toh, mau-maunya dia juga.” Fyora yang tadinya diam, tiba-tiba menggertak. Hal itu justru malah membuat Rada semakin mantap untuk pindah dari bangkuku. “Kenapa, sih, kalian? Rada aku biarkan duduk di sini, soalnya mencegah biar anak-anak yang lain nggak mikir kalau aku sama Rada ada masalah.” Aku sedikit kesal mengatakan itu. Sementara Rada sudah pindah dan duduk di bangku agak belakang. Teman-teman melihat dengan tatapan yang agak aneh. Aku berinisiatif buat menghampiri Rada, tetapi Bu Ersa sudah lebih dahulu datang. Alhasil, aku mengurungkan niatku dan kembali duduk di tempat semula. Aku menemukan Ica dan Fyora masih terlihat tercenung karena kalimatku tadi. “Hai, Grace.” Enggar tiba-tiba menghampiriku. “Kursi sebelah kosong, kan?” “Iya, kosong, kok. Duduk aja nggak apa-apa.” Aku hendak bergeser buat duduk di kursi sebelah tembok. “Nggak apa-apa, aku aja yang duduk di situ.” Enggar menyergah. “Sekarang kita lanjutin materi yang kemarin, ya. Saya akan meneruskan sedikit tentang Betty Friedan.” “Iyaa, Bu!!!” Semua murid menjawab dengan serentak. “Grace, nanti aku sambil nanya, ya. Soalnya kamu, kan lebih tahu banyak daripada aku.” “Iya, Enggar. Toh, juga ada Bu Ersa, dia lebih tahu banyak.” Para murid menyibak buku catatannya. Bu Ersa membuka satu buku tebal. Sesuatu yang jarang-jarang dia lakukan. Atau mungkin laptopnya ketinggalan. “Bahwa revolusi terakhir yang dibuat oleh Betty Friedan dalam The Foundation of Age adalah bahwa puncak karakter seseorang adalah pembauran sifat maskulin dan feminin pada diri setiap orang. Singkatnya, laki-laki dan perempuan yang potensial untuk berbahagia adalah orang-orang yang androgini. Dan semakin fia berkonsentrasi pada gagasan androgin, semakin terlihat jelas bahwa dia masuk pada konsep humanisme, dan menjauh dari sisi feminisme. Dia mengawali dengan mengilustrasikan semcam politik seksual feminis sebagai pengorbanan yang tidak akan dimenangkan oleh perempuan sebagai satu jenis kelamin, dan korban yang teropresi. Akhirnya, dia mengklaim kalau sebab keutuhan entitas manusia adalah janji feminisme, feminis harus bergerak di luar fokus isu perempuan untuk bisa bekerja dengan laki-laki di masalah yang konkret dan praktis dari hidup, bekerja, dan mencintai sebagai manusia yang setara. Pada perubahan yang terlihat tidak sekadar kebetulan saja, fokus NOW sudah bergerak menuju konsep manusia yang diinginkan oleh Betty Friedan, suatu kecenderungan yang sudah membawa NOW, dan juga sekaligus presiden pertama organisasi ini, dalam suatu posisi yang mengalami p*********n, terutama oleh feminis radikal. Berlawanan dengan Betty Friedan dan kebanyakan anggota liberal NOW, feminis radikal merasa skeptis kalau feminisme dapat bergerak di luar isu perempuan dan masih merupakan feminisme. Mereka mengklaim kalau selama pemahaman budaya tentang apa yang dimaksud sebagai manusia tetap androsentris atau berpusat pada laki-laki, merupakan prematur buat seorang feminis untuk menjadi humanis. Jelashlah bahwa Betty Friedan bukan feminis liberal pertama yang tertarik soal humanisme. Dengan cara dia sendiri yang berbeda, Wollstonecraft. Harriet dan John Stuart masing-masing menginginkan kemanusiaan, keanggotaan penuh dari komunitas manusia buat perempuan. Penelitian yang beranggapan kalau ujung dan tujuan feminisme mungkin pada akhirnya adalah identik dengan ujung dan tujuan humanisme, mungkin adalah hal yang kontroversi, namun layak untuk diingat saat memulai membahas kecenderungan akhir dari feminisme liberal.” “Sebentar… Saya mau mengangkat telepon dulu.” Bu Ersa keluar kelas. Begitu Bu Ersa keluar kelas untuk mengangkat telepon, beberapa murid membuang napas berat. Sebagian ada yang sudah meletakkan kepala mereka di meja. Suara menguap terdengar dari arah belakang. Sontak hal itu menimbulkan tawa. “Grace…” “Iya, Enggar?” “Ada masalah apa kamu sama Rada? Aku perhatiin sikap kalian agak canggung dan Rada yang biasa duduk di sini, malah pindah ke tempat lain.” Deg! Pertanyaan seperti itulah yang sengaja aku ingin hindari. “Nggak ada apa-apa, kok. He he… Ya, duduk di belakang mungkin lebih adem, karena lebih deket sama kipas angin.” Aku mencoba ngeles, aku tak memikirkan alasan sebelumnya untuk berjaga-jaga kalau ada pertanyaan kurang lebih seperti itu. “Ngarang alasan, ya? Kalau kamu tahu, kamu nggak bilang dengan kata mungkin. Tapi ya, sudahlah, aku nggak punya hak untuk tahu semua soal kalian. Semoga kalian baik-baik aja,” ujarnya. Aku agak lega kalau Enggar bukan tipe pemaksa—untuk benar-benar meminta jawaban yang sesungguhnya, padahal dia sendiri merasa kalau ada sesuatu yang sedang aku sembunyikan. “Baik, anak-anak. Saya akan lanjutkan lagi materinya. Tadi terpotong sedikit.” Begitu Bu Ersa kembali masuk kelas, beberapa murid yang tadinya ngobrol sendiri, mendadak diam. Yang tadinya hampir saja tertidur, langsung mengusap-usap matanya dan mengerjap beberapa kali. “Betty Friedan hanyalah salah satu dari ribuan perempuan yang bisa diklasifikasikan sebagai feminis liberal. Seperti yang diungkapkan oleh Zillah Eisenstein, Elizabeth Holtzma, Bella Abzug, Eleanor Smeal, Pat Schroeder, dan Patsy Mink adalah feminis liberal, demikian juga beragam pemimpin dan anggota lain di NOW dan WEAL. Meskipun beberapa perempuan ini kadang terbagi, mereka tidak menyetujui kalau satu tujuan yang paling utama dari pembebasan perempuan adalah kesetaraan seksual, atau sering diistilahkan sebagai keadilan gender. Feminis liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu dari peran-perang yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar. Mereka menekankan kalau masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks dan gender, dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan. Oleh sebab itu, di Amerika Serikat, contohnya perempuan didorong untuk melakukan pekerjaan kayak perawat, guru, dan pengasuh anak, dan undang-undang yang secara khusus melarang perempuan dari pekerjaan-pekerjaan maskulin, misalnya pertambangan dan bartending atau menghambat perempuan untuk bekerja pada shift malam atau lembur dapat dengan mudah diloloskan. Meskipun secara de jure bahwa diskriminasi gender lebih merupakan sebuah kenangan sekarang, tetapi secara de facto diskriminasi gender tetap ada. Dihadapkan dengan pilihan antara kandidat laki-laki dan perempuan, misalnya, banyak pemilih tanpa berpikir ulang akan memilih laki-laki berdasarkan alasan bahwa perempuan terlalu emosional, penggugup, mudah terganggu perasaannya, dan gampang tegang untuk memimpin suatu organisasi dan/atau negara. Buat alasan yang sama, kalau perasaan berani bisa dijadikan alasan, para pengusaha lebih cenderung untuk mempekerjakan laki-laki untuk posisi tertentu, bahkan kalau perempuan, paling tidak, sama kualitasnya.” “Bu, bukankah secara de facto, diskriminasi yang diterima laki-laki dan perempuan itu cenderung berbeda?” tanyaku. Sejurus kemudian, ketika Bu Ersa hendak menjawab, ada yang mengetuk pintu kelas. Sepertinya anak kelas IPS sebelah. “Saya terangkan dulu, ya, Grace. Habis itu kamu bisa izin keluar kelas. Sama yang lain tadi, siapa… Ica, Fyora, dan Rada. Saya terangkan dulu, setelah tu kalian berempat bisa bareng ke ruang guru.” “Memang benar, Grace. Kadang-kadang diargumentasikan kalau laki-laki, tidak kurang dari jumlah perempuan, juga merupakan korban dari diskriminasi de facto, bahkan jika hukum selama ini ramah terhadap laki-laki, kendaraan kontrol sosial yang lain tidaklah seramah itu. Oleh karena itu, kerap kali kita mendengar keluhan tentang orang tua yang secara konsisten menolak untuk mempekerjakan pengasuh bayi, dan taman kanak-kanak yang beralasan tidak dapat menemukan laki-laki yang memenuhi kriteria untuk mengisi posisi staf mereka. Meskipun feminis liberal bersimpati kepada laki-laki yang menemukan kesulitan membangun karier yang berpusat pada anak-anak karena diskriminasi de facto itu, mereka mengamati kalau jenis diskriminasi de facto yang dialami laki-laki tidak sesistematis jenis diskriminasi yang dialami perempuan. Masyarakat masih terstruktur dengan cara yang menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan dalam persaingan untuk memdapatkan keuntungan yang dihadiahkan masyarakat kepada kita, ya seperti kekuasaan, prestise, dan uang. Gitu… Silakan tadi yang dipanggil buat ke ruang guru. Dan ya, buat Grace dan Malik, waktu istirahat nanti bisa menemui saya di ruang guru, ya.” Setelah itu, kami berempat bersama-sama menuju ruang guru. Aku menyempatkan buat menggandeng Rada tadi ketika hendak keluar kelas—agar di antara kami tidak terkesan ada masalah. Kami menemui Pak Bagus di ruang guru. Aku sudah mendapati dia duduk dengan mantap di sana. Dengan menyibak tumpukan dokumen yang sepertinya membuat kepalanya jadi gersang. Paling tidak, emosinya stabil untuk membedakan tumpukan dokumen itu dengan tumpukan masalah pribadi kami. “Dari mana aja baru masuk?” Pak Bagus menggertak. Rada menunduk. Kami bertiga hanya melirik, tak berani menyela. “Ini tahun kedua kamu. Kamu masih punya kesempatan buat memperbaiki diri. Karena di tahun terakhir kalian di sekolah, itu masa-masa paling krusial. Sudah bukan waktunya main-main. Juga sebenarnya nggak ada waktu yang cukup buat dijadikan peluang membuat masalah. Fokus belajar. Bukan hanya untuk Rada, peringatan buat kalian bertiga juga.” “Iya, Pak,” timpal kami berempat dengan lirih. “Saya sengaja nggak memanggil kalian ke ruang BK. Saya menghindari kalau sampai ada yang mengira ada masalah di antara kalian. Dan, saya nggak akan mempermasalahkan kejadian ini, dengan jaminan kalau misalnya ada kejadian yang kamu ulangi lagi, Rada, atau masalah sejenis bahkan masalah lain pun, saya nggak akan lagi membela kamu. Ini peringatan pertama sekaligus terakhir. Kamu tahu, sulit untuk mendapatkan toleransi di sekolah ini.” “Saya minta maaf, Pak,” timpal Rada. “Untuk mendapat minta maaf saya, kamu minta maaf dulu ke Grace, sudah?” Rada menghadap ke arahku. Sebelum dia ngomong, aku lebih dahulu bilang, “Saya sudah memaafkan, Pak.” “Untuk Ica dan Fyora, terima kasih telah membantu Grace. Saya harap, kalian semua bisa ambil pelajaran dari masalah ini. Tetap jaga kekompakan di dalam dan di luar kelas. Ica dan Fyora bisa ke luar dari ruang guru dulu. Tapi jangan kembali ke kelas sebelum Rada dan Grace sudah selesai urusan dengan saya.” Aku bingung. Ica dan Fyora disuruh ke luar, sementara aku dan Rada masih tetap tinggal. “Kenapa sampai ngelakuin hal bodoh kayak gitu?” Kali ini Pak Bagus melayangkan kalimat dengan nada lebih ketus dibanding sebelumnya. Rada hanya menunduk. Di satu sisi aku ingin menyela untuk menghentikan agar Pak Bagus tidak perlu menanyakan hal-hal lain karena berdampak buruk buat mental Rada. Tapi, kalau aku menyela dan terkesan membela Rada, itu juga akan berpotensi aku dianggap sok oleh Rada. Meskipun aku nggak paham filter seperti apa yang dia tangkap seumpama aku membelanya. “Cuma karena laki-laki, kamu hampir membuat masa depanmu morat-marit!” Pak Bagus kesal dengan sedikit mengumpat karena di dalam ruang guru tidak hanya kami seorang, melainkan juga ada beberapa guru yang lain. Yang bisa sangat berisiko kalau seolah-olah kelas Pak Bagus beberapa muridnya sedang ada masalah. “Boleh, silakan dekat dengan laki-laki. Tapi jangan sampai terobsesi justru membuat kamu bodoh dan buta moral!” Rada tetap menunduk. Tak bisa berkata-kata. Seluruh kalimat puitis yang pernah dia dengarkan, mungkin akan sia-sia jika dia sampaikan untuk bermaksud meredam amarah Pak Bagus. “Saya nggak memanggil Malik dan Edward ke sini, karena saya dan mereka akan berbicara secara khusus pada kesempatan yang lain. Juga saya mengantisipasi agar temen-temen yang lain tidak menduga kalau benar-benar ada masalah sama kalian yang melibatkan Malik. Saya nggak terlalu mengkhawatirkan mereka. Tapi yang justru saya cemaskan adalah kalian. Grace, saya tahu potensi kamu di kelas. Akan sangat rumit bila kamu masuk ke dalam ruang hubungan dengan laki-laki. Saya tidak melarang, karena takutnya dengan nantinya kamu terobsesi dengan laki-laki, salah satunya kamu bisa saja melakukan segala cara seperti yang telah Rada lakukan hanya untuk mencoba mempertahankan laki-laki. Padahal, sekarang waktu kalian adalah untuk belajar!” Sekarang aku juga yang menunduk. Seolah-olah aku merasa kalau ruang hubungan yang sempat Pak Bagus singgung adalah salah satu ruang yang sudah aku injak. “Sekarang saya ingin memastikan, apa memang hanya gara-gara laki-laki, kamu melakukan itu Rada? Jawab bapak dengan jujur. Saya pastikan kalau saya nggak akan bertindak lebih dari ini.” Rada masih tersuntuk. Dan mengucapkan dengan sedikit terbata-bata, juga kegugupan. “Saya iri dengan Grace yang menonjol di kelas…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN