Bab 12

1717 Kata
MIKE  - Mike sedang bersandar di atas sebuah batu besar dan menatap lurus ke arah sungai sembari mengamati bagaimana airnya bergerak cepat menuju selatan. Seperti biasa, awan di atasnya berkabut, dahan-dahan pohon tinggi menggantung rendah di atas rumput, beberapa ekor burung mengepakkan sayapnya dan terbang melewati tebing. Persis di balik tembok tinggi itu, bangunan berusia ratusan tahun yang kini dijadikan sebagai yayasan anak berdiri. Ayahnya, Jack Suvillian, pernah menjadi salah satu donatur besar disana. Sementara pemiliknya, Patrick Walter, yang kini telah berusia tujuh puluh lima tahun, mengenal dan berteman baik dengan ayahnya sejak mereka remaja. Mike seringkali berjumpa dengan Walter di gereja setiap kali ia menghadiri misa bersama Judy. Biasanya Walter hadir bersama Vera, sang istri yang usianya terpaut sepuluh tahun lebih muda darinya. Sementara itu, Nathaniel, putra mereka yang berusia hampir sebaya dengan Mike, adalah seorang penganut katholik yang taat dan memutuskan untuk mengabdi pada gereja sejak usianya menginjak belasan tahun. Sekarang yayasan itu berkerja sama dengan gereja di bawah pimpinan Nathaniel. Sang pastur sekaligus telah membantu ayahnya untuk memegang tanggungjawab sebagai kepala yayasan. Mike menyadari bahwa ada banyak perubahan yang terjadi disana. Nathaniel menjaga kawasan di sekitar yayasan tetap tertutup bagi masyarakat umum. Bangunan itu cukup jauh dari pusat kota sehingga siapapun tidak akan menemukan rumah penduduk di sekitar sana. Namun dibalik tembok-temboknya yang tinggi, terkubur rahasia yang tidak diketahui siapapun – bahkan dengan Mike, dan setelah puluhan tahun lamanya, sesuatu yang busuk tercium disana. Hanya saja, kali ini, Mike akan mengetahuinya lebih awal. Mike sedang memandangi tembok bata yang kokoh itu ketika seseorang berjalan menyusuri lorong kemudian menuruni anak tangga dan muncul di balik pagar. Pria yang mengenakan pakaian serba hitam dan menggenggam sebuah salib di satu tangannya adalah Nathaniel. Mike masih mengingat mata birunya yang cerah, bekas luka yang melintang dari dahi hingga alisnya, juga bintik kemerahan pada kulit wajahnya yang pucat. Nathaniel melambai dari kejauhan dan tersenyum, laki-laki itu kemudian menyapanya dengan suara yang tidak asing. “Michael Suvillian..” sapanya. “Kau bisa masuk jika kau ingin, tapi Suster Irine mengatakan kau ingin menemuiku disini?” “Ya, Bapa.” “Aku tidak pernah melihatmu lagi di gereja, ada sesuatu yang mengganggumu?” Mike mengangguk kemudian melambaikan tangan ke arah sungai dan meminta sang pastur berjalan bersisian dengannya menyusuri pinggiran sungai. “Ini tentang ayahku.” “Ayahmu?” “Aku bisa saja bertanya pada Patrick, tapi diusianya yang sekarang, aku tidak yakin dia mampu mengingat lebih baik.” “Apa itu? Apa yang ingin kau tanyakan?” “Kau tahu ayahku pernah datang kesini bukan? Dia ingin menemui Patrick, tapi kau juga ada disana.” Sang pastur tertegun ketika mengingatnya. Ketika pria itu tidak mnegatakan apa-apa, Mike melanjutkan dengan tenang. “Aku ingin tahu apa yang diinginkannya?” “Aku tidak yakin dia datang karena menginginkan sesuatu.” “Lalu mengapa dia datang kesini?” “Pertama, dia tidak datang untuk menemui ayahku. Dia datang untuk menemuiku.” Tatapan Mike sepenuhnya terpusat pada sang pastur. Mereka menghentikan langkahnya di bawah pohon rindang. Angin dingin yang bertiup kencang menampar wajah mereka. Mike mendengar suara-suara nyanyian dari balik tembok, suara yang hanya akan ditemukan di dalam bangunan itu. Ia sudah dapat menebaknya, semua anak-anak telah dikumpulkan di aula dan mereka akan menyanyi bersama-sama hingga langit berubah gelap. Namun Mike terus menatap ke arah sang pastur, kemudian menyuarakan isi pikirannya. “Apa yang dia katakan?” “Dia bilang dia ingin melakukan penebusan dosa.” “Aku tidak mengerti, apa yang dia perbuat?” “Aku tidak bisa memberitahumu. Kita semua manusia berdosa, Tuhan memaafkan apa yang diperbuat ayahmu, Dia akan memaafkan anak-Nya yang datang kepada-Nya dan memohon ampunan. Aku hanya membantunya keluar dari semua itu, dan kami tidak mengungkapkan hal itu pada siapapun. Itu hanya tentang Tuhan dan anak-Nya.” Kedua mata Mike terpejam, ia menghela nafas sembari menatap ke sekitarnya. Air di sungai itu terus mengalir, sementara kabutnya yang semakin tebal kini bergerak ke arah tembok yayasan. Suara berderit pintu terdengar ketika embusan angin mengayunkannya, hawa dingin kian merayap di sekujur tubuhnya, kemudian sang pastur meletakkan tangannya di atas pundak Mike. Reaksi itu membuat Mike mengerutkan dahi ketika menatapnya. “Itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kematian ayahmu. Semoga Tuhan mengampuni jiwanya, semoga dia tenang di sana.” “Bagaimana dengan Sylvia Marlene?” tanya Mike kemudian. “Kau tahu tentang wanita ini?” Sang Pastur menganggukkan kepala sembari menatapnya. Ia menjawab, “aku mengenal ibunya, Lilian. Dia sering datang ke gereja untuk menghadiri misa. Kami berbicara beberapa kali, dan dia sangat menyesal tentang apa yang terjadi pada putrinya.” “Lilian?” “Ya, Lilian Marlene, ibunya. Apa kau tahu dia?” “Ya kurasa aku pernah melihatnya. Dia tidak datang ke kantor polisi ketika kami menemukan jasad putrinya di bathup. Dia tidak memberikan kesaksian apapun.” “Lilian sangat berduka. Sylvia adalah putri satu-satunya.” “Kapan terakhir kali kau melihatnya?” tanya Mike. “Sekitar satu tahun yang lalu, aku tidak pernah melihatnya lagi sejak hari itu.” “Kau tahu dimana dia tinggal?” “Dulu dia menempati rumah milik suaminya. Dia mungkin masih berada disana. Aku tidak tahu dimana persisnya, dia tidak begitu terbuka tentang kehidupan pribadinya. Lilian sangat pendiam, dia hanya datang dan berbicara denganku sesekali. Tapi mungkin Tom tahu.” “Tom?” kedua alis Mike bertaut, matanya menyipit. “Tom Wesley?” “Ya. Dia sering bersama Lilian.” Sang pastur mendekatinya. Tingginya hanya mencapai bahu Mike sehingga ia harus menengadah untuk menatap langsung ke arah Mike. “Bagaimana Judith? Aku tidak pernah melihatnya datang lagi? Apa kalian baik-baik saja?” Mike hendak menyanggah pertanyaan terakhir itu, kemudian ia menyadari bahwa pintu-pintu yayasan telah ditutup, para penjaga mulai berpencar di setiap sudut bangunan dan tidak ada lagi anak-anak yang terlihat berkeliaran di sekitar lorong atau di koridor utama. Seseorang baru saja menyalakan lilin-lilin di gereja dan sesaat lagi, seluruh anak akan digiring ke sana untuk berdoa. Namun ketika Mike melihat sang pastur masih berdiri menatapnya dan menunggu jawaban, ia memutuskan untuk mengangguk dan mengakhiri percakapan itu dengan cepat. “Ya, dia baik-baik saja,” sahutnya. “Jika kau membutuhkan bantuan, kau bisa datang ke gereja kapanpun. Tuhan akan membantumu.” “Terima kasih, Bapa.” Sang pastur mengangguk, kemudian berbalik dan meninggalkan Mike di belakang gerbang. Mike mengamati pria itu berjalan menyusuri petak-petak rumput menuju koridor. Sang pastur kemudian menghilang di balik pintu kayu setinggi dua meter yang mengarah ke aula. Disaat yang bersamaan, Mike berbalik untuk kembali ke mobilnya. Dalam perjalanannya menuju kawasan hutan terbuka, benaknya dipenuhi banyak hal. Mike mengingat suatu malam yang dingin di dalam kamarnya. Ia sedang menatap keluar jendela, persis ke arah pagar kayu yang berderit ketika mengayun terbuka. Lahan seluas dua hektar membentang di halaman belakang rumahnya. Pohon-pohon tinggi berada dimana-mana dan terdapat jalur setapak yang mengarahkannya ke pusat kota. Mike suka menatap langit gelap malam saat ia mengalami kesulitan tidur, namun rasanya hal itu sudah terjadi berkali-kali. Di celah pintu kamarnya, sebuah cahaya tipis yang mengintip, jatuh tepat di atas lantai kayu. Cahaya itu memanjang di sepanjang lorong menuju tangga dan berakhir di latai dasar. Ketika remaja, Mike sering mengendap-endap keluar dari kamarnya untuk mengikuti kemana cahaya itu menuntunnya. Di dapur, tepat di atas kursi duduk, ibunya sedang menatap ke arah permukaan meja dengan botol obat-obatan yang diletakkannya di atas sana. Mike sering menemui wanita itu disana. Terkadang ibunya hanya akan berdiri di belakang jendela dapur dan menatap ke pekarangan, atau menyendiri di atas balkon dan diam-diam meneguk anggurnya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ingrid Suvillian dengan wajah pucat dan bibir yang membiru. Di balik piyama satin yang selalu dikenakannya, Mike menyadari bahwa ibunya tampak begitu kurus. Rahangnya menirus dan kantung matanya menghitam karena kurang tidur. Kondisinya kian memburuk selama satu bulan terakhir. “Kau seharusnya tidur,” ia melanjutkan dengan suara serak. Kali terakhir Mike mendengarnya mengucapkan sesuatu, persis pada suatu malam ketika ia mendengar suara keributan dari lantai bawah. Ibunya meneriakkan sesuatu kemudian disusul oleh suara pecahan keramik dari arah dapur. Mike tersentak bangun karena suara bising itu. Diam-diam, ia mengendap keluar melewati anak tangga dan menyaksikan orangtuanya bertengkar. Mereka saling menudingkan jari pada satu sama lain. Namun pertengkaran mereka tidak berakhir malam itu. Pada malam-malam berikutnya Mike sering mendengar perdebatan keduanya. Ayahnya akan selalu kembali pada larut malam hanya untuk menghindari Mike dan ibunya, sementara itu Mike menghabiskan lebih banyak waktu di rumah untuk menatap wanita yang tiba-tiba tampak begitu asing. Kondisi itu terjadi selama hampir dua tahun. Menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang dapat diperbuat, Mike berusaha menghindari mereka sebisa mungkin. Terkadang ide untuk menyewa motel terpikir olehnya, kemudian ia melihat ibunya sakit keras dan Mike terpaksa harus mengurung niat itu untuk menemani Ingrid. Hingga pada suatu malam yang dingin, ketika Mike baru saja pulang dari asrama, ia mendapati lampu di teras rumahnya padam. Saat itu hampir pukul satu dan pintu depan tidak dikunci. Tidak ada mobil ayahnya di garasi namun lampu di dapur masih menyala, dan Mike melihat ibunya duduk di atas kursi dengan kepala bersandar disana. Mike menyambar pintu dan masuk untuk memeriksa semua tempat. Kamar dan seluruh ruangan kosong, lampu-lampu di lorong padam, perapiannya tidak berfungsi sementara satu-satunya suara yang ia dengar berasal dari televisi di ruang tengah. Mike berjalan untuk memeriksa tangga, menyalakan beberapa lampu di lorong, kemudian ketika ia sampai di dapur, ia melihat genangan berwarna merah gelap di atas lantai kayu. Ibunya masih duduk bersandar di atas kursi, tubuhnya tenang, kedua matanya terpejam dan wajahnya tampak begitu pucat. Kemudian Mike mendekat untuk menyaksikannya lebih jelas. Darah menetes dari pegerlangan tangannya yang menggantung di kursi, jatuh persis di atas lantai kayu. Sebuah pisau lipat tergetak tak jauh disana dan pemandangan mengerikan itu hadir begitu saja. Mike terhuyung mundur, nafasnya tercekat, wajahnya berkeringat. Ia bergetar saat untuk kali pertama menyaksikan ibunya tergeletak bersimbah darah. Ia memaksakan langkahnya bergerak melewati wanita itu, kemudian menyambar telepon yang menggantung disana. Mike menghubungi satu-satunya nama yang muncul di kepalanya. Namun ayahnya tidak mengangkat panggilan itu. Mike juga terpikir untuk menghubungi polisi, namun ia begitu ketakutan menghadapinya sendirian, jadi ia memutuskan menunggu di teras hingga ayahnya datang. Matanya sudah basah, wajah Mike memucat dan tubuhnya berguncang. Tiba-tiba seseorang di belakang muncul dan menyentuhnya, orang itu adalah ibunya yang sedang menodongkan pecahan keramik ke wajah Mike dan berteriak, “Aku membencimu! Pergilah dari sini!” - Beritahu saya tanggapan kalian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN