Asa melebarkan senyumnya. Ia lalu duduk di sebelah Bumi, tepat di seberang Tantri yang masih menatapnya penasaran. Dan Bumi masih merangkul bahunya. Ia bisa merasakan sentuhan tangan Bumi yang longgar, entah apa yang dipikirkan pria itu, ia yakin Bumi sebenarnya enggan menyentuhnya.
"Ini calon istri kamu?" Tantri membuka suara. Ia bicara dengan cemberut karena gadis di sebelah Bumi sangat muda dan menggemaskan. Apalagi Asa juga mengenakan gaun yang seksi.
"Ya. Aku nggak bohong sama kamu. Jadi, kamu jangan ganggu aku lagi." Bumi menoleh pada Asa dengan senyuman palsu di wajahnya. Ia masih bertanya-tanya dalam hati kenapa Asa bisa mendadak muncul seperti ini.
"Jadi, ini mantan kamu, Mas?" tanya Asa pada Bumi. Ia melirik Tantri dengan ekspresi seolah cemburu.
"Ehm, ya. Ini Tantri," kata Bumi.
Asa membuat senyuman miring. "Harusnya Mbak malu kejar-kejar mantan kayak gini. Apalagi mas Bumi udah punya calon. Mendingan, Mbak menjauh," kata Asa.
Tantri mengepalkan tangannya. "Aku nggak percaya kamu tiba-tiba punya calon istri. Nggak ada yang pernah bahas kalau kamu mau nikah, Mas."
"Nggak percaya, ya udah," tukas Bumi. Ia mengangkat bahunya.
"Aku mau makan malam sama calon suami aku, jadi lebih baik Mbak keluar aja dari sini," kata ujar Asa seraya mengibaskan tangannya.
Tantri tampak tersinggung dengan ucapan Asa. Namun, karena ia tak tahan melihat kemesraan Bumi dan Asa, maka ia berdiri. "Sampai jumpa lagi, Mas!"
"Kita nggak perlu ketemu lagi," sahut Bumi sengit.
Tantri menghentakkan kakinya sebelum ia keluar dari ruangan. Dan ketika Tantri membuka pintu, Asa langsung mengintip panik ke luar. Ia cemas jika pamannya akan muncul di sana. Sementara itu, Bumi pun melepaskan bahu Asa lalu beringsut menjauh.
Asa menoleh cepat, ia bertatapan dengan Bumi yang kini melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia meringis dan memamerkan deretan gigi putihnya.
"Kamu ngapain ke sini tiba-tiba dan kenapa kamu bisa ... akting kayak tadi?" tanya Bumi curiga. "Apa kamu nguntit aku?"
Asa mendengkus keras. "Enak aja, aku bukan penguntit! Aku cuma nggak sengaja lewat dan denger obrolan Mas sama cewek tadi."
"Jadi, ngapain kamu bantuin aku tadi?" tanya Bumi lagi. Ia menatap Asa dari atas hingga bawah. Jika siang tadi ia melihat Asa dengan dandanan anak kuliahan, kini ia menjumpai Asa yang seksi dan sedikit lebih dewasa. "Apa kamu sengaja? Kamu mau memeras aku lagi?"
"Aku nggak ... aku nggak kayak gitu. Aku cuma ngeliat tadi Mas dalam situasi sulit dan aku mau bantuin," jawab Asa menjelaskan. Dan ia juga dalam situasi yang jauh lebih sulit.
"Ya udah, sana kamu pergi. Kita nggak punya urusan lagi," usir Bumi. Ia mengambil air mineral dari atas meja lalu meneguknya. Namun, Asa tak kunjung pergi. "Kenapa kamu masih di sini?"
Asa menelan saliva. Sebenarnya ia sangat takut jika harus keluar dari ruangan ini. Ia tak ingin ditangkap pamannya. Ia juga tak punya tempat lain untuk bermalam.
"Pergi kamu!" usir Bumi lagi. "Aku mau makan sama klien aku bentar lagi."
"Ehm!" Asa berdehem pelan. "Mas yakin cewek tadi bakalan percaya gitu aja dan nggak gangguin Mas lagi?"
"Itu bukan urusan kamu," kata Bumi tersinggung. Ia tahu pasti Tantri tak akan percaya padanya. Ia sudah bosan didekati oleh Tantri dan tak tahu lagi bagaimana caranya menjauhkan wanita itu darinya. Sayang sekali, Tantri adalah adik dari istri kakaknya. Jadi, sangat sulit menghindarinya. Terkadang mereka akan bertemu dalam acara-acara keluarga.
Asa menekuk lengannya dan menopang dagu dengan telapak tangan. Ia menatap Bumi dengan senyuman manis. "Aku yakin cewek itu butuh pembuktian dan mungkin ... Mas butuh bantuan aku. Lagian, mamanya Mas juga minta kita nikah."
Bumi hampir tersedak. Seharian ini ia terus diberondong oleh ibunya agar ia membawa pulang Asa. Sungguh konyol. Ia berusaha menjelaskannya, tetapi ia memiliki riwayat yang buruk dalam berhubungan dengan wanita, jadi ibunya yang cemas masih tak percaya bahwa ia tidak menghamili Asa.
"Maksud kamu apa?" tanya Bumi.
"Aku bisa bantuin kamu, Mas. Kita bisa pura-pura nikah," kata Asa menawarkan. Ini memang gila. Namun, ia tahu Bumi adalah pria kaya. Jadi, jika ia berhasil menjadi istri pura-pura Bumi, mungkin ia bisa mendapatkan uang untuk melunasi utang orang tuanya.
"Jangan bercanda kamu! Mau apa kamu?" tanya Bumi. Ia berdecak jengkel. "Aku tahu, kamu suka uang! Apa nggak cukup kamu minta uang sepuluh juta tadi siang?"
Asa tersenyum lebar. "Ya. Aku butuh uang. Makanya kita bikin kesepakatan aja."
Bumi mendesis keras. "Kamu butuh uang berapa?"
"Ehm ... berapa, ya?" Asa berpikir sejenak lalu mengacungkan tiga jarinya. "300 juta."
"Gila kamu!" gertak Bumi.
Asa menurunkan tangannya yang tadi menopang dagu. Ia kini menangkup kedua tangannya di depan bibirnya. "Plis, Mas. Aku bisa jadi istri pura-pura Mas selama beberapa bulan. Aku bakal bikin cewek tadi menjauh untuk selamanya. Tapi ... aku butuh uang. Aku punya utang. Kedua orang tua aku udah meninggal dunia dan mereka punya utang sama paman aku."
Bumi mengerutkan keningnya. Ia tak ingin memercayai Asa begitu saja.
"Sebenarnya, aku di sini karena aku kabur. Aku tadi mau dijual sama pria tua hidung belang. Aku mau dinikahkan secara paksa sama paman biar utang aku dianggap lunas. Aku kabur dan nggak sengaja dengar obrolan Mas."
"Kenapa kamu selalu bawa-bawa yang udah mati buat dapatin uang? Tadi siang kamu bawa-bawa si Bayi, kucing kamu. Dan sekarang kamu bilang kedua orang tua kamu udah meninggal? Apa kamu emang doyan memeras orang?" tanya Bumi seraya berdiri.
"Aku nggak bohong. Aku beneran mau dijual, Mas!" seru Asa. "Aku janji bakal pura-pura jadi istri yang baik. Walaupun aku masih muda, aku bisa masak dan bersih-bersih."
Bumi menatap Asa dengan tatapan tak percaya. Ia memang dituntut oleh ibunya untuk menikahi Asa, tetapi ia bisa menjelaskan kesalahpahaman itu. Dan ia pasti bisa mengurus Tantri lain kali. Ia tak membutuhkan istri pura-pura.
"Aku minta kamu pergi dari sini! Aku nggak mau berurusan sama kamu lagi," pinta Bumi dengan nada sungguh-sungguh.
Asa terdiam di kursinya selama beberapa menit. Ia ngeri jika ia harus bertemu pamannya lagi. Namun, tatapan dingin Bumi membuatnya tak punya pilihan lain. Dengan langkah ragu, ia mendekati pintu. Ia menjulurkan kepalanya ke luar ruangan dan langsung terkesiap.
"Di sini kamu rupanya!" gertak Edo seraya menarik tangan Asa.
"Lepasin, Paman!" teriak Asa.
Bumi yang melihat adegan itu langsung berdiri. Ia hampir memanggil Asa, tetapi gadis itu sudah lebih dulu ditarik menjauh dari pintu yang kini tertutup keras.
"Apa benar dia dijual sama pamannya sendiri?" Bumi yang penasaran sekaligus tak tega pun akhirnya menyusul. Ia menoleh ke kanan-kiri dan menemukan Asa masih ditarik oleh pamannya. Segera, ia mempercepat langkahnya melewati koridor dan menuruni anak tangga. Ia menyaksikan bagaimana Asa dibawa masuk ke ruang lain.
Bumi menggeram. Jika benar Asa hendak dijual, ia tak bisa membiarkannya. Ia mendorong daun pintu. Ia membelalak menatap Asa yang tengah menangis di sebelah pria dewasa.
"Apa-apaan kamu?" tanya Edo sengit. "Siapa kamu berani masuk ke sini tiba-tiba?"
Asa menatap Bumi dengan frustrasi. Tatapan itu seolah hendak meminta tolong padanya. Bumi pun membuang napas panjang. Asa sudah menyelamatkannya tadi, dan ia merasa sedikit berutang budi.
"Lepasin pacar aku!" Bumi menuding wajah Toni.
Asa menepis tangan Toni dari bahunya ketika pria itu lengah. Tentu saja aksi itu membuat Toni merasa kecewa.
"Pacar?" Edo membelalak.
Asa mengangguk. Ia berlari ke arah Bumi lalu memeluk lengan Bumi. "Ya. Ini pacar aku namanya mas Bumi dan kami mau nikah."
Edo melotot lebih lebar sementara Bumi menggigit bibirnya sendiri. Ia hanya ingin membebaskan Asa dari si pria tua, tetapi Asa kembali menyinggung pernikahan.
"Kamu udah gila? Kamu mau nikah sama dia? Emangnya kamu lupa kalau kamu punya utang?" tanya Edo.
Asa menggeleng. Ia mendongak pada Bumi dengan penuh makna dan mengguncang lengan Bumi berkali-kali.
"Plis, Mas. Bantuin aku. Ayo kita nikah," bisik Asa pada Bumi. "Ini cuma pura-pura, kok. Mas, nikah yuk!"
Bumi membuang napas keras. Ia tak pernah membayangkan dirinya akan menikah lagi. Ia pernah bercerai dan jika ia ingin menikah, maka ia ingin menjalani pernikahan yang sungguhan. Namun, gadis di sebelahnya begitu frustrasi dengan tatapan yang entah bagaimana tak bisa ia abaikan.
"Saya akan melamar Asa secepatnya, jadi jangan perlakukan dia seperti gadis yang bisa seenaknya dijual pada p****************g," kata Bumi pada Edo dan Toni.
Edo berdiri tak percaya. "Kalau kamu mau menikahi Asa, kamu harus memberikan mahar yang besar!"
"Tenang aja. Saya bisa memberikan segalanya. Jangan sentuh Asa lagi!" ujar Bumi sebelum ia menarik bahu Asa dan membawanya keluar dari ruangan.