Bab 1. Mas, Tanggung Jawab!

1357 Kata
"Aku ke sini karena aku mau minta pertanggungjawaban Mas!" seru gadis bernama Angkasa yang kerap dipanggil Asa itu. Ia bernapas naik-turun di depan meja kerja Bumi. "Tanggung jawab? Apa maksud kamu?" Bumi mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak mengenal Asa. Dan ia sangat kaget karena tiba-tiba ada tamu yang datang dan hendak minta tanggung jawab darinya. Sungguh konyol. "Gara-gara Mas, aku udah kehilangan bayi kesayangan aku!" gertak Asa. Bumi terbatuk seketika saking kagetnya. "Ba-bayi?" "Ya! Dua setengah bulan lalu, Mas lewat depan warung aku dan nabrak kucing oren aku. Bayi kesayangan aku jadi meninggal dunia gara-gara Mas!" teriak Asa dengan wajah merah dan mata basah. Mengingat Bayi membuat ia hendak menangis lagi. Dan di depannya, Bumi langsung membuka bibir. Bumi tentu ingat insiden itu. Ia terburu-buru hingga tidak sengaja menabrak seekor kucing yang menyeberang jalan dengan ugal-ugalan. Ia tak heran, karena kucing itu berwarna oranye yang konon memang meresahkan. "Aku nggak sengaja." Bumi mengangkat bahunya. Ia mendadak ingat dengan gadis di depannya. Hanya saja, dua setengah bulan lalu Asa masih mengenakan seragam SMA dan berambut panjang. Kini gadis itu terlihat seperti anak kuliahan dengan rambut pendek di atas bahu. "Aku juga udah kasih kamu uang sebagai ganti rugi," imbuh Bumi. "Tapi ... tapi Bayi nggak selamat," isak Asa. "Bayi? Kamu kasih nama kucing itu ... Bayi?" tanya Bumi dengan ekspresi tak percaya. Asa mengangguk keras. Ia mendekati meja Bumi dan meletakkan tangannya di sana. "Pokoknya aku mau Mas tanggung jawab! Aku udah kehilangan Bayi aku!" "Tunggu, aku udah bayar kamu. Harusnya kamu nggak ribut-ribut hanya karena kucing kampung itu," kata Bumi tak terima. Asa menggebrak meja Bumi keras. Di depannya, Bumi langsung melotot. "Mas nggak tahu perasaan aku! Aku yang kehilangan. Gimana bisa uang satu juta mengganti Bayi? Itu nyawa, Mas!" Bumi baru saja hendak merespons, tetapi pintu ruangannya mendadak terbuka. Ia berdiri ketika melihat ibunya melangkah masuk dengan wajah kaget. "Apa yang terjadi, Bum?" tanya wanita bernama Desti itu. Ia menatap cemas gadis belia yang menangis terisak-isak di depannya. Ia lalu mengalihkan tatapannya pada Bumi. "Kamu apakan gadis ini, Bum? Kenapa dia nangis?" Asa langsung mengusap pipinya. Ia agak malu, tetapi tekadnya untuk meminta uang ganti rugi sudah bulat. "Aku nggak apa-apain dia, Ma. Dia tiba-tiba datang gitu aja," ujar Bumi yang tak enak jika ibunya tahu ia pernah menabrak kucing. Ibunya mudah cemas dan agak percaya dengan takhayul perihal kucing. "Mama dengar dia ke sini minta tanggung jawab sama kamu," kata Desti dengan nada tertahan. Yah, beberapa saat yang lalu ia hendak masuk ke ruangan Bumi, tetapi ia tak sengaja mendengar samar obrolan Bumi dengan Asa. "Itu ... aku nggak sengaja ...." "Kamu menghamili gadis ini?" tanya Desti yang sebenarnya tidak mendengar secara jelas apa yang dibicarakan oleh Asa dan Bumi. Namun, ia mendengar Asa membawa-bawa bayi di obrolan. Ia cemas jika Bumi melakukan hal-hal kurang ajar di belakangnya. "Apa?" Asa dan Bumi melotot seketika. Keduanya menggeleng keras. Asa bahkan mengibaskan tangannya di depan d**a. "Mama salah paham," sahut Bumi. "Apanya yang salah paham? Mama tadi dengar dia minta tanggung jawab. Dan dia kehilangan bayinya ... itu ... apa kamu ngasih uang ke cewek ini biar dia gugurin bayinya?" tanya Desti yang semakin pusing. Asa menutup bibirnya. Entah apa yang dipikirkan wanita cantik di depannya, ia sangat heran. "Ng-nggak kayak gitu, Tante." "Kamu jangan bohong. Bilang saja sejujurnya sama Tante," kata Desti. "Saya ibunya Bumi. Siapa nama kamu?" "Angkasa, Tante. Panggil aja Asa," jawab Asa. Ia menoleh pada Bumi yang memberinya pelototan tajam. "Jadi, apa benar bayi kamu udah nggak ada?" tanya Desti pada Asa. Asa mengangguk pelan. "Ya." "Ma, aku bisa jelasin!" sergah Bumi. Ia menyugar rambutnya karena merasa ini sudah semakin melenceng. Ibunya benar-benar salah paham dan Asa begitu bodoh ketika menjawab. "Diam kamu! Mama tanya sama Asa," ujar Desti pada Bumi. Karena masa lalu Bumi yang pernah mengecewakannya, ia tak ingin ada hal serupa terjadi lagi. Ia harus memperbaiki itu. Asa menatap Bumi dengan bingung. Toh, ia berkata benar. Bayi memang telah mati. Dan itu gara-gara Bumi! "Apa Bumi ngasih kamu uang?" tanya Desti pada Asa lagi. Asa mengangguk. "Iya, Tante. Satu juta buat ganti rugi." Desti membelalak. Ia tak percaya dengan semua ini. Tatapan mencela ia layangkan ke Bumi. "Tega kamu, Bum!" "Ma, aku tuh ...." "Diam! Mama belum selesai tanya sama Asa," ujar Desti. Asa mengangguk. Wanita di depannya mungkin akan memberikan uang ganti rugi yang lebih besar. Ia memang sedang butuh uang, makanya ia mendatangi kantor Bumi. "Kapan kamu kehilangan bayi kamu?" tanya Desti. "Dua setengah bulan lalu, Tante," jawab Asa ragu-ragu. "Ya, Tuhan! Apa-apaan kamu, Bum?" Desti kembali menatap putranya. "Mama nggak mau tahu, kamu harus tanggung jawab sama gadis ini." Bumi menggeleng pelan. "Bentar, Ma. Aku jelasin dulu." "Apa lagi yang mau kamu jelaskan?" "Ya ... itu tuh, aku nggak sengaja, Ma. Aku nabrak kucing!" seru Bumi. Desti mendengkus tak percaya. "Bisa-bisanya kamu mengalihkan obrolan. Kamu jangan konyol." "Mama yang konyol karena Mama salah paham dan nggak mau dengerin aku," ujar Bumi. Ia menyeberangi meja lalu mendorong bahu Asa dari belakang. "Kamu jelasin yang benar sama mama aku! Bilang kalau aku cuma nabrak kucing kamu!" "Ehm ... i-iya, Tante. Kejadiannya kayak gitu," ujar Asa. Desti kini bingung. Ia tak bisa mempercayai semua ini. Ia jelas-jelas mendengar Asa meminta pertanggungjawaban Bumi karena bayinya yang telah tiada. Dua setengah bulan yang lalu! "Kamu jangan bikin dia takut gitu. Apa kamu ancam Asa?" tanya Desti. "Mana mungkin, Ma! Aku tuh ...." "Sejak kapan kalian pacaran?" Desti melipat kedua tangannya di depan d**a. "Astaga! Aku bahkan nggak kenal sama cewek ini!" seru Bumi tak tahan lagi. "Kamu jangan bohong terus," kata Desti frustrasi. "Asa udah jelasin semuanya, jadi kalian jangan main pura-pura kalau bayi itu berubah jadi kucing." "Nama kucingnya Bayi, Ma!" teriak Bumi. Desti semakin tak percaya. "Mana ada kucing yang diberi nama Bayi. Pokoknya Mama nggak mau tahu, kamu harus tanggung jawab dan nikahin Asa secepatnya!" "Apa?" Asa dan Bumi melotot sempurna. Ini jelas tidak masuk akal bagi Asa. Ia hanya ingin uang ganti rugi, tetapi sebuah pernikahan? Jelas-jelas ini konyol. Ia segera mendekati Desti dan menjangkau tangannya. "Tante, ini nggak kayak yang Tante pikirin. Aku minta maaf, tapi ... serius Bayi itu kucing aku." "Kamu jangan bercanda lagi. Bilang sama Tante kalau Bumi udah mengancam kamu, Tante nggak mau anak Tante jadi pria yang nggak mau tanggung jawab. Dia harus tanggung jawab sama kamu," kata Desti. Ia kemudian mencubit lengan Bumi keras-keras. "Kita bicarakan ini di rumah! Mama pusing mikirin kamu!" Asa menggaruk kepalanya yang tak gatal ketika Desti meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan keras. Ia menoleh pada Bumi. "Semua ini gara-gara kamu! Kamu ngaco banget kalau ngomong!" gerutu Bumi pada Asa. "Aku cuma mau minta uang ganti rugi! Buruan tanggung jawab!" teriak Asa. "Berapa yang kamu mau?" tanya Bumi pada Asa. "Sepuluh juta!" Asa tersenyum miring di depan Bumi yang melotot tak percaya padanya. "Kamu mau memeras aku? Hanya karena kucing kampung?" "Itu bukan sekadar kucing bagi aku! Dia kucing kesayangan aku," kata Asa tak mau kalah. "Kalau Mas nggak mau kasih uang, aku bakal bilang sama Tante tadi kalau bener Mas udah nyuruh aku gugurin bayi aku." Bumi menyugar rambutnya kasar. Ini sungguh keterlaluan. Gadis muda ini tampaknya ingin bermain-main dengannya. "Oke, aku kasih kamu uang! Tapi kamu jangan pernah muncul lagi dalam kehidupan aku," kata Bumi yang cemas jika Asa akan memerasnya lagi. "Aku nggak mau nikah sama kamu!" Asa mendengkus keras. "Aku juga nggak mau nikah sama Mas!" Ia menjulurkan lidahnya pada Bumi dan berkacak pinggang. "Awas kalau kamu berani datang ke sini lagi!" Bumi mengambil kertas cek dari lacinya. Ia menuliskan nominal uang sepuluh juta lalu mengulurkannya pada Asa. "Ini udah lebih dari cukup untuk mengganti kucing kamu itu." Asa menerima cek itu dan mengangguk. Ini lumayan, ia bisa membayar cicilan utang orang tuanya dengan uang ini. "Ingat, kita nggak perlu ketemu lagi setelah ini!" gertak Bumi yang masih jengkel. Ia masih memiliki PR untuk menjelaskan semuanya pada Desti sebelum ia dianggap sudah melakukan hal senonoh pada gadis asing itu. "Ya. Aku juga nggak mau ketemu lagi sama Mas!" balas Asa. Ia menyimpan cek itu baik-baik lalu membalik badan. Mereka tak tahu bahwa nantinya mereka akan segera bertemu kembali setelah kejadian itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN