Setelah dirawat selama seminggu, akhirnya keduanya diperbolehkan pulang. Dan khusus untuk Cecilia, dia harus menggunakan penyangga punggung dan kruk di kaki kanannya selama waktu yang belum pasti. Bahkan Cecilia dijadwalkan untuk menemui dokter orthopedi 2 minggu sekali dan melakukan fisioterapi 2 kali seminggu.
"Sepertinya saya tidak akan kembali lagi ke dokter," ucap Cecilia setelah mereka berdua sudah tiba di penginapan.
"Dan membiarkan retakan di punggung dan kaki kamu menjadi semakin parah? Sungguh kamu tidak menyayangi diri sendiri," sambar Darren dengan rasa jengkel yang bersarang di d**a.
Apa yang ada dipikiran gadis ini sehingga dia mengabaikan kesehatannya? Padahal Intan sudah mewanti-wanti dirinya untuk lebih mengutamakan kepentingannya dibandingkan urusan kantor selama proses pemulihan tubuhnya.
"Itu biarlah menjadi urusan saya dan Pak Darren tidak perlu mencemaskannya," ujar Cecilia dengan nada tidak peduli.
"Tapi kamu bekerja bersama saya selama 3 bulan ke depan. Mana mungkin saya mengabaikan kamu yang sedang sakit seperti ini." sahut Darren dengan nada yang agak meninggi, kesal dengan sikap keras kepalanya.
Untunglah suasana di penginapan ini tidak terlalu ramai saat siang hari, sehingga mereka berdua tidak menjadi pusat perhatian.
"Apa urusannya sama Bapak? Toh Bapak cukup menutup mata atas apa yang terjadi dengan diri saya. Proyek pembangunan resort ini harus berjalan lancar. Lusa kita akan menemui perwakilan pendemo untuk membicarakan tentang jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak," timpal Cecilia yang tidak memperdulikan perkataannya.
"Saya tidak akan bertanggung jawab kalau seandainya retak yang ada di punggung dan kaki kamu semakin parah," ucap Darren ketus, lalu menuju ke kamar.
Berbicara dengan gadis keras kepala ini membuat pening saja. Lebih baik aku mandi dan tidur sejenak untuk merilekskan pikiran dan tubuh ini.
Bunyi ponsel yang memekakkan telinga membuat Darren terkejut dan merutuki kekonyolan dirinya.
Pria itu segera mengambil ponselnya dari saku lalu menghela nafas berkali-kali saat melihat nama Giovani terpampang jelas di layar.
"Halo Yah, aku baru saja sampai di penginapan. Ini sekarang mau mandi karena di rumah sakit tidak leluasa," ucap Darren setelah mengusap ikon gambar telepon berwarna hijau.
"Ayah cuma mau menanyakan kabar kamu, karena kamu tidak pernah melihat ponsel. Hanya Cecilia yang dapat Ayah tanyai," suara sang ayah yang panik segera terdengar di telinganya.
"Kabar aku jelas lebih baik daripada sekretaris Ayah. Dia harus memakai penyangga punggung dan kruk di kaki kanannya. Tapi dia bersikeras tidak mau mendatangi dokter ortopedi dan melakukan fisioterapi," Darren mendengar helaan nafas sang ayah berkali-kali, sepertinya pria tua itu juga bingung bagaimana caranya untuk membujuk Cecilia.
"Apa perlu Ayah berikan perintah khusus untuk Cecilia agar beristirahat selama 2 minggu penuh?" tanya Giovani dengan nada bimbang.
"Kalau itu terserah Ayah. Dia kan awalnya sekretarisnya Ayah, otomatis pasti akan lebih segan sama Ayah daripada aku," ucap Darren menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada sang ayah.
"Kalian berdua masih sering terlibat adu argumentasi rupanya," terka Giovani yang memang tepat adanya.
"Kalau itu tidak perlu ditanyakan lagi, Yah," sahutnya sambil tertawa garing.
Giovani lalu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memberikan sedikit wejangan agar Darren lebih bersikap baik terhadap Cecilia. Dan pria tua itu memberikan keputusan jika akan memerintahkan Cecilia untuk beristirahat total selama 2 minggu tanpa boleh keluar dari penginapan meski itu hanya untuk mencari makanan.
Setelah pembicaraan keduanya di telepon usai, Darren beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah terasa lengket. Suara ketukan pintu terdengar saat pria itu sudah selesai memakai baju. Wajah Cecilia yang garang segera terlihat begitu Darren membuka pintu kamarnya.
"Apa yang Bapak bicarakan dengan Bapak Giovani? Mengapa beliau memerintahkan saya untuk berdiam diri di penginapan ini selama setengah bulan?" tanya Cecilia dengan nada galak.
"Seperti yang telah Ayah sampaikan kepada kamu. Itulah yang kami bicarakan tadi," jawab Darren dengan menyunggingkan senyum sinis.
"Segera minta Pak Gio untuk mencabut keputusan itu." dengan nada marah dan memerintah Cecilia menunjuk ke arah Darren yang langsung berdecih dalam hati melihat keberanian gadis ini yang dapat memerintah atasan sesuka hatinya.
"Kalau itu tidak bisa, karena kamu sudah tahu bagaimana watak Ayah. Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, kamu bisa keluar sekarang karena saya ingin tidur sekarang." ucap Darren sambil menunjuk pintu dengan ibu jarinya.
Helaan nafas dan umpatan tidak lulus sensor segera meluncur dengan lancarnya dari mulut Cecilia. Bahkan dia juga membanting pintu dan menimbulkan suara dentuman keras yang sempat membuat Darren terkejut.
Sebenarnya apa yang dilihat Morgan dari gadis yang memiliki perangai kasar ini sehingga sang sepupu menaruh minat kepada Cecilia? Tanya Darren dalam hati.
Dan setelah dia memikirkan lebih lanjut, tidak ada buruknya juga Giovani memberi perintah seperti itu. Emosi Cecilia sangat tidak stabil sejak mereka masuk rumah sakit tempo hari. Membiarkan Cecilia bekerja dengan kondisi tubuh yang tidak prima saat ini, berarti sama saja membiarkan dia mencari masalah dengan orang-orang yang tidak sependapat dengan dirinya.
Setelah memastikan Cecilia tidak kembali lagi ke kamarnya, Darren merebahkan tubuh dan segera menyambut mimpi sebelum memulai pertempuran tak kasat mata ini.
***
Hari ini jadwal untuk Darren bertemu dengan massa pendemo. Sekumpulan polisi anti huru hara sudah berantisipasi melakukan penjagaan untuknya dan Bli Nyoman yang mulai hari ini Darren minta menemaninya selama Cecilia beristirahat total.
"Pak Darren, apakah Bapak yakin mau bernegosiasi dengan para pendemo itu?" tanya Bli Nyoman yang kelihatannya sangat cemas.
"Saya yakin, Bli. Karena proses pembangunan resort harus segera dilakukan secepatnya," jawab Darren sambil memperbaiki penampilannya.
Bli Nyoman akhirnya hanya berdiam diri dan berjalan di belakang Darren. Dari helaan nafasnya yang berulang, Darren yakin jika pria ini sangat mencemaskan keadaannya.
Darren melangkah mendekat ke arah 4 orang perwakilan pendemo yang menatapnya dengan raut wajah bengis dan garang. Herannya bukannya menciut, nyalinya malahan terpacu untuk memberi pengertian kepada orang-orang yang merasa haknya tidak dibayar dengan semestinya.
Kedua pria itu duduk lesehan di bawah mengikuti beberapa perwakilan pendemo. Darren segera memperkenalkan diri dengan memakai mikrofon agar semua pendemo yang sudah bersiap di posisinya juga dapat mendengarkannya dengan jelas.
''Jadi perusahaan itu mengirimkan anak yang masih ingusan untuk berbicara dengan kami." ucap seorang pria berusia 50 tahunan dengan nada marah.
Melihat pria itu duduk di tengah sementara ketiga rekannya berada di samping kiri kanannya, membuat Darren yakin jika dia adalah pemimpin dari semua aksi demo dan tindakan anarkis yang dia dan Cecilia alami tempo hari.
"Saya sedang dalam pelatihan untuk menggantikan ayah saya menjadi CEO Sanjaya Group. Jadi saya juga minta maaf kalau ekspektasi kalian terhadap saya tidak sesuai dengan realita," Darren merendah dengan harapan semua pendemo itu tidak kecewa.
"Tetap saja bisa-bisanya perusahaan sebesar itu mengirimkan anak bawang untuk bernegosiasi dengan kami." Sambar pria yang duduk paling ujung sebelah kiri.
"Setidaknya Sanjaya Group tidak lepas tangan begitu saja dan tetap mengirimkan perwakilannya untuk berbicara dengan Bapak-bapak semua," ucap Darren yang sebenarnya mulai kesal juga dengan sikap arogan para pendemo ini.
"Jadi bisa sekarang kita mulai diskusinya?" Darren menyambung kembali perkataannya sebelum dipotong oleh seorang pria yang siap menyemburkan perkataannya.
"Baik, jadi siapa nama kamu tadi?" tanya sang ketua pendemo dengan nada arogan.
"Darren Sanjaya."
"Jadi Bapak Darren, kami hanya menginginkan hak kami yang belum terbayarkan segera dilunasi oleh Sanjaya Group," sambung si ketua pendemo dengan gaya berpura-pura elegan.
"Hak yang mana? Karena Sanjaya Group sudah memenuhi semua hak dari pemilik tanah dan bangunan, bahkan kami juga sudah mengantongi surat IMB dari pihak terkait. Surat-surat yang dibutuhkan juga sudah kami lengkapi," ucap Darren dengan penuh keyakinan meski dalam hatinya mulai merasa gugup.
"Bisa saja itu hanya akal-akalan kalian untuk menipu kami!" sentak si ketua pendemo dengan raut wajah marah.
Darren menghembuskan nafas berkali-kali, bingung menghadapi sifat arogan dan keras kepala mereka. Kira-kira apa yang akan dilakukan Cecilia di situasi seperti ini? Bagaimana cara dia melawan semua pendapat dan memenangkan argumentasi yang dikemukakan olehnya.
Lagi-lagi Darren tersentak saat menyadari jika dia mulai memikirkan gadis angkuh itu. Dan sekarang disaat berjauhan dengan dirinya dalam waktu beberapa jam saja membuat Darren mengetahui sesuatu. Ternyata dibalik rasa benci yang bersarang di hati, dia mulai merindukan momen di mana mereka berdebat hingga salah satu dari keduanya tidak berkutik.
"Jadi apa yang akan Sanjaya Group lakukan saat ini?" sebuah pertanyaan membuat Darren terlempar dari lamunan.
Sialan! Apa yang terjadi pada dirinya sampai pengaruh Cecilia begitu kuat dan dapat mengacaukan pikirannya? Rutuk Darren dalam hati.