6. Undangan Party

1059 Kata
Pandangan Dipta tertuju keluar jendela besar restoran cepat saji itu. Menampakkan pemandangan lalu lintas kendaraan yang lalu lalang. Meski terlihat ramai namun bagi Dipta itu tampak sepi. Pikiran Dipta masih teringat akan obrolannya dengan Yoseph tiga hari yang lalu. Dari teman SMA-nya itu juga ia tahu jika Gista kecelakaan. Rasa takut dominan menguasainya. Ia takut jika Gista kenapa-kenapa. Dari lubuk hatinya yang terdalam ia ingin tahu kabar mantan kekasihnya itu. Apakah Gista baik-baik saja atau... Tidak. Semoga Gista selalu baik-baik saja. Meski sudah tidak ada hubungan diantara mereka. "Papa... " Terdengar suara anak kecil yang langsung membuyarkan lamunan Dipta. Tampak Bella dalam gandengan sang mama tersenyum lebar sambil melambaikan tangan kearahnya. Ketika jarak mereka semakin dekat gadis kecil itu melepaskan tangannya dari sang mama lalu berlari kearah Dipta. Melihat Bella, Dipta tersenyum. Membuka lengan untuk memeluk bocah kecil itu. "Hallo, princess. " Sambut Dipta. "Bella seneng ketemu sama papa... " Kata anak kecil itu senang. "Papa juga senang ketemu sama Bella." Dipta mengelus kepala bocah itu sayang. "Hai, Siska." Pandangan Dipta beralih pada wanita cantik yang berdiri tidak jauh mereka. Ibu Bella. "Hai, mas. " Balas Siska yang kemudian duduk di seberang Dipta. Bella sendiri memilih duduk disebelah Dipta. "Papa-papa kemarin aku menang lomba mewarnai loh di sekolah." Lapor Bella. "Waaahhh... Anak papa hebat. " Puji Dipta. "Bella dapat juara nomer berapa?" "Juara berapa, ya? " Bella tampak berpikir. "Mommy, kemarin Bella dapat juara nomel belapa?" "Dalam satu kelas semuanya juara, sayang. Nggak ada nomernya. Bu guru, kan, bilang begitu." "Oh, iya. Semuanya jadi juara, pa. Hebat, kan? " "Iya. Hebat. Bella sama temen-temen sekelasnya hebat semua." Puji Dipta lagi. Gadis kecil itu senang akan pujian Dipta. "Bella mau pesan makan apa? " Dipta menunjukkan lembaran menu dihadapan gadis kecil itu. Gadis kecil itu memperhatikan lembaran menu yang ada di hadapannya. Setelah tahu apa yang ia inginkan, Bella pun menunjuk apa yang dia mau di buku menu. Setelah itu Dipta beralih pada Siska. "Kamu mau pesan apa, Siska? " "Yang biasa saja, mas. " "Oke." Dipta mengerti maksud menu yang di pesan Siska sebab mereka sering pergi ke tempat itu. "Gimana kabar kamu, Siska? " Tanya Dipta selagi menunggu pesenan mereka diantarkan. "Baik, mas. Mas sendiri gimana kabarnya?" "Aku baik." "Aku dengar kabar kalau Dinar kecelakaan. " "Bukan kecelakaan tapi hanya jatuh dari motor sama temannya." "Apa keadaannya parah? " "Hanya luka lecet dan kakinya terkilir. Dia baik-baik saja." "Syukurlah. Aku kira keadaan Dinar parah." "Dinar baik-baik saja." "Papa-papa... Besok anterin Bella sekolah, ya! " Pinta gadis kecil itu. "Gimana kalau papa jemput." Tawar Dipta. Mendengar itu wajah Bella langsung di tekuk. "Jangan marah, ya, sayang... Bella, kan, tau kalau papa sibuk." Dipta mencoba memberi pengertian. "Papa jahat. Bella, kan, mau diantelin sekolah sama papa." "Kan, ada mama yang nganterin." Siska ikut membujuk. "Papa harus kerja, sayang. Pekerjaan papa di kantor banyak." "Selalu begitu." "Papa, kan, bisa jemput Bella sekolah." Dipta berusaha membujuk supaya bocah itu tidak marah lagi. "Dari sekolah kita bisa beli es krim, beli coklat, kue, pokoknya yang Bella suka." Mendengar nama-nama makanan favoritnya membuat Bella melunak. "Beli boneka Belbi sama mainan lain." Tambah Bella. "Tentu saja." "Yeeee.... Beli mainan balu... " Teriak Bella girang. "Papa yang terbaik." Berbeda dengan Dipta yang ikut tersenyum senang, Siska malah menggelengkan kepala. Tidak suka dengan apa yang di janjikan Dipta pada Bella. Namun saat melihat kebahagiaan di wajah putrinya, ia menekan ego. Bisa mempertemukan Bella dengan Dipta adalah hal yang sedikit sulit sebab laki-laki itu yang sibuk dengan pekerjaannya. *** "Hai." Sapa Gista yang masuk ke ruangan kerja Zalfa. Melihat sahabatnya datang, Zalfa langsung mengakhiri kegiatannya mencoret coret kertas. Membuat design baju untuk para pelanggannya. "Sorry HP aku mati soalnya lupa nggak di charger." Jelas Gista tanpa di minta. Sesampainya di tempat itu, ia langsung nebeng mencarger ponsel di salah satu pegawai Zalfa yang ada di lantai bawah. Ketika ia menyalakan ponsel itu, banyak sekali pesan yang masuk. "Kebiasaan. Tau nggak kak Galang telfon aku berulang kali soalnya dia khawatir sama kamu." "Sorry." Cengir Gista. Wanita itu berjalan ke lemari pendingin yang ada di ruangan Zalfa dan mengambil sebotol air mineral dari sana. "Kamu dari mana, sih? Seharusnya kamu datang sejam yang lalu." "Biasa." Biasa yang Gista maksud adalah mencari objek foto. Tentu saja Zalfa paham maksud Gista. "Aku takut kamu kenapa-napa, Gista." "Aku nggak kenapa-kenapa, Fa. Jangan lebai, deh, kayak kak Galang." Gista duduk di sofa yang ada di ruangan itu. "Aku bukan anak kecil lagi." "Aku tau. Tapi bagi kak Galang kamu itu anak kecil. Meski dia tau usia adiknya sudah dua puluh delapan tahun." Gista hanya tersenyum setelah meneguk minumannya. "Nanti aku telepon kak Galang." "Kak Galang itu khawatir sama kamu, Gista. Kamu ingat, kan, gimana kak Galang larang kamu saat kamu bilang mau balik ke Jakarta." Tentu saja Gista masih mengingatnya. Sejak kecelakaan itu, Galang sangat over protektif padanya. Dua tahun lalu saat ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, Galang sangat-sangat melarangnya. Saudara laki-laki itu memintanya untuk tetap tinggal di Singapura bersamanya. Gista tahu Galang sangat menyayanginya. Tiga tahun ia lalui setelah kecelakaan itu. Tidak mudah. Beratus-ratus hari ia lalui untuk penyembuhan. Bukan hanya luka luar yang harus di obati tetapi juga hati dan perasaannya. Gista mengerti kenapa laki-laki yang berbeda usia lima tahun darinya itu melarangnya kembali ke kota kelahirannya. Galang takut jika ia akan bertemu dengan sumber luka yang menghancurkan kehidupannya. Meski luka itu masih ada, bukan berarti Gista juga ikut hancur seperti hatinya. Hari-hari berat yang ia lalui sudah cukup membuatnya terpuruk. Dua tahun yang lalu ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Keputusannya yang benar-benar sudah ia pikirkan. Kemungkinan bertemu dengan 'dia' sangatlah besar sebab mereka tinggal di kota yang sama. Nyatanya selama dua tahun ini mereka tidak pernah bertemu. Mungkin sebaiknya seperti itu dan alangkah baiknya selamanya tetap begitu. "Ta, lusa ikut ke party-nya Jean, ya? " Pertanyaan Zalfa menarik Gista dari kediamannya. "Lihat ntar, deh! " "Dateng, lah, Ta... Dia kan model yang sering aku pakai. Nggak enak kalau nggak dateng. Lagian kamu juga di undang." Gista bisa membayangkan gambaran pesta yang akan diadakan Jean. Bukan pesta yang di hiasi balon warna warni, kue tart, makanan, minuman manis serta om badut. Pesta ulang tahun Jean pasti mengusung tema. Dan Gista benci hal itu. Terakhir kali ia mendapat undangan pesta seperti itu sekitar beberapa bulan yang lalu. Dan yang paling menyebalkan pesta itu bertema bikini. Gista pun memilih untuk tidak pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN