4. Seperti Melihatnya

904 Kata
Terdengar tangisan Bella. Siska yang tadinya sibuk di dapur berlari ke ruang keluarga saat mendengar tangisan anaknya. Samar-samar Siska mendengar suara tawa dan omelan secara bersamaan. Sambil menangis Bella masih memegang ponsel. Dari layar ponsel ia bisa melihat Dipta yang memarahi Dinar. Sedangkan adiknya tertawa-tawa, senang karena membuat Bella menangis. "Mommy... ante Dinal jahat. " Adu bocah berusia empat tahun itu dan tangisnya masih berlanjut. "Sudah sayang... Jangan nangis." Siska mencoba menenangkan anaknya. "Tante Dinar cuma bercanda." Siska sudah hafal benar jika Dinar senang menggoda putri kecilnya. "Iya, sayang... Tante Dinar cuma bercanda. Dia nggak akan ambil boneka-boneka kamu. " Dipta juga berusaha menenangkan bocah yang masih menangis itu. " "Benelan? " Tanya Bella sambil menghapus air matanya dengan tangan. "Iya... Bella. " Sahut Dinar. "Tante bakal ambil boneka-boneka kamu. " Dan bocah itu kembali menangis. Membuat Dipta mendelik pada adiknya. Sedangkan sang adik tertawa puas karena sukses menggoda balita itu. Siska sendiri kembali memenangkan anaknya. "Sudah, ya, sayang... Jangan nangis lagi, ya. " Pinta Dipta lembut. "Tante Dinar cuma bercanda, kok. Nanti papa marahin kalau ambil boneka kamu." Dengan masih sesenggukan, tangis Bella mulai mereda. "Benel, ya, pa? " "Iya, sayang... " "Papa, kok, belum pulang? " "Papa pulang besok sayang." "Papa, kok, tidak ajak Bella pelgi? " "Bella, kan, harus sekolah. Papa, kan, cuma pergi sebentar. " "Tapi Bella kangen sama papa. Sekalang papa juga jalang jemput Bella." "Kan ada mommy yang jemput Bella." "Tapi Bella mau di jemput sama papa. " "Iya, nanti papa jemput kalau papa sudah pulang. " "Benel, ya, pa? " "Iya, sayang... " "Yeee... Sekolah di jemput sama papa. Di jemput sama papa, mommy. " "Iya, sayang... " Siska mengelus kepala anaknya sayang. Dipta selalu senang saat melihat kegembiraan di wajah gadis kecil itu. *** Dipta menelfon supirnya yang telat datang menjemputnya di bandara. Supirnya berkata dia terkena macet karena ada kecelakaan antara truck dan kendaraan pribadi. Mau tidak mau Dipta harus menunggu. Di kursi tunggu Dipta sibuk memainkan ponselnya. Menjawab telepon, membalas pesan ataupun email yang masuk di ponselnya. Ketika ponselnya berhenti mengeluarkannya suara notifikasi, Dipta melihat sekeliling. Melihat banyak orang yang sedang menunggu orang-orang yang keluar dari gerbang kedatangan. Pandangan Dipta tidak sengaja menangkap seseorang yang berjalan terpincang sambil menarik koper kecil. Wanita itu membuka maskernya dan yang membuat Dipta seketika membeku adalah wajah wanita itu seperti seseorang yang ia kenal. "Gista." Gumamnya pelan. Tanpa pikir panjang Dipta berlari kearah wanita yang ia duga adalah Gista. Meninggalkan kopernya begitu saja. Tidak tahu kenapa Dipta begitu yakin jika wanita itu adalah Gista. Meski Dipta sudah berusaha berlari secepat mungkin tetapi wanita yang ia pikir adalah Gista sudah masuk kedalam sebuah mobil. Seseorang menjemputnya. "Pak Dipta. " Panggil sebuah suara. Dipta menoleh dan menemukan supirnya sudah berada di hadapannya. "Koper pak Dipta mana? " "Astaga... Ada didalam." Dipta merasa bodoh karena sampai melupakan kopernya. "Saya ambil dulu. " "Iya, pak. " Sebelum melangkah untuk menggambil kopernya. Dipta melihat kearah jalanan dimana mobil yang di tumpangi Gista sudah menghilang tak berbekas. *** "Gimana Banyuwangi? " Tanya Zalfa sambil menyetir. "Keren, " Jawab Gista. "Gimana Yudis? " "Dia baik. " Zalfa berdecak. Jawaban yang diberikan sahabatnya tidak sesuai dengan keinginannya. "Aku tau dia baik. Tapi maksud aku gimana hubungan kalian? " "Kami baik. " Zalfa sedikit geregetan dengan sikap sahabatnya yang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti akan maksudnya. "Maksud aku hubungan kalian selain pertemanan. Kamu tau, kan, dia suka sama kamu." Gista tiba-tiba menguap. "Aku ngantuk. Aku mau tidur nanti kalau udah sampai kamu kasih tau aku." Disusul dengan kedua matanya yang mulai terpejam. Zalfa mendengus dengan sikap sahabatnya yang selalu begitu. Menghindari pembicara. Apalagi kalau menyinggung tentang Yudis. Dosen muda yang terang-terangan menyukai Gista. "Emang nggak mau makan dulu sebelum pulang? " Tawar Zalfa. "Boleh." Mata Gista sedikit terbuka. "Nanti bangunin aku kalau sudah sampai tempat makan." Gista kembali menutup matanya lagi. Gista sebenarnya tidak mengantuk. Tidurnya cukup lama saat di pesawat. Dia hanya menghindari percakapan tentang Yudis. Dia juga sadar jika lelaki itu menyukainya. Mungkin juga Yudis menceritakan perasaannya pada Zalfa karena mereka berteman. Sayangnya Gista tidak ingin bersinggungan dengan romansa. Entah sampai kapan tetapi untuk sekarang dia tidak mau. Gista juga tidak menyangka jika kepergiannya ke Banyuwangi untuk menghadiri pernikahan sepupunya akan mempertemukannya dengan Yudis. Gista sadar jika keberadaannya di Banyuwangi di ketahui oleh Yudis karena ulah sang sahabat. Kedatangannya ke kota itu bertepatan dengan Yudis yang ingin mendatangi anak didiknya. Meski begitu Gista sedikit bersyukur karena ada Yudis yang sudah berbaik hati menemaninya ke beberapa tempat indah yang ada di kota itu. "Terima kasih, " Ucap Zalfa pada pelayan yang mengantarkan pesanan mereka. Sesaat Zalfa memandangi sahabatnya yang lahap memakan makanannya. "Laper, buk? " Gista hanya nyengir lalu kembali menyantap makanannya. Zalfa suka melihat Gista yang makannya banyak tetapi tubuhnya tetap langsing bak model. Di tambah lagi dengan tubuhnya yang tinggi semampai. "Kamu udah tau kalau Yudis akan berhenti jadi dosen? " Astaga... Zalfa kembali membahas Yudis. Mau protes tapi tidak enak. "Oh, ya? Aku nggak tau. " Gista merespon senormal mungkin. Padahal dia sudah tahu hal itu. Saat di Banyuwangi Yudis menceritakan keinginannya untuk resign dari dunia pendidikan. "Katanya dia mau kerja di kantor bokapnya. Lebih tepatnya disuruh, sih. Padahal dia suka ngajar." "Kenapa dia nggak lanjutin apa yang dia suka? Daripada melakukan hal yang nggak dia suka." "Setau aku ayahnya sakit-sakitan dan minta dia buat urus perusahaan." "Oh." Sebenarnya Gista tidak tertarik dengan kehidupan Yudis tetapi menghargai Zalfa yang bercerita itu harus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN