5. Persetujuan Eddy

1302 Kata
Dugaannya salah, ternyata Ibunya menuju rumah kakeknya. Maka, dia tidak jadi mendapatkan tontonan menarik. Tapi, apa yang akan dilakukan Ibunya di rumah Kakeknya? Dia memarkirkan mobilnya dengan asal. Dia berlari menyusul langkah Ibunya yang sangat cepat. Seolah dia sedang diburu oleh waktu. “Ibu, Ibu!” teriaknya. Elaine menoleh sebentar, tapi dia tidak menggubris Madie sama sekali. Dia melanjutkan jalannya tanpa menoleh lagi. Padahal Madie terus memanggil-mangil dirinya. Beberapa pelayan yang ada di sana menunduk dengan hormat melihat kedatangan Elaine dan Madie. “Dimana Ayahku?” ucap Elaine pada mereka. “Tuan besar ada di kamarnya Nyonya,” jawab salah satu mereka dengan pelan. Para pelayan yang bekerja dengan mereka mempunyai tingkat kesopanan yang tinggi. Karena mereka dididik terleebih dahulu sebelum akhirnya mereka terpilih untuk bisa bekerja dengan keluarga kaya raya tersebut. Mendengar jawaban itu, Elaine langsung bergegas menuju kamar Ayahnya. Dia mengetuk pintu beberapa kali. Kemudian dia pun masuk. “Ayah,” ucapnya. Dia berlari ke arah Eddy. Dia memeluknya dengan erat. “Kau sudah sadar dari kebodohanmu?” ucap Eddy dengan dingin. Madie tidak berani untuk ikut masuk ke dalam kamar tersebut. Dia memilih untuk berdiam diri di depan pintu sambil mendengarkan obrolan mereka. Elaine mengangguk, “Ayah, bagaimana dengan simpanan Antoni? Apa yang harus aku lakukan padanya?” Elaine meminta pendapat dari Eddy. Setidaknya dia mempunyai dukungan dari Ayahnya jika dia melakukan hal buruk pada mereka. “Menurutmu?” bukan jawaban yang Elaine terima. Dia malah mendapatkan pertanyaan balik dari Ayahnya. “Aku hanya ingin membunuhnya!” jawab Elaine. Dia mengepalkan tangannya. Rasa emosinya sudah memuncak sejak beberapa bulan lalu, dan sekarang semuanya menjadi semakin kacau. “Kalau begitu lakukan. Tapi, apa kamu benar-benar ingin membunuhnya sekarang?” Eddy lagi-lagi memberinya pertanyaan yang membuat dia merasa bingung. Sementara Madie tercengang mendengarkan pembicaraan mereka. Dia menutup mulut dengan tangannya. Dia sangat tidak percaya dengan apa yang sedang dia dengarkan sekarang. Mereka membicarakan sebuah pembunuhan seolah sedang membahas menu makanan. “Ayah, jadi aku harus membunuhnya apa tidak? Tolong jangan membuatku bingung.” Elaine melepaskan pelukannya. Dia melihat wajah Eddy dengan serius. Dia mencari jawaban dari mata Eddy. “Membunuhnya secara langsung bukan ide yang bagus. Dia terlalu mudah untuk mati. Sementara kamu merasakan banyak rasa sakit selama ini. Dan dia hanya mati begitu saja? apakah itu adil?” Eddy memperjelas kata-katanya. Elaine tersenyum puas dengan jawaban Eddy. Dia sudah mendapatkan izin dari Ayahnya untuk menyiksa Eliza dengan sangat kejam. Dia akan menyiksanya hingga dia akan memilih lebih baik mati. Sedangkan Madie menggelengkan kepalanya. Dia tahu jika Kakeknya adalah orang yang kejam. Dia tidak akan segan menghilangkan nyawa seseorang yang menghalangi langkahnya. Tapi, dia tidak menyangka bahwa kakeknya mempunyai pikiran sekejam itu. Membalas rasa sakit dengan siksaan yang menyeramkan. Membayangkannya saja Madie tidak berani. Madie bergegas pergi, saat dia melihat mereka akan keluar dari kamar. Dia berlari dan kemudian mengatur napas. Dia mencoba membuat ekspresi setenang mungkin di wajahnya. Dia akan berpura-pura baru saja datang dan ingin berpamitan pada Kakenya. “Kakek,” sapa Madie saat dia melihat mereka berjalan beriringan. “Ada apa kamu kemari? Kau tidak melakukan hal menyebalkan lagi kan?” sindir kakeknya. “Madie bersikap baiklah pada kakek, dia sudah sangat lelah mengurus setiap perilakumu itu. Ibu pergi dulu,” bisik Elaine padanya. “Jika aku melakukan hal yang menyebalkan, bukankah itu adalah salah satu sifat dari kalian yang menurun padaku?” ucap Madie sedikit keras. Agar Elaine mendengar ucapannya. Elaine menoleh dan tersenyum, “Kamu memang anak Ibu.” Kemudian dia pun pergi. “Gadis nakal, aku mendapatkan laporan kau meminta cuti panjang lagi! Apa rencanamu kali ini?” tanpa basa-basi Eddy langsung menanyakan hal itu pada Madie. Madie tersenyum, dia bergelayut di lengan kanan kakeknya. “Kek, aku ingin pergi liburan. Aku terlalu lelah dengan semuanya.” Dia menghentikan kalimatnya. Kemudian saat dia melihat Ibunya sudah keluar dari rumah. Barulah dia melanjutkannya. “Apa lagi dengan pertengkaran Ayah dan Ibu, itu membuatku muak tinggal di rumah. Boleh ya?” pinta Madie. Dia membuat ekspresi memohon dengan sangat baik. Membuat Eddy luluh dan mengizinkannya. “Baiklah, tinggallah di vila di dekat pantai itu. Liburanlah sepuasmu. Kakek akan memberikan semua kebutuhanmu. Kamu hanya perlu menghubungi Ricard. Maka dia akan memberikan semua yang kamu minta.” Eddy membelai rambut Madie dengan lembut. “Baiklah, aku akan segera pergi. Dah kakek!” ucapnya. Dia mengecup pipi kakeknya sebelum dia berlari keluar rumah. Sesungguhnya dia ingin mengejar mobil Ibunya. Karena dia sangat tahu, tujuan Ibunya selanjutnya adalah rumah Eliza. Dia sangat yakin, bahwa Ibunya akan menyeretnya keluar dari sana dan akan menyiksanya tanpa ampun. Itu adalah pembalasan yang pantas untuk rasa sakit yang selama ini Ibunya rasakan. Sayangnya, lagi-lagi tebakan Madie salah. Dia tidak melihat ada mobil Ibunya di halaman rumah Eliza. Dia sudah mencocokkan alamat yang diberikan oleh informannya dengan alamat rumah yang dia datangi. Nyatanya dia hanya melihat ada mobil milik ayahnya dan satu mobil lainnya di sana. Madie tidak percaya dengan apa yang sedang dia alami. Menurut perhitungannya ini adalah hal yang paling mungkin dilakukan oleh Ibunya. Sepertinya dia masih belum bisa berpikir sekejam Ibu dan Kakeknya. Dia pun memilih untuk kembali pulang dan melanjutkan perawatan kuku-kukunya. *** Elaine duduk dengan sangat anggun. Senyumnya terkembang dengan sangat cantik. Padahal beberapa jam yang lalu dia masih sangat kacau dan tidak bisa mengendalikan emosinya. Tapi sekarang dia terlihat sangat tenang dan tidak menunjukkan eemosi sama sekali. “Dok, saya sudah memberikan datanya, dokter bisa mengecek dan memasukkannya ke sini dengan segera. Karena saya sudah sangat tidak sabar melihat dia berteriak kesakitan,” ucapnya dengan pelan. Tapi itu sangat jelas di telinga Ronald. “Mendengarmu memanggilku dengan nama profesi, membuatku merasa sedikit ngeri. Semoga ini bisa membantu membuatmu merasa nyaman. Tapi, kamu sudah tahu bahwa biayanya tidaklah murah.” Ronald memainkan bolpoin di jemarinya. Dia memutar-mutar bolpoin itu dengan cepat. “Ayahku sudah mengizinkannya. Dia akan mengirimkan semua uang yang kamu tulis ditagihanmu,” jawab Elaine. Senyum licik itu terlihat begitu jelas di wajahnya. Ronald benar-benar tidak menyangka, bahwa Eddy bisa memberikan dia izin untuk melakukan hal sekejam itu. “Baiklah, aku akan melakukannya dengan sangat halus hingga kamu bisa menikmati semuanya dengan meminum jus stroberi kesukaanmu.” Ronald berdiri. Dia menelpon seseorang dan mengatakan beberapa hal. Kemudian dia pun menutupnya. Tersenyum pada Elaine dengan sangat tampan. “Aku sudah melakukan tahap pertama, kamu cukup bersabar untuk menunggu kan? Jika dilakukan dengan segera, aku yakin Antoni akan curiga.” “Baiklah, lakukan yang terbaik. Aku juga akan melakukan bagianku sekarang. Aku pergi.” Elaine pergi dari ruangan Ronald begitu saja. Dia tidak mengucapkan terima kasih padanya. Ronald menggelengkan kepalanya. “Elaine kau sungguh cantik dan tidak bisa ditebak. Sepertinya Antoni tidak beruntung memiliki kamu, dia sungguh sangat malang dan bernasib buruk. Karena dia sudah melakukan kesalahan pada istri sepertimu.” Elaine menelpon Ricard. “Blokir semua kartu atas nama suamiku.” Setelah mengatakan itu dia dengan segera menutupnya. Dia mengendari mobilnya dengan sangat pelan. Karena dia ingin menikmati udara segar di area pegunungan. Sudah sangat lama dia tidak mengunjungi Ronald. Udara di sekitar sana menjadi sangat sejuk. Karena dia sedang merasa bahagia. Dia tidak lagi menangis. Dia hanya perlu menunggu saatnya tiba. Dan dia bisa tertawa dengan sangat puas melihat penderitaan yang akan dialami oleh Eliza. Dia melihat ponselnya menyala. Dia bisa membaca isi pesan dari Ricard tersebut. Itu hanyalah sebuah kata ‘Selesai’. Ini adalah awal dari semua pembalasnnya. Dari sini dia akan menjadi pemeran utama. Dia juga yang akan menjadi pemeran antagonis dan protagonis sekaligus. Hingga orang lain tidak bisa menebak siapa dia sebenarnya. “Antoni, kamu akan melewati masa-masa indah bersamaku. Dan kau akan melupakan Eliza dengan sangat cepat. Dan selamat datang di neraka buatanku Eliza!” ucapnya dengan senyum di wajahnya. Senyum itu begitu tipis terlihat licik dan menakutkan. Tidak akan ada yang bisa menggambarkan dengan jelas senyuman dari Elaine yang sedang dalam masa pembalasan dendam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN