"Mbak Saras, Ibu masaknya udah selesai loh. ayo kita makan," kata dokter Danar sambil mengetuk pintu kamar Saras yang masih tertutup, tidak lama kemudian laki-laki itu mendengar suara anak kunci diputar dari dalam tandanya Saras akan segera keluar. laki-laki itu masih menunggu di depan pintu.
"Maaf ya dok, aku lama soalnya tadi beres-beres kamar dulu," kata Saras yang berdiri di ambang pintu kamarnya yang terbuka, dokter Danar tersenyum menatap wanita yang terlihat lebih cantik saat ini.
Jika selama berada di rumah sakit dokter Danar selalu melihat Saras mengenakan seragam pasien yang berupa celana dan baju lengan panjang, kini wanita itu terlihat cantik mengenakan sebuah dress terusan berwarna dusty pink rambut panjangnya diikat ke belakang menampakan leher jenjang dengan kulit putih mulus nyaris tanpa cacat.
"Iya nggak apa-apa, ayo kita makan dulu Ibu udah nungguin di meja makan katanya Ibu pengen ngobrol-ngobrol sama Mbak Saras," ucap dokter Danar, Saras mengikuti dari belakang.
"Sini Nduk, kita makan bareng ya," ajak Bu Ida saat melihat Saras berjalan di belakang Sang putra, apa yang ada di dalam pikiran Bu Ida sekarang sama dengan apa yang ada di pikiran Danar tadi,b Saras memang terlihat sangat cantik.
"ayo makan, sambil Ibu jelasin cara kerja kamu nanti di sini," Saras menganggukkan kepala mendengar apa yang Bu Ida katakan. memang wanita itu tinggal di rumah dokter Danar untuk bekerja dan Saras siap mendengarkan penjelasan Bu Ida tentang pekerjaan apa saja yang akan dia lakukan.
"Danar biasa berangkat ke rumah sakit jam delapan pagi, Jadi sebelum itu kamu harus siapin sarapan buat dia. tapi tukang sayur biasanya datang jam sembilan pagi jadi kamu belanja hari ini buat masak besok atau kalau nggak kamu bisa ke pasar pagi-pagi naik motor kamu bisa naik motor, Nduk?" Saras terdiam mendengar ucapan Ida, bukan mengenai menaiki sepeda motor yang tentu saja dia bisa yang dia pikirkan tapi mengenai memasak.
Saras jadi ingat opor ayam yang pernah belajar ia masak di rumah Adrian dulu lalu berakhir menjadi makanan kucing liar karena rasanya tidak bisa diterima oleh lidah manusia.
"Iya Bu," jawab Saras singkat, wanita itu mengobrol dengan Bu Ida sambil menikmati makanan yang wanita itu buat rasanya kembali membawa Saras pada masa-masa menikmati makanan buatan bu Sukma dulu.
"Kamu masak makanan yang sama aja buat Danar sama buat kamu, nggak usah di beda-bedain, Danar ini makannya gampang kok tinggal apa yang kamu pengen kamu bikin aja, pasti dia makan
lagi pula dia makan kan cuma pagi sama malam kalau siang dia di rumah sakit," jelas Bu Ida lagi, dokter Danar hanya mendengarkan sambil menatap kedua wanita yang duduk bersebelahan itu.
"iya Bu," kembali Saras menjawab singkat dengan patuh.
"Selain masak tugas kamu ya seperti biasanya, beres-beres rumah, mencuci pakaian, menyetrika dan mencuci piring. Ibu rasa nggak terlalu berat karena yang kamu urusin cuma satu laki-laki dewasa di rumah ini, sama diri kamu sendiri. kalau kamu butuh sesuatu Kamu bilang sama ibu ya," ucap Bu Ida sambil tersenyum manis, Saras menganggukkan kepala juga sambil memberikan senyumnya meskipun tetap ada yang mengganjal di dalam hati tapi wanita itu tidak berani mengatakannya.
Awalnya Saras merasa jika dirinya memang begitu nyaman di rumah sakit, merasa mendapat kedamaian dan ketenangan di sana, tapi setelah keluar dari rumah sakit dan melihat dunia luar Saras juga ingin menjalani kehidupan barunya. terlebih lagi semua itu adalah permintaan dokter Danar, Saras merasa jika dia perlu membalas budi baik dokter Danar yang telah membantunya selama ini.
"Nanti habis makan, ibu ajak kamu keliling rumah ini dan ke sekitar. Ibu tunjukin juga nanti tukang sayur di mana Kamu bisa belanja, sekalian ibu kenalin kamu sama Mbok tukang sayurnya," kata Bu Ida sebelum menyuap makanannya Saras hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum, begitu juga Dokter Danar sebuah senyum manis terukir di wajahnya.
"Oh iya satu lagi, Danar itu kalau pagi nggak pernah minum teh atau kopi dia selalu minum s**u, jadi persediaan s**u di rumah Ini nggak boleh habis ya tapi nggak boleh berlebihan juga kamu harus beli s**u dua hari sekali di minimarket yang ada di depan komplek sana," kata Bu Ida yang mengetahui betul apa saja kebiasaan Sang putra.
"Nanti ke minimarket aku aja yang nganterin Mbak Saras Bu, kayaknya di sana juga ada toko pakaian aku juga mau beliin Mbak Saras berapa pakaian, pakaian yang Mbak Saras punya sekarang cuma pakaian pemberian dari suster di rumah sakit. pasti Mbak Saras masih memerlukan lebih banyak pakaian lagi," ucap dokter Danar Bu Ida mengangguk setuju sedangkan Saras rasanya diam mendengarkan.
Setelah mengikuti Bu Ida berkeliling rumah dan ke sekitar pemukiman itu, tidak lupa juga mengenalkan Saras dengan penjual sayur yang tidak jauh dari rumah dokter Danar, kini Saras mengikuti dokter Danar ke sebuah minimarket untuk berbelanja aneka kebutuhan pribadi Saras juga kebutuhan dapur mereka.
"Di sebelah ada toko baju wanita, Mbak Saras, kita ke sana yuk," ajak dokter Danar setelah menaruh belanjaan mereka di bagasi mobil laki-laki itu, dokter Danar melihat keraguan di wajah Saras.
"kenapa?" tanya dokter Danar karena melihat Saras tidak juga melangkah mengikutinya.
"Aku kan baru mulai kerja, belum ada uang buat belanja dok," kata Saras, dokter Danar tersenyum mengetahui apa yang membuat wanita itu ragu untuk mengikutinya.
"Mbak Saras kan kerja di rumah aku, jadi semua kebutuhan Mbak Saras ya tanggung jawab aku, apalagi ini buat pertama kalinya jadi ini fasilitas yang aku kasih. nanti buat bulan-bulan berikutnya kalau Mbak Saras pengen belanja Mbak Saras harus nunggu gajian," jawab dokter Danar agar wanita dihadapannya itu tidak menolak pemberiannya, dokter Danar mengetahui masa lalu Saras ia tahu jika Saras adalah perempuan yang independen, sudah pasti masih ada rasa enggan di dalam hatinya untuk menerima bantuan dari siapapun.
"iya dok," jawab cara singkat wanita itu memang begitu irit berbicara Ia lalu mengikuti dokter Danar masuki sebuah toko pakaian, bukan butik mewah hanya sebuah toko tetapi menjual segala keperluan perempuan mulai dari pakaian dalam hingga aksesoris penunjang penampilan.
Saras hanya membeli beberapa pakaian dalam, beberapa potong pakaian, sepasang sandal dan sebuah tas, lalu keluar dari toko sambil menenteng kantong plastik berisi belanjaannya.
"Mbak Saras mau beli apa tuh banyak penjual jajanan di depan, mau kue pukis, kue pancong lumer ataumartabak?" tanya Dokter Danar setelah mereka selesai berbelanja
di depan komplek pertokoan itu memang berjajar para pedagang makanan yang akan menggelar dagangan mereka sampai larut malam.
"Enggak dok udah malam nanti aku gendut lagi kalau ngemil," kata Saras cepat wanita itu lalu terdiam, alasan itulah yang selalu ia ucapkan dulu ketika dirinya masih terus menjaga pola makannya untuk menjaga bentuk tubuhnya yang indah ramping tanpa lemak sedikitpun, berbeda dengan sekarang tubuhnya terlihat lebih berisi walaupun tetap terlihat cantik.
"Aku mau martabak manis aja, rasa coklat kacang," ucap Saras kemudian meralat jawabannya tadi, seolah wanita itu memang benar-benar ingin menjadi seseorang yang berbeda dengan seseorang yang ada di masa lalunya l, dokter Danar menyadari hal itu lalu mengikuti langkah Saras mendekati seorang penjual martabak manis.
Dokter Danar hanya tersenyum mendengar bagaimana Saras dengan antusias memesan makanan yang dia inginkan, bagi dokter Danar yang ia kenal adalah Saras bukan Karin dan Saras adalah perempuan yang baik dan menyenangkan baginya.
***
Dokter Danar keluar dari kamarnya setelah ia rapi, mengenakan sebuah kemeja berwarna abu-abu gelap terpadu dengan celana bahan berwarna hitam, jas putihnya belum ia kenakan. masih dia sampirkan di lengan kiri dan menenteng tas kerja di tangan kanan.
Laki-laki itu tersenyum melihat Saras sedang sibuk di dapur membersihkan alat masak yang baru dia gunakan, di meja makan ada satu mangkok besar nasi, ayam goreng dan tumis sayuran.
"Mbak Saras sudah masak," kata dokter Danar sambil menarik kursi lalu duduk di meja makan, Saras menghentikan kegiatannya menyadari jika dokter Danar sudah berada di ruangan itu wanita itu terlihat gugup.
"iya dok, aku juga udah cuci baju dan udah aku jemurin, nanti aku setrika siang atau sore. aku udah beres-beres rumah dan udah masak," kataSaras melaporkan kegiatan yang sudah dia lakukan sejak matahari belum bersinar.
"Mbak Saras rajin banget bangun jam berapa?" Kata dokter Danar sambil menyendok nasi dari mangkok yang terbuat dari kaca menaruh nasi itu di piringnya laki-laki itu berusaha bersikap biasa meskipun nasi yang ada di hadapannya lebih terlihat seperti bubur.
"aku udah biasa bangun pagi kok, kalau di rumah sakit dok, kan bantuin Mak Sri beres-beres," kata Saras menjawab pertanyaan dokter Danar.
"Tapi Mbak Saras pasti belum sarapan kan, ayo sini sarapan bareng," ucap dokter Danar, Saras terlihat ragu tapi akhirnya melangkah juga mendekati meja makan.
"Aku makan di dapur aja Dok," jawab Saras, dokter Danar menatapnya sambil tersenyum.
"Mbak Saras tuh di sini bantuin aku beres-beres rumah, bukan berarti kita majikan dan pembantunya, kita ini teman. ayo makan bareng," kata dokter Danar akhirnya Saras menurut duduk di depan laki-laki itu dan mengambil nasi mengisi piringnya.
dokter Danar mengambil sayur dan sepotong ayam goreng bagian paha ia mengulum senyum melihat satu sisi paha ayam itu nyaris menghitam karena gosong, laki-laki itu kemudian mengambil beberapa sendok tumis sayuran yang terisi dari brokoli wortel dan buncis.
Saras hanya diam melakukan hal yang sama mengisi piringnya dengan makanan tapi wanita itu terlihat ragu untuk menyantap masakannya sendiri, berbeda dengan dokter Danar yang penuh semangat menyuap makanan untuk pertama kalinya lalu terdiam merasakan masakan Saras.
"Maaf kalau bahan makanan yang aku masak akhirnya harus terbuang dok," kata Saras dengan penuh rasa bersalah tergambar di wajahnya.
Dokter Danar tersenyum menatap wanita itu setidaknya ia begitu menghargai usaha Saras untuk menyediakan makanan untuk dirinya.
"Kenapa Mbak Saras nggak bilang kalau mbak Saras nggak bisa masak?" tanya Dokter Danar dengan tenang tanpa sedikitpun meninggikan suaranya atau terdengar menertawakan, Saras menahan malu menatap wajah dokter Danar kedua pipi putihnya terlihat memerah.
"Aku takut nanti aku malah nggak jadi disuruh kerja di sini, aku tahu dokter Danar butuh bantuan aku buat ngurus rumah dan aku harus membalas Budi baik dokter Danar, jadi aku berusaha buat masak tapi tetap aja rasanya begini."
Dokter Danar tersenyum mendengar perkataan Saras, laki-laki itu jadi mengetahui jika Saras bahkan tidak mengerti takaran garam ataupun gula untuk makanan yang dia buat.
"Ya udah nggak apa-apa kalau Mbak Saras belum bisa masak, nanti kita belajar masak sama-sama ya. untuk sekarang Mbak Saras kerjain aja dulu pekerjaan yang bisa mbak Saras lakukan, untuk makan kita bisa beli dulu, sambil Mbak Saras belajar masak pelan-pelan," kata dokter Danar, Saras hanya dia mengulum senyum malunya lalu menganggukkan kepala.
"Kalau begitu ayo kita sama-sama keluar cari sarapan di luar, Mbak Saras mau ikut ke rumah sakit nggak?" tanya dokter Danar sebelum meminum air putih di hadapannya menghilangkan rasa aneh makanan yang Saras buat dari dalam mulutnya, entah bumbu apa saja yang wanita itu pakai untuk membuat makanan itu.
Dokter Danar lalu bangun dari duduknya dan mengambil jas dan tas miliknya.
"Mau dong dok, sini aku bawain aku kan sekarang asistennya Dokter Danar," kata Saras sambil mendekati dokter Danar, dengan begitu sigap wanita itu mengambil alih jas dan kertas kerja dokter Danar lalu membawakannya.
Dokter Danar mengulum senyum melihat senyum manis di wajah Saras, mereka lalu pergi bersama-sama sepertinya mulai sekarang Dokter Danar akan menghabiskan waktu lebih lama bersama wanita itu.