Part 14

1219 Kata
"Aku mau mandi!" ujarnya setelah menghabiskan dua kotak nasi kebuli. "Mandi saja sendiri! Memang bayi, harus dimandikan!" Sesaat hening. Aku tersadar dengan kata-kata yang baru kuucapkan. Ah, sial! Semoga dia tidak membuli dengan ucapanku barusan. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Tuan Sky tertegun menatapku. Entah apa yang dipikirkannya. "Jika aku memohon dengan sangat, apa kau akan memandikanku. Hm?" tamyanya dengan wajah menyebalkan. "Dasar otak m***m!" jawabku ketus sembari melotot. Tuan Sky menatapku tergelak hingga air matanya ke luar. Uwuuuh! Menyebalkan sekali manusia antik satu ini. Dan, sialnya, aku suka dia menatapku seperti itu. Tatapan nakal yang membuat darahku berdesir. Ia melepas bajunya didepanku, memamerkan dadanya yang bidang dan berbulu. Dengan sisa tawanya ia beranjak ke kamar mandi. Aku melemaskan seluruh ototku, bersandar ke sofa sembari memeluk bantal. Aku mencari film kesukaanku di chanel tivi kabel. Kuselonjorkan kaki naik ke atas meja menikmati alur cerita di layar kaca. "Aila, aku pinjam bajumu!" Aku tersentak melihat Tuan Sky sudah berada di depanku hanya dengan lilitan handuk. Mataku membulat menatapnya, mulutku ternganga. "Hei, aku bukan hantu! Jangan menatapku seperti itu." Segera kupalingkan wajahku. Buru-buru aku bangkit dari duduk dan bergegas menuju lemari pakaian. Tidak ada kata yang ke luar dari mulutku. Blank. Bagai sapi yang ditusuk hidungnya, aku menuruti permintaanya meminjamkan baju. "ini" ujarku menyerahkan kaos putih dan celana pendek. "Ini saja?" tanyanya membuka lipatan baju dan celana yang kuberikan. "Memangnya apa lagi?" tanyaku sinis. Sesaat mata kami saling beradu. "Belikan atau Aku tidak bertanggung jawab kalau nanti malam ada ular yang keluar dari sarangnya." "Apa?" tanyaku dengan mata membulat. Dasar sinting! Bisa-bisanya dia menyuruhku membelikan pakaian dalamnya! Tidak akan aku mau melakukannya. Gila! "Tidak mau?" tanyanya seolah tahu isi kepalaku. "Tidak!" jawabku menantang matanya yang membulat menatapku. Dia pikir aku takut dengan matanya? "Ya sudah, berarti kau memilih pilihan kedua!" ujarnya sembari memakai baju kemudian melompat ke atas tempat tidurku. "Hey! Siapa yang mengizinkanmu tidur di situ!" "Tempat tidur ini cukup luas, kita bisa berbagi!" "Apa? Berbagi tempat ridur? Tidak akan! Menyingkir kau dari situ!" "Aila, ayolah, aku ingin tidur! Hari ini aku lelah sekali. Mereka menyekapku dua hari di gudang itu." "Tidur di sofa! Ini tempat tidur ku!" sergahku berkacak pinggang dengan mata membulat. Malas, dia bangun dan meninggalkan tempat tidur menuju sofa. "Dasar centeng!" ujarnya mendesis tepat ketelingaku. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di atas sofa. "Flamboyan!" ujarku membalas umpatannya. "Siapa yang kau sebut flamboyan?" Tuan Sky mengangkat kepalanya setengah duduk melotot padaku. "Kau!" celetukku menoleh padanya. Dia bangkit dari tidurnya dan mendekat. Jarak kami hanya satu jengkal, matanya lekat menatapku. Aku mundur selangkah, darahku berdesir. Irama jantungku berdentuman tak beraturan. Jemari kekarnya menyentuh wajahku. Tubuhnya yang tinggi membuatku sedikit mendongak menatapnya. Nafasnya harum, aroma shampo dan sabun masih tercium dari tubuhnya. Mau apa dia? "Aku akan buktikan padamu, aku sekuat Mossa." Mataku membulat dan menjauh dari wajahnya, "Apa maksudmu?" "Kau ini polos apa pura-pura bodoh, hm?" Tuan Sky kembali mendekatkan wajahnya padaku. Aku memicingkan mata saat wajahnya semakin mendekat. Hidungnya terlihat kembang kempis. *** Cahaya mentari menembus kaca jendel kamarku, sinarnya menyilaukan mata. Saat aku terbangun. Kulihat Tuan Sky tertidur pulas di sampingku. Kepalaku tepat dibawah ketiaknya. Apa yang terjadi? Aku terperanjak mengingat kejadian tadi malam. Astaga! Apa kami benar-benar melakukannya? Perlahan, aku menjauh. "Kau mau kemana?" Aku bergeming, Tuan Sky menahan tanganku. Dia sudah bangun atau mengigau? Dia menarik pundakku. Kepalaku kembali ke posisi semula; tepat dibawah ketiaknya. "Kau tidak boleh beranjak jika aku belum bangun. Ingat itu!" Menyebalkan! Dia pikir aku pelacurnya? Aku segera duduk. Manusia antik itu, masih saja menutup matanya. Baru saja aku ingin beranjak, ia kembali menarik bahuku. Tanganku mengepal siap menghantamkan satu kepalan tinju ke perutnya. "Aila, Aila... Jangan!" Sontak ia membuka mata dan menahan tanganku. "Apa kau lupa? Aku ini suamimu! Bersikaplah yang sopan! Dasar centeng!" Aku menatapnya tajam Gigiku gemertuk. Suami macam apa yang membela wanita yang mencelakai istrinya sendiri? Menyebalkan! Aku menepis tangannya lalu beranjak dari tempat tidur. "Aku ingin memesan bubur ayam, apa kau mau?" tanyaku meraih ponsel. "Tidak! Aku tidak suka bubur! Aku mau sarapan soto daging. Pesankan untukku!" "Hm," ujarku seraya berjalan ke luar. Aku duduk di balkon memesan sarapan pagi. Udara pagi ini cukup segar. Aku menarik napas dalam dan merentangkan tangan sembari menatap awan biru. Tuan Sky datang mendekat, lalu duduk di sampingku. "Aila, terima kasih untuk tadi malam. Aku tidak menduga ternyata segelmu masih utuh. Ini kejutan untukku." dia tersenyum dan menaikkan alisnya. Aku meliriknya sinis, "Jadi selama ini kau pikir aku perempuan murahan?" "Bukan. Hanya saja.... Wanita barbar sepertimu,.... Ah, sudahlah, lupakan saja. Aku hanya tidak menduganya." Keningku berkerut mendengar ucapannya. Apa aku terlihat begitu liar, sehingga dia selalu memanggilku barbar? Ah, terserahlah. Aku memeng begini adanya. "Anggap saja itu imbalan dari mas kawin sebuah villa yang kau berikan padaku." jawabku datar. Aku tidak ingin menunjukkan perasaanku padanya. Aku tidak mau dia semakin besar kepala. "Hem, Apapun itu, terima kasih sudah menyerahkannya padaku. Sebagai balasnnya, aku akan mengajakmu nonton konser. Kau mau?" "Konser apa?" "Konser musik, di hotel." "Baiklah, jika kau memaksa." "Aku tidak memaksa.... Kalau kau tidak mau, tidak masalah, aku bisa pergi sendiri." "Kalau begitu pergilah sendiri!" Jawabku menoleh saat Tuan Sky menatapku sinis. "Apa?" tanyaku menantang. "Dasar centeng! Nggak bisa diajak mesra!" Bunyi bel menghentikan adu mulut kami. Aku meninggalkannya dan membuka pintu. Pesanan sudah datang. Bergegas aku membawa makanan ke balkon. Perutku sudah lapar, tidak biasanya sepagi ini minta di isi. Setelah duduk aku langsung menyantap bubur ayam-ku. "Hei, sarapanku mana?" tanya Tuan Sky membulatkan matanya menatapku. "Itu," jawabku sembari melirik pada bungkusan styrofoam di meja. Tuan Sky tampak bingung, menggaruk kepala. Saat matanya menatapku, aku segera berpaling dan kembali menyantap sarapanku. Tuan Sky beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam. Sesaat kemudian dia kembali ke luar. "Peralatan makanmu, mana?" tanyanya berkacak pinggang. "Hem," tanyaku menoleh menghentikan suapan, "peralatan makan? Buat apa?" "Aish. Kau ini! Dasar bodoh! Apa kau benar-benar tidak tahu peralatan makan buat apa?" Tuan Sky mengucek rambutnya sendiri, wajahnya terlihat gusar. "Memangnya kau butuh apa?" "Mangkok dan sendok! Aku tidak bisa makan sepertimu, dasar barbar!" Sesaat aku tertegun, mulutku menganga. Ada ya, manusia ribet seperti ini! Mempersulit diri sendiri. Kasihan sekali dia. Ah, persetan dengan urusannya. Aku kembali menikmati bubur ayamku. Sembari mengaduk aduknya. "Aish. Kau ini jorok sekali! Makan diaduk-aduk! Menjijikkan." Untuk yang kesekian kalinya aku mendongak dengan mata membulat menatapnya. "Manusia antik!" gumamku, melanjutkan suapanku. "Aila, Aku ingin sarapan! Ambilkan mangkuk dan sendok." "Aku tidak punya peralatan makan. Lagi pula, bukankah itu sudah ada mangkoknya dan sendoknya, tinggal tuang!" Sesaat Tuan Sky menatap makanannya yang masih terbungkus rapi. Kemudian menghela napas "Tuangkan untukku!" ujarnya sembari duduk dan menghempaskan tubuhnya di kursi. Lagi-lagi mataku membukat. Sesaat aku teringat Janeta yang selalu menuangkan makan dan minum untuk Mossa. Dan, aku melihat Mossa sangat senang menerima perlakuan Janeta. Apa semua laki-laki semanja itu? Entahlah, mengapa tiba-tiba aku ingin melakukannya. Tanpa protes, kutuangkan soto daging ke mangkuk yang di sediakan dari restoran tempatku memesan. "Cabe-nya, mau?" "Sedikit saja," jawabnya menoleh, memperhatikan tanganku menyiapkan sarapannya. "Jeruk nipis?" "Mau. Tapi jangan ikut bijinya. Kecapnya sedikit saja." Entah apa yang membuatku menuruti semua perintahnya. Setelah semua selesai, kuhidangkan soto daging itu padanya. Lalu membuka segel air mineral miliknya, kemudian merapikan meja. Wajahnya semringah menatapku, kemudian tersenyum melihat soto didepannya. Sesaat kemudian, ia menyantap makanan itu dengan semangat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN