11. Orang ketiga

934 Kata
"Singkirkan tanganmu, dari tubuh calon istriku!" Kalimat itu menggema di telinga Dea. Terdengar di sela derasnya air hujan, yang kian riuh menerpa. Terselip di antara rasa kecewa, yang tengah gadis itu rasakan. Menggema di antara bias luka dan kecewa, yang seolah hadir memadukan diri sebagai pelengkap pertengkarannya dengan Nathan, sore itu. Di sana .... Tiga orang anak manusia, tampak berdiri mematung di bawah gelapnya langit sore, berpayungkan hujan. Meredupkan seberkas cahaya jingga yang perlahan tampak memudar, ditelan oleh sang waktu. Mengabaikan amukan alam, yang seolah ingin menumpah-ruahkan uapan air laut yang menggumpal dan mengguyur, dari atas sana. "Sudah kubilang singkirkan tanganmu, brengsèk!?" Kalimat itu kembali menggema di udara. Membuat Dea menolehkan kepalanya ke samping, dengan seketika. Menyadarkan dirinya, akan kehadiran Bima di sana. Pria itu tampak berdiri kokoh, di sampingnya. Dengan rambut basah terjuntai ke depan, juga sepasang mata elang yang menatap tajam pria bertopi hitam di hadapannya. Wajah dinginnya, tampak mengeras. Dengan rahang terkatup, menahan emosi. Mengabaikan kemeja putih, yang tampak kusut berantakan. Sama basahnya, dengan dirinya. Dan .... BUGGHHH!?! Gadis itu memejamkan matanya. Menunduk. Menutup penglihatannya, akan kemungkinan yang sudah ia perkirakan akan terjadi, sebelumnya. Bima melayangkan satu pukulannya. Menyebabkan Nathan tersungkur, di bawah sana. Pria bertopi hitam itu, tampak meringkuk di samping mobilnya. Menampilkan sebercak darah di ujung bibir, yang langsung diseka dengan kasar olehnya. Nathan tampak meringis kecil. Lalu bangkit berdiri dan balas menatap Bima, dengan sama tajamnya. "Siapa, orang ketiga di sini?" sindir Nathan. "Sepertinya, ada yang sudah lupa, tentang siapa ... yang telah merebut milik siapa!" Nathan menyeringai. Menatap tajam Bima dan Dea, bergantian. Membuat satu tangan Bima terkepal, sementara tangan yang lain bergerak menarik Dea mundur, ke belakang punggungnya. Satu sudut bibir Nathan tampak terangkat. Memandang Bima, dengan sorot tajam meremehkan. "Sudah kuduga. Tidak pernah ada, persahabatan yang murni di antara kalian. Bahkan orang yang paling bodoh pun tahu. Sedalam apa, hubungan yang sebenarnya terjalin di antara kalian berdua!" Air mata Dea menetes. Tak menyangka, jika Nathan mampu mengucapkan kalimat sepedas itu padanya. Bagaimana mungkin, pria berperangai lembut itu berubah dalam waktu sekejap? "Nath ...," lirih Dea, dengan kepala tertunduk. Mengusap air mata, yang kembali menetes. Memandang Nathan, dari balik punggung Bima. Tak tahu lagi, harus dengan cara apa ia menjelaskan pada Nathan, bahwa ia dan Bima tak memiliki hubungan apa pun, selain pertemanan yang memang sudah terjalin sejak mereka kecil. Kecuali Pertunangan itu, tentu saja! Sementara itu, Bima pun tampak melangkah maju. Mengulurkan kedua tangannya, menarik kerah kaus hitam Nathan, agar mendekat pada dirinya. Membawa kedua pasang mata bertemu, dalam satu garis lurus yang sama-sama tampak menyorot tajam. Dua laki-laki itu saling bersitegang. Dengan beragam emosi, yang tersimpan di balik pergumulan hatinya masing-masing. "Apa perlu kuperjelas, siapa yang sesungguhnya menghadirkan orang ketiga di sini?" desis Bima, seraya memaku Nathan dengan tatapan berkilat amarah. "Aku tahu, apa yang sudah kau lakukan!" imbuh Bima di samping telinga Nathan, dengan setengah berbisik. Menyebabkan sorot tajam Nathan berangsur mengendur, dengan seketika. Kedua bola mata pria itu tampak bergetar. Menatap Bima, dengan pandangan penuh tanya. "Kau?" lirihnya. Lantas beralih menatap pada Dea, yang tampak terisak di belakang punggung Bima. Nathan meneguk ludahnya. Mengalihkan pandangannya ke tempat lain, dengan wajah pucat pasi. "Pergilah!" Bima menyentakkan Nathan dengan kasar, hingga membentur badan mobilnya. Membuat pria itu mengatupkan rahang, dengan sama kerasnya. Pria itu lalu terlihat berbalik. Membuka pintu mobilnya, lantas menghempaskan dirinya ke dalam sana. Hingga tak lama kemudian, tampak Nathan yang membanting pintu mobil itu, dengan amat keras. Mesin mobil itu pun menyala. Nathan berlalu cepat dari tempat itu, diikuti suara berdecit. Meninggalkan Dea dan Bima di sana. "Ayo!" Bima menggenggam tangan Dea, dengan erat. Menariknya pergi, meninggalkan tempat itu. "Apa maksudmu?" lirih Dea, pelan. Nyaris tidak terdengar. Teredam oleh bunyi derasnya air hujan. "Tidak ada." "Jelaskan padaku, apa maksudmu?" tuntut Dea. Gadis itu menarik lepas tangannya, dari genggaman tangan Bima. Menghentikan langkah kaki mereka berdua. Menunggu jawaban, yang sepertinya sengaja disembunyikan oleh Bima, darinya. Akan tetapi, Bima tidak menjawabnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Dea, Bima justru kembali menautkan tangannya dengan lebih erat. Menarik paksa Dea. Setengah menyeretnya, membawa gadis itu pergi dari sana. Bima tidak mengatakan apa pun. Pria itu hanya membawanya pergi, menuju mobil yang tampak terparkir di sudut lain parkiran. Mengabaikan tatapan orang-orang yang memandang mereka, dengan pandangan bertanya. "Masuk!" Bima melempar tubuh Dea, ke dalam mobilnya. Lalu menutup pintu mobil itu, dengan sama kerasnya. Membuat gadis itu terhenyak dan kembali terisak. Meloloskan air mata, yang sempat terhenti untuk beberapa saat lamanya. Bima pun turut masuk ke dalamnya. Mendudukkan dirinya dengan kasar, di balik kemudi. Tak seperti biasa yang selalu membawa serta supir untuk ikut bersamanya, kali ini pria itu dengan sengaja membawa pergi mobilnya sendiri. "Berhenti, menangisi pria brengsèk itu! Atau kubuat dia benar-benar menderita." Bima menggeram kesal. Melayangkan pandangannya lurus ke depan, tanpa melirik Dea, sedikit pun. Dan, mobil pun melaju. Meninggalkan tempat itu, membelah jalanan dengan pandangan Bima yang masih menyisakan kilat amarah. Sesekali, pria itu tampak mengatupkan rahangnya dengan keras. Mengembuskan napasnya kasar, dengan sesekali mencengkeram erat setir mobil, sebagai bentuk pelampiasan rasa kesalnya. "Maafkan aku," ucap Bima kemudian. Dea menunduk. Membiarkan air matanya kembali terjatuh, dengan bebas. "Maaf, sudah membuatmu menangis." Dea mengangkat wajahnya. Membawa pandangannya pada Bima, mendapati bahwa pria itu bahkan tak memalingkan wajah sedikit pun, padanya. "Aku mau pulang," lirih Dea pelan, hingga nyaris tak terdengar. Namun, masih tertangkap jelas, oleh indera pendengaran Bima. Kedua insan itu tampak terdiam. Membiarkan mobil itu melaju, membawa mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu. Larut dengan fikiran masing-masing, yang sibuk berkelana pada keinginan yang berbeda. Hening. * . . . Happy reading :) Jangan lupa tap love, tinggalkan komentar, dan follow akun saya. Terima kasih. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN